About

Ini kenapa aku benci Februari


Untuk makmum terbaikku….
Bagaimana kabarmu di perantauaan sana? Masih kuatkah hatimu untuk terus mengabdi pada bukit yang begitu terpencil itu? lalu bagaimana kabar jagoan kecil kita, masih tetap lincah seperti biasanya kan? Mungkin kamu terlalu kaget ketika menerima surat ini. Memang bukan kebiasaanku untuk menulis surat seperti ini. Hanya saja ketika melihat kalender tadi, aku terhenyak sejenak, ketika aku sadari ini sudah memasuki bulan Februari. Dulu kamu selalu bertanya ketika aku begitu membenci bulan februari ini.
Mungkin ini waktu yang tepat untuk jujur kenapa aku begitu membenci bulan februari ini. kamu pasti tahu, bulan ini adalah bulan dengan umur terpendek. Tahun ini saja, bulan ini hanya berumur 28 hari. Itu berarti aku hanya bisa mendo’akanmu sepanjang 28 hari itu. Padahal aku ingin selalu mendo’akanmu sepanjang waktu. Tapi februari hanya membatasi dengan 28 hari atau 29 hari ketika memasuki tahun kabisat.

BUDAYA VALENTINE MENGOTORI MORAL BANGSA


Ensiklopedia Katolik menyebutkan tiga versi tentang Valentine, tetapi versi terkenal adalah kisah Pendeta St.Valentine yang hidup di akhir abad ke 3 M di zaman Raja Romawi Claudius II. Pada tanggal 14 Februari 270 M Claudius II menghukum mati St.Valentine yang telah menentang beberapa perintahnya.
Inilah budaya melegenda yang berhasil mewarnai dunia. Hari yang ditunggu-tunggu oleh umat di dunia, bagaikan hari kebangsaan nasional saja. Bagi para penikmat Valentine, maka tanggal 14 Februari akan menjadi satu-satunya hari yang layak untuk mengekspresikan cinta mereka.
Saat ini banyak ABG yang mengekor pada budaya Barat akibat pengaruh TV dan media massa lainnya. Termasuk pula dalam hal ini perayaan Hari Valentine, yang pada dasarnya adalah mengenang kembali pendeta St.Valentine. 

Ciliwung, Sungai Kebanggaan Ibukota Indonesia


Mulai bulan Januari kemarin hujan mengguyur bumi Indonesia tak henti-hentinya. Dan hujan itu sebenarnya baik, namun jika dalam intensitas yang banyak alias berlebihan tentulah tidak baik. Dan itu yang selalu negeri ini hadapi setiap tahunnya. Bencana banjir dan longsor.
Seakan menjadi tradisi tahunan banjir melanda di berbagai daerah di Indonesia. Termasuk kota Jakarta yang notabenenya adalah ibukota Indonesia. Dan untuk bencana banjir ini, tahun inilah yang terparah yang terjadi di ibukota negara itu. Hal tersebut terbukti banjir yang terjadi di ibukota sampai masuk ke istana negara, yang seharusnya sudah bisa menangkal banjir dengan fasilitasnya.
Dalam mengatasi hal tersebut, presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengadakan rapat setelah mengunjungi pengungsian. Di sana beliau bersama menteri mengambil keputusan untuk menggelontorkan dana sebesar 500 miliyar untuk pembuatan terusan. Terusan tersebut diharapkan dapat menanggulangi luapan air dari sungai Ciliwung dan air bendungan yang tak dapat dibendung. Terusan tersebut direncanakan rampung setelah 2 tahun.

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO HARUS TANGGALKAN DEMOKRAT, TETAP MENJADI MILIK MASYARAKAT


Presiden Susilo Bambang Yudoyono memang terpilih menjadi presiden tidak lepas dari Partai Demokrat. Banyak hal yang menjadi perjuangan Partai Demokrat untuk memompa keberhasilan Susilo Bambang Yudoyono terpilih menjadi presiden.
Presiden Susilo Bambang Yudoyono kini menjadi tumpuan partainya. Ucapan trima kasih saja sepertinya belum cukup. Hingga Susilo Bambang Yudoyono pun yang sebenarnya “milik” rakyat masih saja harus menganak emaskan partainya.
Misalnya pada kasus yang mengancam partai Demokrat, yakni sejumlah tokoh senior partai yang beberapa hari terakhir menggulirkan pelengseran Anas Urbaningrum dari posisi ketua umum, Syarif Hasan mengungkapkan,
Inagurasi Anggota Baru FLP Jember

Matahari menyingsing di pagi hari seraya menyibakkan jubah keemasannya. Sinarnya membelai dedaunan di bumi peritiwi dan menghangatkan suasana pagi. Pagi ini, sekitar pukul setengah 6 terlihat beberapa muda-mudi sedang berkumpul di teras rumah. Tepatnya di jalan danau toba gang 2, nomer . . mereka tampak berbincang-bincang dengan santai. Beberapa dari mereka terlihat berdiskusi sesuatu. Ya, mereka adalah anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Jember yang akan melakukan inagurasi anggota baru 2013. Kegiatan inagurasi – akhir dari acara requitment – ini sendiri diadakan dua kali selama setahun.
Jam menunjukkan pukul tujuh lewat. Kawan-kawan FLP beranjak dari tempatnya menuju sebuah tempat. Dari sana mereka mengendarai sepeda motor. Beberapa teman yang berangkat menggunakan sepeda goes dititipkan dan dibonceng ke tempat acara.

Indahnya Afdeling Kahendran


Pagi-pagi sekali aku bangun. Segera aku mengambil wudlu dan menunaikan sholat Subuh. Aku panjatkan permiantaan pada-Nya agar hari ini berjalan dengan lancar, dan yang pasti diridloi oleh-Nya. Sejenak aku siapkan segala bawaanku beserta pakaianku yang pantas untuk kupakai hari ini. Setelah sarapan, aku beranjak mengguyur sekujur tubuhku dan segera mengenakan pakaian yang telah aku siapkan tadi. Aku lihat diriku sendiri di depan cermin, aku sudah siap, benakku. Tepat pukul 06.15 WIB aku berangkat meninggalkan rumah menuju salah satu rumah kos temanku di daerah dekat kampus UJ.
Setelah aku sampai di tempat tujuan, ternyata di sana hanya ada segelintir orang. Dari enam belas orang yang akan ikut, hanya tiga orang saja yang sudah berada di tempat itu, di mana aku dan teman-temanku berkumpul sebelum berangkat. Yah, kok banyak yang terlambat sih. Kalau sudah begini, aku harus menunggu teman-teman yang lain datang semua. Lima belas menit, tiga puluh menit sudah berlalu, hingga akhirnya tepat pukul 07.15 WIB rombongan aku dan teman-teman seorganisasi berangkat menuju tempat yang sudah direncanakan dari beberapa hari yang lalu. Dengan berbekal persiapan yang matang, kita menuju salah satu desa di Jember. Cukup pelosok, Desa Pakis namanya.

ZAHRA


Madu. Kata yang tidak asing bukan? Berasa manis, menjadikan sikonsum si sehat, begitu juga dengan bermuka madu, berhati madu, berbulan madu. Tapi bagaimana dengan madu yang akan kuceritakan ini? Kalian boleh menafsirkan sesuka.
Baiklah biar kuceritakan ciri-cirinya sebagai pembuka. Namanya Zahra. Tinggi badannya melebihi tinggi badanku. Aku setinggi telingganya. Jika kutafsir tingginya mencapai 160 cm. Dengan tubuh yang tidak begitu ideal. Jarinya tidak begitu lentik. Wajahnya juga tidak begitu berkilau seperti perempuan-perempuan keturunan Belanda lainnya. Mungkin yang membuatku tertarik padanya selain tatapanya yang selalu menghargai lawan bicara adalah senyum yang mampu mengubahnya menjadi perempuan memesona.
Tapi aku terlalu muda untuk menafsirkan kecantikannya. Yang kutahu, tidak sengaja kupergoki ibuku menangis ketika bertelepon dengannya. Ini kali ke dua, aku melihat ibu bijaksanaku menangis. Aku tahu, ayahku pasti ingin memadu ibu dengan perempuan itu.
Tidak mudah aku mencari tahu nomer teleponnya. Melalui teman dekat ayah, akhirnya aku berhasil mendapatkan. Aku menghubungi. Dia terkesan tersengat ketika tahu aku yang meneteleponnya. Tidak mudah mengatur  janji dengan perempuan berlesung pipi tipis kiri ini. Dia hanya bersedia menemuiku hari minggu. Aku siap menunggu.
“Maaf,” kata awalku dalam menjamu perempuan yang biasa kupanggil Mbak Zahra. Aku memilih tempat yang menjadi tempat faforit ayahku. Rumah makan gubuk, dengan suasana persawahan. Seperti biasa ketika kami bertemu, dia mengelus pundakku. Menggukir senyum dan memersilakan aku duduk.
“Ada sesuatu yang ingin kau ceritakan, Rif?”
“Ini tentang ibuku.”
Perempuan yang bibirnya hampir tidak pernah berparas lipstik ini mendongak. Melepaskan napas panjangnya.
“Ini boleh diminum?” tanya perempuan yang kulihat sempat membelalakkan mata.
“Iya.” Jawabku datar. Aku sengaja menyediakan minuman yang sesuai dengan isi kantongku yang juga menjadi minuman faforit ayah; susu soda merah muda. Aku tahu, jika kami memesan makan, Mbak Zahra pasti yang akan membayar. Tapi bukannya aku yang mengundangnya? Aku mencoba menjadi laki-laki dewasa.
“Ibumu kenapa, Rif?” suara yang tidak pernah berubah, serak-serak basah.
“Ibuku menangis.”
“Rifki, sudah bertanya kenapa Ibu menangis?”
“Tidak.”
“Kira-kira Rifki tahu ibu menangis karena apa?”
“Iya.”
“Hem?” perempuan itu mengelus rambutku. Aku merasakan ia telah menjadi ibu keduaku.
“Ibuku ingin, keinginan ayahku tercapai.”
“Rifki tahu, Ayah Rifki ingin apa?”
“Ingin menikah dengan Mbak Zahra.”
Aku tahu Mbak Zahra berpelik. Ia menyimakku lebih dalam dari sebelumnya. Mungkin baginya anak seusia 15 tahun sepertiku tidak perlu tahu masalah orang dewasa.
“Rifki,”
“Ibuku bersedia mundur demi kebahagiaan ayah. Mbak Zahra ingin tidak mau diduakan, kan?” aku mencoba tidak mendengarkan hatiku sendiri. Bagiku kebahagiaan ibu adalah milikku. Meskipun itu menjadikan hatiku terajam oleh belati berkali-kali.
“Rifki,”
“Ayah ingin anak perempuan. Ibu tidak bisa memberikan apa yang diinginkan ayah. Ibu rela mundur, Mbak.” Aku tidak berani menatap perempuan keturunan Belanda itu. Pasti air mataku takkan mampu tersumbat ketika sekali saja aku menatap matanya.
“Rifki yang pintar membahagiakan ibu, Mbak Zahra akan mencoba membantu ibu Rifki untuk punya anak perempuan ya? Mbak Zahra akan mencari tahu cara dari ilmu kedokteran maupun agama, insyaAllah ada.”
“Tidak, Mbak. Ibu sudah tidak mau hamil lagi. Ibu merasa usianya sudah tua. Ibu kasihan jika anak keempatnya nanti tidak mendapat kasih sayang yang cukup dari ibu. Karena menurut ibu, bisa saja kematiannya lebih awal dari pada kematian Rosul.” Aku berdecak dalam hati. Kurasa lidahku tajam. Perasaanku melambung. Satu tetes air mata tidak bisa kutahan. Celanaku terbasahi olehnya. Mbak Zahra menyodorkan tisu. Aku mengusap air mata.
“Jika ibu punya anak perempuan, Ibu juga tidak akan sanggup melihat anaknya termadu oleh orang seperti ayah yang ingin memadu ibu.” Hatiku terasa teracuni oleh kata-kataku sendiri. Entahlah apa yang dipikirkan Mbak Zahra. Selanjutnya, ia mengeluarkan selembar kertas HVS putih dengan bolpoin merah. Aku tahu sejak dulu Mbak Zahra yang kukenal sebagai teman mengajar ayah yang beberapa bulan itu, suka warna merah. Ia menuliskan sesuatu. Entah apa. Aku masih tersibukkan mencabut duri-duri pada hati.
“Rifki, yang sudah pintar bersikap mandiri, Mbak Zahra tidak bisa berlama-lama. Selembar kertas ini semoga bisa mewakili keputusan Mbak Zahra. Hem, minuman ini sudah dibayar?” tanya Mbak Zahra memperpindah topik. Mbak Zahra paling pintar memalingkan topik satu pada topik lainnya. Kadang aku merasa gemas padanya.
“Sudah, Mbak.”
“Wah, Mbak Zahra ditraktir Rifki dong?”
Aku tersenyum, sedikit ada rasa bangga. Kuanggap kata-kata Mbak Zahra sebagai pujian.
“Rifki, tetap di sini dulu atau ikut pulang?”
“Biarkan Rifki di sini dulu, Mbak.”
“Mbak Zahra duluan ya?”
Aku mengangguk.
##

Sore ini, aku tidak bisa melepas ingatanku bertemu Mbak Zahra. Kubuka lembaran sembari kubayangkan wajah Mbak Zahra yang pasi.

Rifki yang baik, sebaik ayah dan ibu Rifki, terima kasih ya, sudah menerima Mbak Zahra seperti saudara. Rifki, tahu sendiri, kan? Di zaman ini sulit sekali mendapatkan saudara sebaik kalian.
Rifki, Mbak Zahra mengerti perasaan Rifki, perasaan ayah dan ibu Rifki. Ayah Rifki yang menginginkan Mbak Zahra menjadi istrinya untuk menjadi calon ibu anak perempuannya. Ibu Rifki yang tidak sanggup melihat suaminya menderita. Dan Rifki yang tidak bisa merasakan rasa sakit yang terus-menerus ada dihati ibu Rifki.
Ayo kita mencoba menganalisis, apakah Rifki yakin Mbak Zahra mampu memberi anak perempuan untuk Ayah Rifki, sedang Mbak Zahra sendiri berharap punya anak laki-laki sebaik Rifki. Jika Ibu Rifki yang siap dimadu bahkan siap mundur karena tidak bersedia mempunyai darah daging perempuan karena anak perempuannya takut punya nasip sama yaitu dimadu, bagaimana dengan Mbak Zahra yang seandainya punya anak perempuan yang dimadu, sedang Mbak Zahra dimadu saja tidak mau, lebih menyakitkan bukan?
Rifki, baru dua kali ini Mbak Zahra merasa dihargai oleh cinta selain cinta dari keluaga. Rasanya sakit. Bayangkan beberapa orang yang cintanya belum bisa Mbak Zahra terima saja, rela menangis bahkan ada yang mengancam, bagaimana dengan dua orang yang salah satunya adalah Ayah Rifki yang benar-benar mengharapkan kebahagiaan Mbak Zahra, yang benar-benar tidak ingin ada  orang lain yang menyakiti Mbak Zahra?
Tapi sungguh Rifki, kejujuran Ayah dan Ibu Rifki menjadikan hati Mbak Zahra tergurat. Sakit. Telah banyak orang yang tersakiti oleh Mbak Zahra. Mungkin inilah salah satu penyebab Mbak Zahra ingin segera menikah, supaya memutus rasa sakit untuk orang yang sudah maupun akan mencintai Mbak Zahra, sedang Mbak Zahra sulit mencintainya.
Rifki yang mulai dewasa, salam untuk ibu hebat Rifki, sampaikan kekaguman Mbak Zahra kepadanya. Mbak Zahra pernah membaca beberapa cerita yang tokoh perempuannya menginginkan suaminya menikah lagi, Mbak Zahra tidak percaya karena naluri perempuan tidak bisa diduakan. Tapi sekarang Ibu Rifki telah menunjukkan pengorbanan harta terbesar perempuan, perasaannya; untuk membahagiakan Ayah Rifki.
Kurang hebat apa  Ibu Rifki?
Kehebatan apa yang kurang pada diri Ibu Rifki di mata Ayah Rifki?
Ibu Rifki yang begitu hebatnya saja akan dimadu, bagaimana dengan Mbk Zahra yang sering egois, dan sering membuat Ayah Rifki menangis?
Semoga Rifki memahami Mbak Zahra.

“Rifki, teman ayah kecelakaan, masuk rumah sakit. Ibu ikut ayah menjenguk, Rifki jaga rumah ya?” suara Ibu. Terasa Ibu mendongak dari pintu kamar. Aku hanya mengangguk. Terdengar ibu mengunci pintu rumah dari luar. Kulipat lembaran yang telah bercorak air mata.
Aku tahu yang dimaksud ibu adalah Mbak Zahra. Mbak Zahra yang kutemui tertabrak mobil yang melintas. Sedang menurut cerita para pedagang disekitar kejadian, Mbak Zahra menyeberang jalan tanpa melihat ke kiri maupun ke kanan. Kejadian itu tepat sepulang dari tempat kami janjian.
Aku melihatnya tadi siang. Darahnya tercecer melumuri jilbab merah darah Mbak Zahra. Orang-orang berbondong-bondong menghampiri. Ada yang menghubungi ambulan. Da juga yang mengurus tubuh Mbak Zahra. Tubuh Mbak Zahra ditutupi koran.
Aku menutup mata, tak sanggup membayangkan.

 IMSICX
Wuluhan, 30 Januari 2013

HAYALANKU KESASAR


Mungkin kau akan bertanya-tanya bagaimana cara menahlukkan orang yang memerintahmu. Pasti kau pernah ingin menjadikan orang yang menjadikanmu kacung selama ini menjadi kacungmu.
Sedikit-dikit pasti telah kau bayangkan bagaimana sesekali kau membentak dia yang berkali-kali membentakmu. Bayangkan saja, meskipun kau membentaknya dalam bayangan, setidaknya kau mendapat kepuasan. Sepertiku, yang setiap kali membayangkan membunuh anak majikan.
“Kau pecundang.” Kata bayanganku suatu ketika. Mungkin bayanganku bosan membayangkan terus-menerus membayangkan pembunuhan anak majikan. Karena aku disebut pecundang, saksikanlah aku pasti akan menjadi srigala yang siap menerkam anak majikan.
“Ambilakan sepatuku, yang warna merah. Jangan warna hitam!” majikan cilik memerintahku. Aku menuruti. Berlari menuju ruang sepatu. Terdapat enam sepatu merah dengan model berbeda. Kutimbang-timbang dalam angan.

AKHIRNYA KIAMAT LEWAT SAMBUT 2013 DENGAN MIMPI-MIMPI BESAR


Luar biasa kita oii, karena masih hidup di tahun 2013, padahal digosipkan akan terjadi kiamat di tahun 2012. Yang masih percaya dengan rumor itu mah tidur saja. Bagaimana mau membangun mimpi besar kalau masih percaya gosip.

“Jaman sudah berubah, tidakkah anda ingin berubah pula? Mulailah bergerak untuk kesuksesanmu sebelum kegagalan menggerakkanmu”
(Afza Yumaira)

Kenapa harus bermimpi? Tahukah anda bahwa mimpi-mimpi kita untuk masa depan adalah sebuah motor penggerak. Ialah bahan bakar saat mesin kreatifitas kita mati. Tanpa bermimpi kita ibarat patung, karena tak mampu bergerak ataupun menikmati perubahan lingkungan yang ada.