Aku
buka lembar demi lembar dari buku usang ini. Hemm buku, tapi tidak juga. Ini
hanyalah tumpukan lembaran kertas yang tak terpakai. Di balik tulisan-tulisan
tangan ini sudah ada tulisan sebelumnya, tulisan yang aku tidak mengerti apa maksudnya.
“Bu
Lek, memangnya mulai kapan Pak Lek nulis?”
“Sudah
lama, Nduk. Sebelum nikah sama Bu Lek, beliau sudah nulis. Bu Lek lihat dari
semua tulisannya. Bahkan ketika masih belum nikah, Pak Lek buat puisi dan
gambar untuk Bu Lek. Agak lucu, sih, ketika Bu Lek ingat itu.” Sambil tersenyum
menatap langit-langit rumahnya yang sederhana, Bu Lek mengenang saat-saat indah
bersama Pak Lek.
“Berarti
sudah lama ya. Pantas saja segini banyaknya.” Aku lihati tumpukan kertas berisi
coretan-coretan gambar dan tulisan Pak Lek yang banyak ini, mulai dari yang
lama, sekitar tahun 1970an sampai yang terbaru.
***
Pak
Lek adalah salah satu sosok yang aku teladani, yang aku kagumi, dan aku contoh,
kalau aku bisa. Beliau adalah seorang guru SD, tentunya guru untuk semua mata pelajaran.
Aku mengagumi bakatnya membunyikan suaranya yang merdu. Tak hanya itu, beliau
juga seorang seniman, beliau dengan lihai dapat memainkan alat musik dengan
tangannya, juga dengan tiupannya. Dan yang paling aku kagumi, Pak Lek belajar
itu semua dengan otodidak, beliau belajar sendiri, tak ada yang mengajari.
Begitu gigih usaha kerasnya untuk mencapai apa yang diinginkannya, meskipun hal
itu tak pernah dilakukannya dari awal.
Dari
keahliannya itu, aku meyakini beliau bisa melakukan hal di luar itu. Dan benar
saja. Dari tulisan-tulisan yang segini banyaknya, aku bisa menyimpulkan bahwa
Pak Lek adalah seorang seniman sejati. Seniman yang tak berhenti membuat karya.
Sudah banyak tulisan yang diciptakannya, terutama puisi. Dari tangannya yang
ulet juga, bisa menciptakan gambar dan lukisan yang indah, yang tentunya aku
tak bisa melakukannya. Dari coretan gambarnya dan dari paduan warna yang beliau
torehkan pada lukisannya menunjukkan bahwa beliau adalah sosok yang gigih,
selalu bekerja keras, ulet, dan tidak kenal menyerah. Kelihaiannya memainkan
alat musik pun tidak hanya sampai memainkan alat musik saja, beliau juga mampu
untuk menciptakan kumpulan not-not yang membentuk lagu-lagu yang belum ada
sebelumnya. Semua itu membuatku berdecak kagum.
Aku
mengenalnya sudah mulai aku masih kecil, aku begitu dekat dengannya. Tak hanya
hubungan keluarga, beliau menganggapku sebagai anaknya sendiri. Wajar, beliau
dan sang istri masih belum dikaruniai putra oleh-Nya. Aku suka dengan sifatnya
yang tidak terlalu banyak bicara, namun ketika sekali berbicara, mengandung
makna yang berarti.
Pak
Lek adalah anak kesayangan dari Mbah Uti. Namun, bukan anak kesayangan mulai
dari kecil. Sering Mbah Uti menceritakan bahwa waktu kecilnya, Pak Lek juga
merupakan anak yang nakal. Banyak sekali tingkahnya dan selalu susah untuk
disuruh belajar, tidak seperti anak Mbah Uti yang lain yang penurut. Namun
seiring dengan bergulirnya waktu, pikiran dari Pak Lek bertambah dewasa. Aku
ingat, salah satu alasan mengapa Pak Lek menjadi anak kesayangan Mbah Uti
adalah ketika Pak Lek yang tiba-tiba berbicara dengan bahasa Jawa halus (kromo
alus) pada Mbah Uti yang membuatnya bingung. Pak Lek mengungkapkan bahwa beliau
melakukannya karena nadzarnya apabila beliau diterima menjadi guru. Begitu bangganya
Mbah Uti sebagai seorang ibu. Pak Lek pun membiasakan hal itu sampai akhir
hayatnya.
***
“Itu,
Dek. Masih banyak di lemari sana. Ambil aja.” Begitu Bu Lek menyuruhku
mangambil tumpukan kertas yang ada di lemari besar dekat ruang tamu. Dari dulu
aku sudah terbiasa dipanggil Adek oleh keluargaku. Mungkin karena aku adalah
cucu yang kedua.
“Wah,
masih ada lagi ya. Iya deh, aku ambil.” Bergegas aku menuju lemari besar yang
dimaksud oleh Bu Lek. Tanpa bertanya, dengan asal saja aku membuka pintu dari
sekat lemari yang paling atas meskipun aku tak tahu di mana letak tumpukan
kertas yang dimaksud Bu Lek, namun di sana aku sudah menemukan apa yang
dimaksud olehnya. Sedikit terkejut dan tertegun dengan apa yang aku lihat ini,
satu sekat lemari ini diisi penuh dengan tumpukan kertas. Warnanya pun beragam,
dari yang putih bersih yang menunjukkan kertas baru dan berwarna kuning
kecoklatan yang menunjukkan umurnya sudah renta. Aku hanya mengambil sebagian
dari tumpukan itu, semmpu tanganku meraihnya. Aku lihati hal yang baru aku
dapatkan, yang aku pegang saat ini, sambil aku berjalan perlahan menuju tempat
dudukku semula.
“Tulisannya
Pak Lek bagus.” Aku bergumam sendiri.
“Iya,
Dek. Bu Lek aja kalah dengan tulisannya Pak Lek.”
“Tulisanku
juga kalah, Bu Lek.” Aku tertawa tipis. Memang, aku harus mengakui kalau
tulisanku kalah bagus dengan tulisan Pak Lek. Bagaimana pun model tulisannya
tetap saja terlihat bagus. Mau lurus atau gaya miring pun juga tetap bagus.
Aku
seperti tenggelam menikmati karya-karya dari Pak Lek, mataku seperti enggan
memalingkan tatapan dari tulisan karyanya, ditambah pula gambar dan tulisan
tangannya yang seolah diukir, membuatku tidak ada bosannya. Bu Lek menyadari
begitu aku menyukai dengan itu semua.
“Bawa
aja, Dek. Bu Lek tahu kamu senang baca-baca. Mungkin itu bisa buat contoh untuk
kamu.”
“Benarkah
Bu Lek?” Wajahku cerah seketika. Bu Lek seperti tahu apa yang aku inginkan.
“Iya,
bawa saja, Nduk.”
“Terima
kasih Bu Lek. Mmm.. karena ini banyak sekali, aku bawa sedikit-sedikit, ya Bu
Lek.”
“Iya,
Nduk. Kamu kan sering ke sini toh.” Aku dan Bu Lek tertawa lepas. Aku tak bisa
menyembunyikan kegembiraanku karena dibolehkan untuk membawa karya-karya Pak
Lek. Karya Pak Lek sangat banyak, tak terhitung jumlahnya. Namun sayang, tidak
ada kelanjutan lagi dari sekedar menorehkan tinta di atas kertas.
Oleh:
Indira Karina
0 komentar:
Posting Komentar