About

Terus berkarya dan berkarya

Alhamdulilah semoga selalu istikomah dalam menelurkan karya-karya. Saya berterima kasih kepada teman-teman yang telah menyumbangkan karyanya untuk di terbitkan di majalah folpen ini. Saya juga turut berterima kasih kepada tim yang telah bekerja keras dalam terbitnya majalah online ini. Semoga kedepannya akan lebih baik lagi. [Pimred]



Susunan Redaksi

Penanggung Jawab: Syahrizal Bakhtiar
Pemimpin Redaksi: Rized Wiasma
Redaktur:Sigit Chandra, Monafisa, Ulin, Tara
Editor bahasa: Siti Imroatul Khusnah, Ilham Mustofa, Aulia B. Rahman
Layout: Ulfa, jefi

Setan Lebaran Duluan



Oleh: Rugyinsun

“Neraka sudah ditutup, dikunci rapat dan setan dibelenggu. Artinya, tak akan ada kejahatan di bulan yang penuh berkah ini.”

Naman masih ingat secara rinci ceramah Kyai Firman tersebut ketika mengisi acara menyambut bulan suci Ramadan di Masjid Ar Rahmah di desanya, Desa Petung. Tetapi petang ini dia tidak mau ke masjid, berdiam diri di kamar. Juga tidak hendak salat sendirian. Dia hanya ingin berdiam diri menatap dinding. Bukan menatap, hanya menghadap saja, karena memang tak ada apa-apa di dinding itu, putih, polos.

Ia mengulang-mengulang satu kata itu, “manipulasi,” tapi dalam benaknya saja. Semakin kuat hingga seolah seluruh bagian tubuhnya ikut meneriakkan tanpa suara: “manipulasi!”

Menurutnya semua orang selalu memanipulasi. Aku bukan anak kecil yang suka dengan manipulasi. Palsu. Ia berkata-kata sendiri, dari hatinya dan hanya untuk didengar hatinya sendiri.

Desa sudah sangat sepi. Orang-orang sudah berangkat ke masjid untuk salat tarawih. Kecuali perempuan-perempuan yang sedang berhalangan salat dan beberapa anak kecil. Malam ini adalah yang keduapuluh sembilan dari malam bulan Ramadan. Orang-orang membawa makanan ke masjid untuk slametan, berdoa mengharap lailatul kadar. Malam yang mereka yakini lebih utama dari seribu bulan. Mereka mengharap berkah dari Tuhan Yang Maha Esa.

“Maling…!! Maling, maling, maling…!!”

Naman kaget dan langsung keluar lari ke arah suara, rumah Bu Ida, yang berada sekita
sepuluh meter ke timur dari rumah Naman. Orang-orang di masjid mendengar teriakan itu dan segera keluar dari masjid. Ibu-ibu yang tidak ke masjid mengejar Naman sambil berteriak maling. Bapak-bapak yang tergesa turun dari masjid pun turut mengejar. Naman bingung dan berusaha lolos dari kejaran, tetapi lawan terlalu banyak. Ia tertangkap.

Untunglah pak lurah dan Kyai Firman juga ikut mengejar sehingga warga tidak berbuat sewenang-wenang padanya. Pak lurah langsung mengamankan bersama Kyai Firman. “Saya bukan maling,” kata Naman sambil menahan nafasnya yang terengah karena kelelahan. Dia dibawa ke masjid. Semua orang ikut ke sana. Anak-anak kecil meneriakinya, “Naman maling, Naman maling, Naman maling,” sambil melompat-lompat riang. Bapak-bapak menyuruh mereka diam sambil menunjuk pada Kyai Firman. Anak-anak itu pun diam.

Semua diam sejenak. Semua mata tertuju pada Naman.“Saya bukan maling, Pak Lurah.” “Terus, kamu ada dimana tadi waktu ada orang teriak maling?” “Tidak tarawih?” Tanya Kyai Firman.

Naman tidak menjawab. Orang-orang naik amarah karena Naman tidak menghiraukan pertanyaan kyai. “Kafir! Kafir!” seseorang meneriakinya. Kyai Firman mengarahkan pandangan “Kenapa kamu tidak tarawih?” Tanya Pak Lurah.

Naman diam, tidak menjawab. “Maling, masak salat, Pak,” celetuk salah seorang pemuda sebaya Naman. Naman mengarahkan pandangannya pada pemuda itu. “Ini bulan puasa, kan, Jup,” “Makanya jangan mencuri, tarawih ke masjid!” serempak orang-orang mengatakan itu.

Naman memandangi semua orang sambil bernafas dalam. “Kalau kalian menganggap saya maling, berarti kalian semua pengecut!” Tinggi sekali nada bicaranya. “Orang nomor satu yang kita jadikan panutan, yang kita hormati, yang selalu kita dengar petuahnya, sudah berdauh kalau setan dibelenggu. Tentu tidak ada kejahatan, kan?! Kalian masih ingat itu, kan?! Dan…”

“Berarti kamu memang pencurinya!” tuding Jupri.

“Sudah, sudah,” Kyai Firman menenangkan suasana. “Naman,” beliau menatap Naman. Naman membalas tatapannya sejenak dan menunduk lagi. “Setan dibelenggu di bulan puasa, oleh orang-orang yang berpuasa, oleh orang-orang yang menahan nafsunya, menahan amarahnya, menahan hasrat keduniawiaannya,” sambil tersenyum beliau menjelaskan pada pemuda yang baru saja berstatus mahasiswa itu.

Wajah Naman tampak tak ramah, beramarah. “Tapi saya bukan malingnya, Kyai.” “Hanya tidak mau tarawih?” Naman tidak menjawab. “Tidak mau puasa? Tidak mau “Itu terserah saya!” jawabnya ketus. “Saya bukan malingnya, saya mau pulang.”

Lalu dia pulang. Darman yang sudah lebih lama berstatus mahasiswa mengejarnya. Naman membiarkan Darman ikut masuk ke kamarnya.

“Kamu terlalu kritis, Man,” kata Darman. “Terpengaruh watak aktivis kampus.” Naman tertawa. “Aktivis apaan?” Darman duduk di lantai, menghadap Naman yang duduk di tepi ranjangnya. “Aktivis pengecut!”

Pembicaraan tidak searah dengan kejadian yang baru terjadi.

“Setiap awal puasa, para aktivis itu selalu geger, rebutan tanggal. Padahal sebenarnya mereka rebutan popularitas. Pemerintah juga begitu, sok sibuk membuat aturan baru, biar tampak menghormati orang Islam.” Darman diam, membiarkan Naman melanjutkan kritikannya. “Ibadah itu kan urusan pribadi masing-masing dengan Tuhan, urusan ilahiah, apa hubungannya dengan memahami kata-kata tujuannya. ”Tapi…, kenapa kamu mau berhenti puasa? Maksudmu…”

“Ibadah itu urusan pribadiku dengan Tuhanku. Kalau aku merasa senang beribadah pada-
Nya, cukup aku dan Dia saja yang tahu.”
“Iya, tapi… kenapa harus tidak ikut tarawih?”

“Tarawih kan tidak harus di masjid! Lagian, iman itu kan di hati. Yang rajin ibadah pun belum tentu hatinya bernar-benar beriman.”

Darman mau tertawa, tapi ia tahan. “Ya sudah, aku ke masjid dulu.” Ia paham kondisi temannya. Dia dulu juga begitu waktu baru bergabung dengan para aktivis kampus.

Setan lepas karena manusia suka pamer ibadah. Mereka hanya beribadah dahir, padahal setan tidak dahir. Makanya setan lepas. Hari raya dijadikan ajang pamer diri, menuruti hasrat Naman mengomel dalam hati, tak jelas siapa yang diomeli, dan apa dasar omelannya.

Mereka pikir, karena rajin tarawih, mereka lebih baik dari aku? Belum tentu! Orang beriman tidak mudah menuduh! Minta maaf bukan hanya ketika lebaran. Ibadah tidak harus. Dia semakin ngelantur, tidak sadar yang diucapkan. Benaknya masih dipenuhi amarah karena dituduh maling. Dia yakin namanya jelek di mata Ida, putri Bu Ida yang terkenal paling cantik, yang juga baru saja berstatus mahasiswa, tapi lain jurusan dengan Naman. Akhir-akhir ini Numan memang selalu mencari perhatiannya.

Malam berlalu. Tetapi hari terasa lebih gelap bagi Naman. Bu Ida benar-benar kehilangan: uang dan baju barunya dicuri maling. Sebenarnya ini kesempatan bagi Naman untuk jadi pahlawan, tapi… “Ah, Tuhan Maha Tahu.” Dia berdiam diri di kamar, tak mau tahu keadaan di luar. Bahkan hingga hari raya tiba. Bapak dan ibunya tidak berkomentar karena Naman sudah Darman langsung masuk ke kamar Naman. Hari ini adalah hari raya Idul Fitri, hari dimana semua umat islam saling bermaafan, bergembira dengan sanak saudara, dan tetangga.

“Aku bukan mau mengajakmu berlebaran,” kata Darman sambil duduk di tepi ranjang Naman. “Orang-orang desa masih awam, kita harus mengajak dan memberi contoh mereka cara bersosial yang lebih baik, beribadah, bersikap, bertingkah laku, dan semacamnya, setelah sebulan menjalankan ibadah. Selama ramadhan kita berdoa, sekarang tinggal usahanya.” Naman diam saja, hanya memandang sekilas pada Darman. “Doa selama puasa merupakan komitmen untuk lebih baik, dan sekarang adalah awal usaha untuk jadi lebih baik. Kita harus menjadi contoh.

Ayo, kita lebih tahu dari mereka. Biar ada yang bisa mereka contoh.” Naman hanya menarik nafas tanpa bahasa. Darman sebenarnya mau tertawa, tapi ia maklum. “Aku mau nyalami teman-teman,” katanya sambil keluar dari kamar Naman.

Naman agak terkejut mendengar kata terakhir Darman.

AIR MATA DI HARI FITRI



Oleh : Lia Salsabila

Waktu bergulir cepat
Bulan penuh berkah pun lewat
Gema takbir mengalun bersahutan
Sambut datangnya hari kemenangan

Perasaanku campur aduk
Saat haru, sedih dan bahagia memeluk
Haru, Ramadan berlalu pergi
Sedih, takut tak bersua kembali
Bahagia, karena tiba hari tuk kembali suci

Namun terasa ada yang berbeda
Malam ini kurasa tak begitu ceria
Riuh bedug di musola
Tak mampu usir gulana

Dua kali gempa buatku gelisah
Menggoyang kotaku bak ayunan saja
Aku panik tak terkira, bertanya tanya
Bagaimana mereka yang di pusat gempa

Membayang
Jerit ketakutan erang kesakitan
Menyatu dengan gemuruh reruntuhan
                                      
Dan kini, bagaimana lebaran mereka
Jangankan pakaian baru dan kue hidangan
Untuk makan saja menunggu belas kasihan
Sedang rumah pun tinggal puing berserakan

Ya Allah
Peringatanmu datang bertubi tubi
Tetap saja kami tenggelam dalam nikmat semu duniawi
Akankah Engkau mendatangkan peringatan lebih dahsyat lagi

Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar
Laa ilaaha illallahu allahuakbar
Allahuakbar walillahilhamd

Hujan menetes dari kelopak sendu
Saat kulantunkan takbir elukan asma-Mu
Berharap hati bersih selalu
Hingga kutetap melangkah di jalan-Mu