About

JANGAN MENANGIS IBU


“Ya Allah, apa yang bisa aku berikan untuk Anakku? Aku tidak bisa bekerja untuknya, aku bahkan tak mampu membiayai sekolahnya, sehingga ia harus bekerja. Aku hanya bisa merepotkannya dengan kelemahan tubuhku yang tak mampu untuk bekerja lagi. Engkau maha adil ya Robb, engkau titipkan dia padaku, namun aku tidak bisa menjaganya dengan baik, aku tidak mampu memberinya kebahagiaan seperti ibu yang lain, bahkan aku membuat ia harus mencari nafkah menggantikan diriku yang sakit ini.
            Ya Rohman, kasih sayangmu tiada bertepi. Engkau mengetahui keadaan hamba, engkau paling tahu apa yang terbaik untuk diri ini, karena itu ya Allah, berikanlah kebahagiaan untuk anakku! Berikan kemudahan rizky pada kami agar Dilla bisa tetap sekolah layaknya anak SD lainnya, yang bisa bermain bahagia bersama teman-temanya, bukan lagi sekolah sambil bekerja, dan berikan kesehatan fisik ini ya Robb! Agar hamba bisa kembali bekerja” airmataku mengalir mengiringi tiap kalimat doa yang aku persembahkan pada Allah

            Dua minggu yang lalu saat aku berjualan kue, aku terserempet sebuah motor sampai kakiku terluka dan harus beristirahat selama dua bulan agar bisa berjalan lagi. Seseorang yang menyerempetku tidak mau bertanggung jawab, sehingga aku yang harus membiayai pengobatan ini. Aku bekerja sebagai penjual gorengan, tidak akan mampu membawa kakiku ke rumah sakit. Aku haya bisa pergi ke dukun pijat dan membeli obat-obat yang mampu aku beli. Suamiku meninggal tiga tahun yang lalu, dan karena itulah aku yang harus bekerja keras untuk menghidupi kedua anakku yang masih kecil-kecil. Dilla kelas lima SD sedang adiknya masih kelas dua SD. Berderai airmataku melihat diri ini tak lagi mampu berjalan jauh dan harus memakai tongkat untuk sementara, yang tambah membuatku sedih adalah tatkala anak-anakku memaksakan diri untuk menggantikanku berjualan. Mereka mengetahui keadaan hidup ini.
            Allah maha mengetahui. Ia titipkan anak-anak sholehah padaku sehingga aku merasa tenang dan keimanan ini tak hancur saat cobaan datang. Dilla anak pertamaku yang pertama meminta untuk berjualan di sekolah. Awalnya aku tolak, namun jika tidak ada yang mencari nafkah, maka kami tidak akan bisa hidup, dan aku pun memenuhi keinginannya. Aku yang menggoreng dan Dilla yang menjual. Teriris hati ini seperti pedang yang mencacah daging.
            “Ibu tidak usah sedih! Saya yang akan berjualan sekarang” begitu katanya
            Kata-kata itu yang pertama ia ucabkan saat melihat keadaanku yang hanya bisa terbaring di atas tikar. Aku lihat ia tersenyum tenang, seolah-olah tak ada apa-apa denganku. Entah apa yang ada dalam fikirannya, mungkin dia berusaha menghiburku dengan tidak menampakkan kesedihannya.
            “Maafkan Ibu, Dilla!” suaraku
            Tak lama kemudian aku mendengar suara ketokan pintu, dan masuk anakku yang nomer dua bernama Gina. Aku segera menghapus airmataku, ia tersenyum dan langsung memelukku di saat aku masih mengenakan mukenah. Aku lihat ia nampak tak begitu ceria seperti biasanya.
            “Kenapa, Nak?” tanyaku agak mengkhawatirkannya
            “Mbak Dilla beum pulang ya, Bu?”
            Aku ingat bahwa hari ini Dilla masih di sekolah sambil membawa gorengan yang biasa aku masak pagi-pagi sekali. Aku langsung terkejut dan sedih saat ingat Dilla yang berusaha keras untuk mencari uang.
            “Belum, Nak. Kenapa?”
            “Tidak papa, Bu” jawabnya sambil merebahkan tubuhnya di pangkuanku
            Aku semakin kepikiran Dilla saja, dan ingin tau bagaimana cara ia berjualan di sekolah. Ingin sekali aku kembali menangis, namun aku tidak mau Gina mengetahui kesedihanku selama ini. Ia terlalu kecil untuk melihat betapa sulitnya perjuanganku. Biarkan ia tidur di pangkuanku.
            “Aku sering melihat mbak Dilla menangis, Bu”  kata Gina
            Aku terkejut. “Benarkah, Nak?” tanyaku
            “Saat ia sedang sendirian di kamar, aku pernah melihatnya menangis”
            Menetes kembali airmataku. Aku yakin dia menangisi keadaan keluarga ini. Sebagai seorang ibu, aku sudah gagal memberikan kebahagiaan untuk anak-anakku, bahkan aku membuat mereka merasakan pahitnya perjuangan. Harusnya ia bisa bermain dengan teman-temannya, namun kini ia harus menggantikanku berjualan.
            Saat itu Gina tertidur di pangkuanku, kemudian ia segera aku pundahkan ke atas tempat tidur yang ada di sampingku. Aku ingin sekali menjemput Dilla di sekolahnya, karena itu aku bermaksud meninggalkan Gina tidur sendirian di rumah. Aku kunci rumah dan dengan menggunakan tongkat yang setia menemaniku, aku pergi menuju sekolah Dilla yang lumayan jauh dari rumah. Airmataku terus menetes di sepanjang perjalanan menuju sekolah. Aku lihat jalanan berbatu dan naik turun yang harus dilalui Dilla setiap hari, apalagi ia harus membawa tas besar yang berisi gorengan. Pasti tambah berat saja bebannya. Aku sering melihat sepatunya kotor setiap kali pulang sekolah. Kini aku tau kenapa seperti itu, karena jalan yang ialalui adalah tanah lempung.
            Sampai di sekolahan. Aku berdiri di depan pintu gerbang sekolah melihat Dilla dari sana. Aku sempat tersenyum melihat anak-anak SD itu lagi asyik bermaindi halaman sekolah. Segaram sekolah merekan nampak bagus dan bersih, sepatu dan tas yang mereka kenakan menunjukkan bahwa mereka anak orang mampu. Andai Dilla ada diantara mereka?
            Aku melihat kesana kemari mencari Dilla. Tak aku temukan diantara kerumunan anak-anak yang sedang bermain, pastilah Dilla ada di tempat lain. Masih aku cari dimana dia, sampai aku menemukan seorang gadis kecilduduk sendirian di pojok sekolah, seragam gadis itu warnanya sudah pudar. Aku mulai sadar bahwa ia adalah Dilla, putriku yang baik. Ya Allah sesak dadaku melihat ia berjualan di pojok sekolah, berusaha menawarkan jualannya pada teman-temannya yang nampak cuek. Ya Robb, ingin aku peluk dia dan menggantikan pekerjaan itu. airmataku terasa kering. Ingin aku tumpahkan semua, tapi tak keluar setetespun. Terlalu banyak airmata ini mengalir dan mungkin sudah habis terkuras. Kini hanya tinggal sesak di dada yang membuatku sulit bernafas.
            “Anakku, Dilla. Maafkan Ibu! Andai ibu punya uang, andai ibu bisa bekerja, Ibu ingin melihatmu bermain dengan teman-temanmu, ingin melihatmu mengenakan sepatu baru dan seragam bagus. Ya Allah. Apa yang bisa aku lakukan untuk dia? Dia adalah titipanMu, namun aku tidak mampu menjaganya dengan baik, aku tidak mampu memberikan apa yang ia inginkan”
            Aku terus mengamatinya. Sedih rasanya ketika melihat ia bersusah payah jualan, namun tak satu pun yang datang untuk membelinya. Tubuhku seperti diiris-iris, dan jantungku seperti robek. Betapa sakit diri ini, namun aku tidak melihat airmata keluar dari matanya. Ia masih nampak semangat dan tidak putus asa menawarkan gorengan pada teman-temannya. Semakin membuatku pedih. Tak lama kemudian datang dua anak untuk membeli, dan kulihat senyum syukur tergambar di wajahnya yang polos itu. aku pun sempat turut tersenyum.
            Aku tetap berdiri di sana, karena aku ingin menunggu Dilla sampai pulang sekolah. Aku duduk di sebuah kursi kayu depan pagar sekolah. Aku melihat penjual Es di depanku, dan ingin sekali aku membelikan Es untuk Dilla, karena aku yakin dia lelah. Aku lihat uang yang ada di dalam saku baju, dan aku temukan ada uang dua ribu rupiah. Cukup untuk membelikannya Es.
            Sekitar pukul dua belas, anak-anak SD itu sudah mulai berhamburan keluar. Aku lihat mereka satu persatu. Anak-anak dijemput oleh orang tua mereka masing-masing. Beginikah suasana pulang sekolah tiap harinya? Apakah hanya anakku yang pulang sendirian tanpa teman maupun jemputan? Lagi-lagi sedih yang aku rasakan. Lama aku menunggu sampai sekolah nampak sepi dari luar. Dimana Dillaku? Kenapa ia tak kunjung muncul? Aku mulai khawatir dan segera berdiri di depan gerbang sampai aku temukan dia berjalan sendirian membawa tas sekolahnya dan tas besar yang berisi jualannya. Ia nampak lelah dan kumal. Ya Allah, inikah Dillaku?.
            “Ibu” teriaknya memnggilku saat ia tau aku menjemputnya
            Ia berlari menghampiriku dan segera memelukku. Ia nampak senang sekali melihatku menjemputnya, karen ini yang pertama kalinya. Harusnya dulu aku juga memikirkan untuk menjemput dia, waktu kakiku masih sehat. Sekarang saat aku sakit, aku baru sadar bahwa ternyata merupakan suatu kebahagiaan buat Dilla, jika aku menjemputnya.
            “Ibu kenapa memaksakan diri untuk menjemputku”
            “Ibu ingin sekali-kali menjemput kamu sekolah”
            “Tapi Ibu kan sakit?”
            Aku tersenyum. Ternyata Allah memang menitipkan sosok bidadari kecil dari surga-Nya untukku.
            “Ibu tidak papa kok, Nak”
            Ia tersenyum dengan wajah khawatir.
            “Oya, apa kamu ingin Es?” tanyaku dan ia mengangguk
            Aku pun membelikannya es, dan menemani Dilla makan Es di kursi kayu yang tadi aku tempati. Aku lihat ia nampak senang. Tak terasa airmataku menetes melihat ia bahagia hanya dengan seplastik es teh. Aku sampai bertanya-tanya pada diriku sendiri. Kebahagiaan apa yang selama ini sudah aku berikan untukknya? Ternyata memang tak banyak yang bisa aku berikan padanya.
            “Apa kamu senang?”
            “Ini baru pertama kalinya Ibu datang  menjemputku. Tentu aku senang”
            Aku menangis mendengar jawabannya itu.Ya Allah, anakku.
            “Kenapa Ibu menangis?” aku pun langsung mengusap airmata
            “Maafkan, Ibu! Selama ini Ibu tidak pernah memberikan kebahagiaan untukmu Dilla. Ibu malah merepotkanmu” tuturku.
            “Jangan menangis, Ibu!” katanya mengusap airmataku
            “Selama ini Dilla tidak pernah merasa lelah berjualan. Dilla senang karena bisa membantu. Jadi Ibu tidak usah mengkhawatikan Dilla!”
            Airmataku semakin deras mengalir. Airmata yang aku pikir sudah kering, kini mengalir kembali. Aku pun langsung memeluknya penuh penyesalan. Dia tidak menunjukkan wajah sedih ataupun lelah di depnaku. Dia sellau berusaha membahagiakanku, walau dia sering menangis di dalam kamar, karena tidak mau diketahui olehku.
            Selesai makan es, kami pun pulang bersama. Dilla menggandeng tanganku penuh kasih sayang. Aku sagat bersyukur memiliki bidadari seperti dia. Semakin semangat diri ini untuk cepat sembuh agar bisa berjualan kembali, dan tak akan aku biarkan Dilla merasakan kembali pahitnya hidup ini. Aku yakin Allah akan segera memberikan kesembuhan buatku, dan akan kembali memberiku kesempatan untuk jualan lagi. Dengan begitu Dilla bisa sekolah dengan tenang, dan bisa bermain lagi bersama teman-temannya tanpa memikirkan gorengan lagi.
            “Terima kasih, ya Allah. Engkau berikan Dilla untukku”
Oleh    : Afza Yumaira
           
Tentang Penulis

            Nama lengkap Ulin Nurviana, biasa dipanggil Ulin, lahir di Banyuwangi 27 Maret 1992. Sekarang ini penulis merupakan seorang mahasiswi semester IV, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam pada bidang Fisika di Universitas Jember, dan aktiv dalam kerohanian Islam tingkat Fakultas maupun Universitas.
            Untuk mengetahui lebih banyak mengenai penulis, silahkan add di facebook dengan nama Afza Yumaira atau segala kritik serta saran bisa kirim email ke Ulin.nurviana@yahoo.com dan 081803525280 untuk komunikasi secara langsung. Bagi yang ingin berkirim surat, bisa juga mengirimnya ke alamat Kp. Pandanrejo Rt. 016 Rw. 002 Desa Kendalrejo Kec. Tegaldlimo Kab. Banyuwangi, Jawa Timur. Kode pos 68484. No Rec 0872-01-019657-53-4
           







0 komentar:

Posting Komentar