About

Biografi Mario Teguh


Mario Teguh adalah seorang muslim yang menjadi motivator dan konsultan bisnis dan kepribadian asal Indonesia. Agama Mario Teguh adalah Islam. Bagi yang menganggap bahwa Mario Teguh kristen, Anda salah besar! Ya, Mario teguh beragama Islam. Beliau menjadi motivator tanpa menyinggung agama tertentu dan bisa merangkul semua kalangan. Mari kita simak kisah hidup Pak Mario!

Perlukah Mengeluh?


Tidak bisa dipungkiri, makhluk yang namanya manusia pasti pernah mengeluh.  Disadari atau tidak, mengeluh sepertinya sudah menjadi bagian dari hidup.  Hanya saja, frekuensi dan kualitas keluhannya yang membedakan antara satu personal dengan personal lainnya.  Biasanya perbedaan ini terkait dengan tingkat pemahaman dan cara pandang seseorang tentang suatu masalah yang sedang ia hadapi.  Sabar, ikhlas dan seberapa besar keinginan untuk merubah sebuah  keadaan menjadi lebih baik, biasanya akan meminimalisir keluhan.  Sebaliknya  pesimis dan berburuksangka terhadap kejadian yang sedang menimpa secara otomatis akan memunculkan keluhan-keluhan yang alih-alih mendapatkan penyelesaian, malah akan menambah ruwet dan bisa jadi menambah masalah baru.

PENYESALAN


Angin malam berhembus kencang menerjang lapisan kulit setiap insan yang merasakan meski  rembulan tampil dengan bulat sempurna meski bintang-bintang terang benderang menghiasi malam, namun  pemandangan tersebut tak turut menghibur hati Tono yang sedang padam bagai tersiram air yang deras.
Tono adalah seorang pria yang sudah berkepala empat akan tetapi satu persatu dari empat anaknya pergi meninggalkan Tono dan istrinya, mereka tidak tahan dengan kondisi ekonomi keluarganya.

HILANG ARAH


Gelisah itu datang..tanpa pernah tahu harus diapakan
Menggelayut…menggantung diantara debu asa yang mulai bertebaran tanpa terencana
Dan sepipun mulai memaksa…mencari celah untuk berkuasa
Pada batin yang mulai tak percaya akan harap yang dulu sempat bermuara
Kemana arah harus dituju?
Saat mata angin tak lagi bisa terbaca maknanya
Jejak usang di atas pasir itupun mulai hilang…terterpa angin, tak berbekas
Lalu kemana lagi kaki ini harus berjalan?

BECAUSE I LOVE YOU

Tahu gak hal apa yang paling banyak dibicarakan lagu? Tahu gak hal apa yang paling sering dibicarakan film dan sinetron? Tahun gak hal apa yang sering dibicarakan novel-novel? Ya, jawabnya sama cinta. Dan di sini kita bicara tentang ‘because I loveYou.’
Banyak orang yang cinta terhadap orang lain namun sulit untuk mengungkapkannya. Terkadang, tindakannya itu disangka berlebihan. Ya, memang sih, namanya cinta harus ada yang berlebihan dan tidak logis. Tapi, seharusnya kita belajar dulu bagaimana mengungkapkan kecintaan kita terhadap orang-orang di sekitar kita. Jadi, berawal dari kata ini, jika kita belaku tegas dan keras terhadap orang lain karena cinta kita, iringilah denganperkataan‘I do thisbecause, I loveyou.’
Hal yang perlu kita dipelajari adalah bagaimana kita‘menggunakan’ cinta itu. Karena banyak orang membunuh yang dicintainya karena kecintaannya padanya. Misal ni ya, kita kasikan itik ke seorang anak berusia satu setengah tahun. Bayangkan apa yang akan terjadi. Anak itu akan menggenggam itik itu erat-erat dengan kedua tangannya, karena takut itik itu lepas. Dan juga bisa dibayangkan,gimanatu anak itiknya. Jadi, hati-hatilah.

Si Adik yang Lugu


“Kak, ngapain sih di situ? Kok kayak ngumpet-ngumpet gitu?” Si kakak tidak menyahut.
“Kak, ada yang nyariin loh. Gak ditemuin?” Si adik yang berumur 8 tahun semakin tidak mengerti dengan tingkah kakaknya.
“Ssstt.. Diam! Jangan banyak omong!” Si kakak mulai menggerutu mendengar adiknya mengocehinya dari tadi.
“Lhaa Kakak ngapain di bawah meja tuh,” si adik menoleh ke kanan dan ke kiri, kemudian melihat kakaknya lagi, “gak ada gempa, kan.”
“Iya tau, Dik.” Si kakak tetap sibuk di bawah meja sembari mencari-cari sesuatu.
“Ada yang nyariin tuh di depan.”
“Iya, Adikku sayang,” si kakak akhirnya keluar dari meja kemudian menuntun si adik keluar kamarnya, “bentar lagi kakak temuin. Suruh tunggu sebentar yah.” Si adik hanya bisa tercengang melihat kakaknya, namun ia turuti saja perintah kakaknya itu. Berbalik, pintu kamar kakaknya sudah tertutup. Hemm.. desahnya.

BALADA TERBUNUHNYA MBOK MAH


Bagi Mbok Mah, pekerjaan itu adalah hobi. Paling lambat satu  jam setelah bangun, ia akan menjalani pekerjaan itu. Menyiur lebih dulu. Sarapan akan ia lakukan saat matahari sedikit meninggi.
Para tetangganya sudah hapal, ada yang cukup mengangguk ketika Mbok Mah menyapa, ada yang lebih dulu menyapa, ada yang menyungging senyum saja, ada yang mengeluarkan kata-kata serapah pada yang ia anggap “sampah”, Mbok Mah. Mbok Mah tahu siapa saja mereka. Mereka adalah orang-orang kaya dari pada dirinya. Jika mereka bukan kaya harta, kehormatannyalah yang ia jadikan sebagai sumber kekayaan.

Apa FLP Menurut Kamu?

Acara SKSD (Sok Kenal Sok Dekat) anggota FLP baru periode 2012-2013 kali ini diadakan di masjid SMP IT Al Ghazali pada hari Minggu, 23 Desember dimulai pukul 08.30 hingga 11.30 WIB.  Acara ini ditujukan untuk saling kenal-mengenalnya antar anggota baru dengan anggota pengurus. Selain sebagai kegiatan pertemuan untuk saling mengenal anggota FLP Jember satu sama lain, didalam SKSD juga diperkenalkan visi dan misi FLP, serta tahun berdirinya FLP Jember yakni pada tahun 2005 yang lalu.
               Pemateri pertama tentang pengenalan visi – misi FLP dibawakan oleh mbak Iim (Imsicx, penulis novelet “Luka Perca”), beliau juga sebagai anggota pengurus FLP. Beliau memberi  sesi tanya jawab disela-sela pemberian materi pengenalan organisasi FLP secara umum. Didalam tanya jawab itu, beliau memberi pertanyaan tentang apa sebetulnya FLP menurut pandangan peserta.

Terhapusnya Catatan Merah Paranoia

Angin berhembus membelai lipatan daun ilalang yang berjajar di sepanjang jalan kenangan. Jalan yang membentang dari utara, yang membelah hutan cemara di sisi kanan dan kiri jalan. Pagi yang diselimuti udara hangat yang tengah dipanaskan mentari sejak terbit di kaki cakrawala. Membentang jalan itu di depanku. Masih seperti yang dulu, cemara-cemara masih menancapkan kaki-kaki akarnya di kedalaman tanah. Pucuk-pucuk daun cemara yang runcing seolah membisikkan sesuatu kepadaku. Rumput-rumput liar menggelar kehidupan di sela-sela kehiduoan cemara-cemara yang tinggi jenjang. Rumput-rumput itu seragam, berdaun sempit dan panjangnya seukuran jari kelingking orang dewasa. Tanah tertutupi olehnya, rumput dan cemara, tetapi di ujung jalan di dekat perigaan di sisi paling utara, tanah telanjang tanpa rumput ataupun cemara yang menyentuh tubuh haranya. Disana, kenangan itu tersimpan.

Rekrutmen FLP

Sabtu, 15 Oktober 2012
Cuaca cerah sekali semenjak tengah hari, tidak ada mendung menggantung dan bisa dipastikan sampai nanti sore tidak akan turun hujan. Setidaknya dengan kondisi yang demikian, pengurus FLP Jember bisa bernafas sedikit lebih lega. Maklum hari Jumat seminggu lalu -tanggal 7 Desember- acara yang semula diprediksi akan dihadiri banyak peserta (sesuai form pendaftaran berjumlah 60 orang), terpaksa sepi dengan kehadiran hanya 10 orang. Semua panitia memasang tampang lesu, semangat yang pasang pun mendadak surut. Untungnya hari ini cuaca bersahabat sekali, tidak ada awan yang nampak lebam keabu-abuan.
Kondisi demikian tidak berjalan lama. Setengah jam berlalu, mendadak langit mendung sekali, sangat buram. Petir menyala-nyala seperti blitz kamera, guntur meledak bak dentum mesiu dan kecemasan pengurus mencapai klimaks saat hujan menderas.

‘Jangan’ Selalu Percaya Seminar Wirausaha

Saya mendapatkan sebuah undangan, tentang seminar wirausaha. Sembari membaca undangan, banyak prolog masuk mempengaruhi pikiran saya. Katanya “Ntar akan ada kiat-kiat menarik, bagaimana trik meminjam uang di bank untuk permodalan, pengembangan bisnis, penggelembungan aset dan terakhir kita akan banyak bertemu dengan para pengusaha muda. “Otomatis semakin banyak kenalan dan partner bisnis meluas.”
      Terus, penting nggak sebenarnya mengikuti sebuah seminar tentang kewirausahaan? Penting, penting banget. Tapi filosofinya sama dengan membaca buku. Sebelum membeli buku dan menyelami dulu isinya; siapa pengarangnya, siapa penerbitnya, apa tema yang dibahas didalamnya dan berapa harga bukunya. Begitu juga seminar wirausaha. Perlu juga sebenarnya kita telaah; siapa pematerinya, siapa penyelenggaranya, apa tema bahasan yang dibahas dan berapa tiket masuk seminarnya.

Marun

Kau bilang aku tak sesuai untuk warna itu
Kau bilang aku harusnya berwarna ini

Kau bilang itu tak indah untukku
Kau bilang ini yang indah padaku

Hei
Siapakah kamu melukis warnaku seperti aku ini kanvas kosongmu?

Peach

Apakah warna itu
aku tak bisa menyebut namanya
seperti cerah namun gelap
Bersama melodi ini
Ah,
mellownya

Senyum getasku muncul seperti petir

Menyambar segenap sisi hatiku kemudian menggelap lagi

Ulfatuzzuhroh
Tepi Jalan Karimata, pada suatu senja

Surat Untuk Ibu

Untuk seseorang yang tak pernah lelah menjagaku…
Hari ini tepat tanggal 22 Desember, kata orang ini dirayakan sebagai hari ibu. Dan ini berarti sudah 22 tahun aku tak pernah mengucapkan langsung padamu ibu. Kali ini aku bersembunyi di balik surat ini, berbeda dengan tahun lalu ketika aku hanya mampu memberi ucapan melalui pesan singkat itu. Entahlah, selalu ada saja jelaga ketidakyakinan untuk mengucapkannya dihadapanmu secara langsung. Bukan karena aku tak ingin, aku hanya belum mampu untuk melakukannya. Sejujurnya aku iri pada mereka yang begitu mudah mengucapkan itu semua. Aku pun ingin mendapat ciuman pipi dari ibu seperti yang lainnya.

USAHA SAJA TIDAK CUKUP

Kegiatan lomba PORSENI MTs sejawa timur, salah satunya yaitu speech contest sudah tinggal 6 hari lagi, tetapi persiapan belum ada sama sekali. Akhirnya ketika itu juga  segera merancang segala keperluan untuk lomba. Diantaranya seperti; teks, membuat surat izin untuk lomba, dan mengatur waktu secara maksimal di akhir waktu yang masih tersisa.
Teks sudah jadi, dan latihan selama 2 hari sudah berjalan, namun “tema” baru sudah pasti setelah latihan 2 hari (sebelumnya masih nebak).  Terkesan dadakan memang. Waktu hanya tersisa 4 hari untuk mempersiapkan semuanya. Tapi tidak ada kata telat selagi masih ada waktu. yang menjadi pertanyaan adalah, “mengapa informasinya sampai begitu telatnya hingga persiapannya hanya tersisa 4 hari?” hmm.. ternyata setelah ditelusuri, ada kesalah pahaman dari guru bahasa inggrisnya. Sebenarnya pengumuman speech contest-nya sudah ada 3 minggu yang lalu. Tapi ia pikir itu hanya pengumuman (aturan) seleksi di sekolah. Untuk tingkat selanjutnya berbeda. Nah, ternyata pengumuman itu adalah aturan untuk seleksi kabupaten bahkan propinsi. Baru tau setelah ku tanyakan kepada bagian kesiswaannya. (Huft! Sedikit menyebalkan sebenarnya). Tapi tak apalah.. kita gunakan sisa waktu tersebut semaksimal mungkin.

TIPS dan TRIK Menulis Cepat

Menulis adalah kegiatan menuangkan ide dan pikiran kita ke dalam tulisan. Artinya, bagaimana kita menjelaskan gagasan kita kepada orang lain melalui simbol huruf yang tidak dapat terucap. Saat kita berbicara, tiap harinya kita memproduksi beribu-ribu kata. Dan tanpa kita sadari, sudah berapa kali kita menuangkan ide kita atau pesan kepada orang lain. Bahkan, jika semua perkataan kita dalam satu hari ditulis, mungkin bisa menghabiskan satu buku.

TUHAN MAHA MENGABULKAN DOA

Kita percaya bahwa Tuhan Maha Mengabulkan Doa, Tuhan Maha Pemurah, Tuhan Maha Pemberi. Tapi dalam kenyataannya, ketika kita berdoa kurang bersungguh-sungguh. Bukankah kita percaya? Hal inilah yang sering terjadi.
Sebenarnya yang perlu kita lakukan adalah ‘yakin’ akan terkabulnya doa kita. Oleh karena itu, kita pastilah harus bersungguh-sungguh dalam berdoa. Karena kita sendiri saja, sebagai manusia, apabila ada seseorang yang meminta suatu hal, dan orang tersebut terlihat tidak sungguh-sungguh mintanya, pastilah tidak kita berikan. Nggak juga?

LA-nya Jember

Setelah bangun pagi-pagi, pasti setiap orang mempunyai aktivitas dan rutinitas sendiri-sendiri, bisa sama dengan orang lain tau bisa saja berbeda-beda setiap orang. Yah.. ini memang hak masing-masing.
Kalau rutinitas yang biasanya (berarti gak tiap hari, hehe) aku lakukan di saat pagi hari adalah jogging. Eits, bukan bangun tidur langsung jogging loh ya. Pastinya menunaikan sholat Subuh dulu, itu adalah rutinitas yang tak boleh ditinggalkan oleh seorang muslim atau muslimah. Pembaca yang muslim dan muslimah tak bisa diragukan lagi, pasti setuju donk.

KADO INDAH UNTUK ISTRIKU (Selesai)

Sesuatu yang tidak pernah saya lupa, setiap kali gadis itu mendapat hadiah sesederhana apapun, ia akan menjawab terimakasih berlebih. Rasa bungah merias wajah. Tapi tidak ketika itu, mulut manisnya berlidah tajam. Hati saya segera berdesir. Rasa sendu cepat sekali meratap. Akankah pendirian saya akan limbang? Sementara gadis itu berdiri, untuk mengendalikan emosi saya mencoba berduduk.
“Jika ini merupakan syarat aku menjadi istrimu, biarlah aku menjadi milik orang lain.” Kata-katanya seperti ketela kukus. Empuk, hanya saja sulit melewati kerongkongan.
“Ely, hidup itu seperti labirin, penuh jalan lorong, berliku, simpang siur, rumit, berbelit-belit, tapi yakinlah bisa kita atasi dengan ketenangan.”

Bibin

Di suatu pagi yang cerah, Bibin si gajah berjalan-jalan mengelilingi hutan. Badannya yang besar berjalan berlenggok-lenggok, belalainya diayun-ayunkan, dia pun bernyanyi riang. “Kukuruyuk kukuruyuk.. Hai Bibin, kamu terlihat senang sekali hari ini?” Tiba-tiba kokok si Jago yang sedang bertengger di dahan pohon terdengar Bibin. “Iya, Jago. Aku sangat senang.” Jawab Bibin dengan raut wajah yang cerah.
“Apa yang membuatmu senang, kawan?” Tanya Bibin penasaran. “Pokoknya aku senang.” Jawab Bibin singkat sambil berlalu meninggalkan Jago. Ia pun kembali berjalan riang sambil bernyanyi. Si Jago heran, ia semakin penasaran apakah gerangan yang membuat si Bibin begitu senang.
Bibin terus berjalan melewati pepohonan. Beringin, jati, apel, jeruk, cemara, semua pohon ia lewati dengan begitu saja, tanpa ada sapaan. Pepohonan terheran-heran karena tidak biasanya Bibin seperti ini.
Ternyata diam-diam Jago mengikuti Bibin di belakangnya. Namun Bibin tidak mengetahui kalau Jago mengikutinya. Di tengah perjalanan, si pohon Beringin bertanya pada Jago, “Hey Jago, kenapa Bibin terlihat aneh hari ini ya?”

Cerita Di balik 3000

Cukup merasa penat dengan segala aktivitas beberapa bulan terakhir ini membuat aku memutuskan untuk mengambil liburan sejenak. Tak banyak, cukup tiga hari dari sekian banyak waktu yang sudah aku habiskan untuk mengurus sidang skripsi sampai ke wisuda. Yogyakarta, adalah tempat yang menjadi tujuan kali ini. Memang bukan yang pertama kali, ini sudah kali kedua aku mengunjunginya. Kota dengan budaya yang begitu kental ini, memang mendatangkan kerinduan tersendiri. Inilah alasan aku memilih kota ini untuk melepas sedikit penat dalam pikiran.
Hari kedua aku putuskan untuk menjadi bocah petualang sejati. Diawali dengan berjalan kaki dari penginapan ke arah Malioboro, lalu ke pasar Beringharjo, dan berlanjut ke Benteng Vredeburg. Setelah puas menikmati keindahan Benteng Vrederburg, lalu perjalanan dilanjutkan menuju keraton Yogyakarta. Karena kaki sudah agak sakit, aku memutuskan untuk naik becak. Tak begitu lama berada di keraton, karena akan berkeliling sebentar ke alun-alun utara. Sayangnya hujan turun, dan emaksaku untuk berhenti sejenak. Selain memang sudah capek, hasrat belanja juga sudah hilang ketika melihat isi dompet yang tak lagi tebal. Tapi hasrat menikmati kota ini masih sangat tinggi meski kaki sudah memaksa untuk berhenti, dan isi dompet juga sudah mulai mengingatkan untuk berhemat.

No Excuse

Siang bolong saya menerima pesan singkat dari istri, isinya "Mas doakan adek lancar-lancar aja. Ini mau berangkat halaqah, air sungai pasang. Semalam ujan deres soalnya." Saya sih belum kebayang, kalau sungai manggu dan katingan pasang seperti apa. Lebar sungainya saja sekitar empat atau lima kali lebar jalan Ahmad Yani jember. Wuizzz.
Seperti biasa, istri saya akan melalui perjalanan yang panjang ketika berangkat halaqoh. Harus menaiki kapal penyebrangan, melalui perjalanan jalur sungai sekitar 45 menit dan berjalan kaki beberapa kilometer. Lumayan melelahkan, terlebih hanya ada waktu istrahat sekitar satu jam dari jadwal pulang kerja. Bisa diartikan setiap hari itu, istri saya harus mengeluarkan waktu ekstra untuk menguras fisiknya, padahal kondisi sedang hamil.

Indahnya Ukhuwah

Setiap hari kita berinteraksi dengan banyak orang, semenjak terbangun dari tidur sampai mata kita terpejam. Begitulah kita setiap harinya. Allah menciptakan keindahan ukhuwah sesama manusia agar kita saling terbantu satu dengan lainnya. Kita akan membutuhkan saudara kita di setiap sudut kehidupan, mulai dari lingkungan warga rumah sampai khalayak ramai, mulai dari ruang sekolah sampai ruang kuliah, mulai dari rumah sampai ruang kerja.

SELANGKAH PASTI UNTUK PEREMPUAN PEMBANGUN NEGRI


Perempuan merupakan sosok yang luar biasa di mata dunia. Ia adalah agen perubahan penting pembangun suatu negara. Negara akan baik jika perempuan di dalamnya baik dan sebaliknya negara itu akan hancur jika perempuannya hancur.
Saat ini ada banyak kekecewaan yang terjadi di negri ini tentang perempuan. Tak ubahnya perempuan negri ini adalah sampah yang diseret sana sini tanpa nilai. Harga perempuan tidak ada lagi. Tidak ada setitikpun nilai yang bisa diambil dari perempuan-perempuan saat ini. Hanya secuil dari mereka yang masih mempertahankan martabat dan harga dirinya. Arus globalisasi telah membutakan mata perempuan negri ini. Virus-virus dari luar telah membobrokkan akhlak dan pemikiran mereka. Sistem kapitalis telah membunuh martabat perempuan. Perbedaan cara pandang Kapitalisme terhadap perempuan sudah sangat jelas. Kapitalisme memandang perempuan seperti barang yang dapat diperjualbelikan, karena itu ia dieksploitasi kecantikannya, digunakan promosi berbagai produk sekalipun produk itu tidak ada hubungannya dengan perempuan. Perempuan dianggap mesin pencetak uang, unsur penting penopang perbaikan ekonomi. Sehingga perempuan dinilai berharga sesuai dengan materi yang dia hasilkan.

#Pentingnya Evaluasi*


Nah.. hari ini (kebetulan hari minggu), saya ingin bercerita tentang salah satu kegiatan di pondok saya sekaligus menganalisa kekurangan yang ada di dalamnya.
Kegiatan majlis taklim bakda subuh setiap hari rabu dan minggu selalu saja diwarnai oleh semprotan air sesekali pukulan terhadap seorang santri yang tidur. Tujuannya sih bagus yaitu, agar santri yang tidur itu bangun dan mendengarkan pengajian dengan seksama. Namun, setelah beberapa menit bangun, ia pun tidur lagi dan seorang secara bergantian dari pelaksana majlis taklim menyemprotnya dengan air sekali lagi. Tak disangka beberapa menit kemudian, ia tidur lagi dan lagi hingga kegiatan majlis taklim usai.

RASA DALAM CAWAN


Gelap malam butakan pena
Pusaran waktu menumpulkannya
Menggilas setiap pucuk lancip
Melunakkan keganasan raungannya
Bagaikan sang rimba tak berdaya
Sang pertiwi teriak histeris
Lubuk hati goreskan tangis
Jiwa termangu dalam semu
Menerka kekuatan terpendam
Sunyi

KADO INDAH UNTUK ISTRIKU (Bagian 1)


Remaja itu berayun-ayun pada sebuah ayunan. Rambut urainya tersapu angin, sesekali terjerembat pada batang ayunan. Senyumnya yang tidak pernah lepas dari bibir merekahnya, menjadikan orang lain sering memuji.
Serentetan cerita adalah bagian terpenting bagi gadis bertubuh langsing itu. Tidak peduli apakah orang lain peduli atau tidak pada ceritanya. Ia akan tetap menjadi pencair suasana. Ia sering menjadi pusat perhatian.
Gagasan-gagasan yang tersampaikan olehnya selalu menarik. Baru. Suka berimajinasi. Unik. Ketika gagasan itu tersampaikan, mata lebarnya semakin menawan.

Terus berkarya dan berkarya

Alhamdulilah semoga selalu istikomah dalam menelurkan karya-karya. Saya berterima kasih kepada teman-teman yang telah menyumbangkan karyanya untuk di terbitkan di majalah folpen ini. Saya juga turut berterima kasih kepada tim yang telah bekerja keras dalam terbitnya majalah online ini. Semoga kedepannya akan lebih baik lagi. [Pimred]



Susunan Redaksi

Penanggung Jawab: Syahrizal Bakhtiar
Pemimpin Redaksi: Rized Wiasma
Redaktur:Sigit Chandra, Monafisa, Ulin, Tara
Editor bahasa: Siti Imroatul Khusnah, Ilham Mustofa, Aulia B. Rahman
Layout: Ulfa, jefi

Setan Lebaran Duluan



Oleh: Rugyinsun

“Neraka sudah ditutup, dikunci rapat dan setan dibelenggu. Artinya, tak akan ada kejahatan di bulan yang penuh berkah ini.”

Naman masih ingat secara rinci ceramah Kyai Firman tersebut ketika mengisi acara menyambut bulan suci Ramadan di Masjid Ar Rahmah di desanya, Desa Petung. Tetapi petang ini dia tidak mau ke masjid, berdiam diri di kamar. Juga tidak hendak salat sendirian. Dia hanya ingin berdiam diri menatap dinding. Bukan menatap, hanya menghadap saja, karena memang tak ada apa-apa di dinding itu, putih, polos.

Ia mengulang-mengulang satu kata itu, “manipulasi,” tapi dalam benaknya saja. Semakin kuat hingga seolah seluruh bagian tubuhnya ikut meneriakkan tanpa suara: “manipulasi!”

Menurutnya semua orang selalu memanipulasi. Aku bukan anak kecil yang suka dengan manipulasi. Palsu. Ia berkata-kata sendiri, dari hatinya dan hanya untuk didengar hatinya sendiri.

Desa sudah sangat sepi. Orang-orang sudah berangkat ke masjid untuk salat tarawih. Kecuali perempuan-perempuan yang sedang berhalangan salat dan beberapa anak kecil. Malam ini adalah yang keduapuluh sembilan dari malam bulan Ramadan. Orang-orang membawa makanan ke masjid untuk slametan, berdoa mengharap lailatul kadar. Malam yang mereka yakini lebih utama dari seribu bulan. Mereka mengharap berkah dari Tuhan Yang Maha Esa.

“Maling…!! Maling, maling, maling…!!”

Naman kaget dan langsung keluar lari ke arah suara, rumah Bu Ida, yang berada sekita
sepuluh meter ke timur dari rumah Naman. Orang-orang di masjid mendengar teriakan itu dan segera keluar dari masjid. Ibu-ibu yang tidak ke masjid mengejar Naman sambil berteriak maling. Bapak-bapak yang tergesa turun dari masjid pun turut mengejar. Naman bingung dan berusaha lolos dari kejaran, tetapi lawan terlalu banyak. Ia tertangkap.

Untunglah pak lurah dan Kyai Firman juga ikut mengejar sehingga warga tidak berbuat sewenang-wenang padanya. Pak lurah langsung mengamankan bersama Kyai Firman. “Saya bukan maling,” kata Naman sambil menahan nafasnya yang terengah karena kelelahan. Dia dibawa ke masjid. Semua orang ikut ke sana. Anak-anak kecil meneriakinya, “Naman maling, Naman maling, Naman maling,” sambil melompat-lompat riang. Bapak-bapak menyuruh mereka diam sambil menunjuk pada Kyai Firman. Anak-anak itu pun diam.

Semua diam sejenak. Semua mata tertuju pada Naman.“Saya bukan maling, Pak Lurah.” “Terus, kamu ada dimana tadi waktu ada orang teriak maling?” “Tidak tarawih?” Tanya Kyai Firman.

Naman tidak menjawab. Orang-orang naik amarah karena Naman tidak menghiraukan pertanyaan kyai. “Kafir! Kafir!” seseorang meneriakinya. Kyai Firman mengarahkan pandangan “Kenapa kamu tidak tarawih?” Tanya Pak Lurah.

Naman diam, tidak menjawab. “Maling, masak salat, Pak,” celetuk salah seorang pemuda sebaya Naman. Naman mengarahkan pandangannya pada pemuda itu. “Ini bulan puasa, kan, Jup,” “Makanya jangan mencuri, tarawih ke masjid!” serempak orang-orang mengatakan itu.

Naman memandangi semua orang sambil bernafas dalam. “Kalau kalian menganggap saya maling, berarti kalian semua pengecut!” Tinggi sekali nada bicaranya. “Orang nomor satu yang kita jadikan panutan, yang kita hormati, yang selalu kita dengar petuahnya, sudah berdauh kalau setan dibelenggu. Tentu tidak ada kejahatan, kan?! Kalian masih ingat itu, kan?! Dan…”

“Berarti kamu memang pencurinya!” tuding Jupri.

“Sudah, sudah,” Kyai Firman menenangkan suasana. “Naman,” beliau menatap Naman. Naman membalas tatapannya sejenak dan menunduk lagi. “Setan dibelenggu di bulan puasa, oleh orang-orang yang berpuasa, oleh orang-orang yang menahan nafsunya, menahan amarahnya, menahan hasrat keduniawiaannya,” sambil tersenyum beliau menjelaskan pada pemuda yang baru saja berstatus mahasiswa itu.

Wajah Naman tampak tak ramah, beramarah. “Tapi saya bukan malingnya, Kyai.” “Hanya tidak mau tarawih?” Naman tidak menjawab. “Tidak mau puasa? Tidak mau “Itu terserah saya!” jawabnya ketus. “Saya bukan malingnya, saya mau pulang.”

Lalu dia pulang. Darman yang sudah lebih lama berstatus mahasiswa mengejarnya. Naman membiarkan Darman ikut masuk ke kamarnya.

“Kamu terlalu kritis, Man,” kata Darman. “Terpengaruh watak aktivis kampus.” Naman tertawa. “Aktivis apaan?” Darman duduk di lantai, menghadap Naman yang duduk di tepi ranjangnya. “Aktivis pengecut!”

Pembicaraan tidak searah dengan kejadian yang baru terjadi.

“Setiap awal puasa, para aktivis itu selalu geger, rebutan tanggal. Padahal sebenarnya mereka rebutan popularitas. Pemerintah juga begitu, sok sibuk membuat aturan baru, biar tampak menghormati orang Islam.” Darman diam, membiarkan Naman melanjutkan kritikannya. “Ibadah itu kan urusan pribadi masing-masing dengan Tuhan, urusan ilahiah, apa hubungannya dengan memahami kata-kata tujuannya. ”Tapi…, kenapa kamu mau berhenti puasa? Maksudmu…”

“Ibadah itu urusan pribadiku dengan Tuhanku. Kalau aku merasa senang beribadah pada-
Nya, cukup aku dan Dia saja yang tahu.”
“Iya, tapi… kenapa harus tidak ikut tarawih?”

“Tarawih kan tidak harus di masjid! Lagian, iman itu kan di hati. Yang rajin ibadah pun belum tentu hatinya bernar-benar beriman.”

Darman mau tertawa, tapi ia tahan. “Ya sudah, aku ke masjid dulu.” Ia paham kondisi temannya. Dia dulu juga begitu waktu baru bergabung dengan para aktivis kampus.

Setan lepas karena manusia suka pamer ibadah. Mereka hanya beribadah dahir, padahal setan tidak dahir. Makanya setan lepas. Hari raya dijadikan ajang pamer diri, menuruti hasrat Naman mengomel dalam hati, tak jelas siapa yang diomeli, dan apa dasar omelannya.

Mereka pikir, karena rajin tarawih, mereka lebih baik dari aku? Belum tentu! Orang beriman tidak mudah menuduh! Minta maaf bukan hanya ketika lebaran. Ibadah tidak harus. Dia semakin ngelantur, tidak sadar yang diucapkan. Benaknya masih dipenuhi amarah karena dituduh maling. Dia yakin namanya jelek di mata Ida, putri Bu Ida yang terkenal paling cantik, yang juga baru saja berstatus mahasiswa, tapi lain jurusan dengan Naman. Akhir-akhir ini Numan memang selalu mencari perhatiannya.

Malam berlalu. Tetapi hari terasa lebih gelap bagi Naman. Bu Ida benar-benar kehilangan: uang dan baju barunya dicuri maling. Sebenarnya ini kesempatan bagi Naman untuk jadi pahlawan, tapi… “Ah, Tuhan Maha Tahu.” Dia berdiam diri di kamar, tak mau tahu keadaan di luar. Bahkan hingga hari raya tiba. Bapak dan ibunya tidak berkomentar karena Naman sudah Darman langsung masuk ke kamar Naman. Hari ini adalah hari raya Idul Fitri, hari dimana semua umat islam saling bermaafan, bergembira dengan sanak saudara, dan tetangga.

“Aku bukan mau mengajakmu berlebaran,” kata Darman sambil duduk di tepi ranjang Naman. “Orang-orang desa masih awam, kita harus mengajak dan memberi contoh mereka cara bersosial yang lebih baik, beribadah, bersikap, bertingkah laku, dan semacamnya, setelah sebulan menjalankan ibadah. Selama ramadhan kita berdoa, sekarang tinggal usahanya.” Naman diam saja, hanya memandang sekilas pada Darman. “Doa selama puasa merupakan komitmen untuk lebih baik, dan sekarang adalah awal usaha untuk jadi lebih baik. Kita harus menjadi contoh.

Ayo, kita lebih tahu dari mereka. Biar ada yang bisa mereka contoh.” Naman hanya menarik nafas tanpa bahasa. Darman sebenarnya mau tertawa, tapi ia maklum. “Aku mau nyalami teman-teman,” katanya sambil keluar dari kamar Naman.

Naman agak terkejut mendengar kata terakhir Darman.

AIR MATA DI HARI FITRI



Oleh : Lia Salsabila

Waktu bergulir cepat
Bulan penuh berkah pun lewat
Gema takbir mengalun bersahutan
Sambut datangnya hari kemenangan

Perasaanku campur aduk
Saat haru, sedih dan bahagia memeluk
Haru, Ramadan berlalu pergi
Sedih, takut tak bersua kembali
Bahagia, karena tiba hari tuk kembali suci

Namun terasa ada yang berbeda
Malam ini kurasa tak begitu ceria
Riuh bedug di musola
Tak mampu usir gulana

Dua kali gempa buatku gelisah
Menggoyang kotaku bak ayunan saja
Aku panik tak terkira, bertanya tanya
Bagaimana mereka yang di pusat gempa

Membayang
Jerit ketakutan erang kesakitan
Menyatu dengan gemuruh reruntuhan
                                      
Dan kini, bagaimana lebaran mereka
Jangankan pakaian baru dan kue hidangan
Untuk makan saja menunggu belas kasihan
Sedang rumah pun tinggal puing berserakan

Ya Allah
Peringatanmu datang bertubi tubi
Tetap saja kami tenggelam dalam nikmat semu duniawi
Akankah Engkau mendatangkan peringatan lebih dahsyat lagi

Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar
Laa ilaaha illallahu allahuakbar
Allahuakbar walillahilhamd

Hujan menetes dari kelopak sendu
Saat kulantunkan takbir elukan asma-Mu
Berharap hati bersih selalu
Hingga kutetap melangkah di jalan-Mu

Resensi Buku



Dalam sejarah kecerdasan sebuah kaum, Yahudi merupakan kaum yang kecerdasaannya tidak diragukan lagi. Meskipun jumlah mereka yang tidak lebih dari 1% dari jumlah penduduk dunia, mereka dapat menguasai dunia ini dengan karya-karya mereka yang fenomenal. Kecerdasaan mereka terbukti hampir 50% ilmuwan pendidikan adalah keturunan Yahudi di Spanyol. Lebih dari 25% profesor di perguruan tinggi yang tersebar di seluruh Amerika Serikat adalah orang Yahudi. Dari 270 Hadiah Nobel Perdamaian, 102 yang memenangkan adalah orang Yahudi dari pertama kali dianugerahkan 1901 sampai saat ini.

 
Tokoh-tokoh yang terkenal dari orang Yahudi di dunia ini diantaranya Mike Lazaridis penemu BlackBerry yang populer pada saat ini. Felix Bloch penemu Bom Atom, Larry Page & Sergey Brain penemu mesin penacari Google, fisikawan Albert Einstein penemu teori Relativitas, Mark Zuckernberg penemu dan pendiri Facebook, Bill Gates penemu Microsoft, bahkan Lionel Messi pesepak bola yang luar biasa, dan masih banyak lagi ilmuwan-ilmuwan yang ahli di bidang mereka. Dan mereka semua merupakan keturunan Yahudi.
Kecerdasan mereka bukan hanya semata-mata takdir Tuhan, tapi terdapat rahasia-rahasia yang dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut. Dan rahasia tersebut dilakukan oleh mereka ketika anak-anak mereka masih dalam kendungan. Diantaranya yang pertama adalah mendengarkan dan bermain musik. Musik yang didengarkan adalah musik yang shaydu, menyegarkan pikiran dan menambah semangat psikologi. Kebiasaan ini telah dilakukan oleh para ibu golongan Yahudi ketika masa kehamilan. Dan kebiasaan tersebut sesuai dengan kaidah kedokteran.
Yang kedua adalah mengerjakan soal matematika. Para ibu hamil tersebut tidak merasa bosan untuk mengerjakan soal-soal matematika. Dan mereka mengerjakannya tanpa beban, sehingga tidak menjadi beban psikologi. Jadi, jangan heran apabila kita berada di negara yang moyoritas adalah orang Yahudi -misalnya israel- melihat ibu-ibu yang sedang hamil membawa buku matematika ke mana-mana. Yang ketiga adalah makanan para ibu Yahudi saat hamil.

Selain kebiasaan-kebiasaan di atas, para ibu Yahudi juga memiliki kebiasaan mengkonsumsi kacang badam, korma dan susu. Kebiasaan tersebut telah dilakukan mereka sejak dahulu. Selain itu, mereka juga mengkonsumsi makanan-makanan lain yang bergizi lainnya. Dan ketika makan ikan mereka menyisakan kepalanya.
Hal yang keempat yang dilakukan oleh para ibu Yahudi ketika sedang hamil adalah menjauhi asap rokok. Di kalangan Yahudi, rokok dianggap hal yang menjijikan, berbahaya dan hal yang tabu. Meskipun ada sekitar 5% dari mereka yang masih merokok. Meskipun begitu, ketika ada seorang ibu hamil di tempat umum, dalam jarak minimal 15 meter, pasti tidak ada orang yang sedang merokok. Dan apabila ada seorang perokok dan istrinya sedang hamil, dia akan berhenti merokok dalam masa kehamilan sang istri semata-mata demi anaknya.
Begitulah beberapa hal yang dijelaskan dalam buku ‘Menguak Rahasia Cara Belajar Orang Yahudi’ karya Abdul Wahid. Beliau bisa menyajikan materi-materi tersebut secara runtut sehingga enak dibaca. Mulai rahasia ketika masa kandungan sampai masa dewasa. Bagaimana mereka melakukan ‘ritual-ritual’ tersebut sehingga menjadikan generasi mereka cerdas dan genius.
Judul buku: Menguak Rahasia Cara Belajar Orang Yahudi
Penulis : Abdul Waid
Penerbit : Diva Press
Cetakan : II, Desember 2011
ISBN : 978 - 602 - 978 - 757 - 3
Ukuran : 14x20cm 
Halaman :248 Halaman

(M. Syaikhul Umam)

Ramadan Kali Ini


 Oleh : Lia Salsabila

Kurasakan kesejukan yang belum pernah membelai raga, juga jiwa, ketika sampai di tempat ini. Tempat yang tak pernah kutahu nama dan arahnya. Beragam bunga menganguk anggun dan semerbak. Pohon-pohon menjulang gagah. Kupu dan kumbang berkejaran di sela mawar. Aku semakin takjub tatkala ricik air mulai menyapa gendang telinga. Seberkas cahaya menyilaukan membuat mataku terpejam. Sayup kudengar seseorang memanggil namaku.

“Nilam, kemarilah, Sayang. Ibu ingin mendekapmu. Ibu sungguh merindukanmu.”

Aku tergeragap. Samar terlihat seraut wajah tak asing. Wajah yang seolah tiap hari kutatap.
“Ya Allah, mengapa wajahnya sama dengan wajahku.” Tak berkedip aku menatap wanita itu. Menahan tanya yang tak mampu kusuarakan.

“Nilam, ini ibu, Nak. Kemarilah.” Kembali wanita itu memanggil namaku. Keringat dingin merembes perlahan di kening dan leherku. Tidak mungkin dia ibuku. Tidak mungkin.

Wanita itu berjalan mendekat. Aku tertegun namun tak urung kakiku melangkah menjauhinya. Semakin dia mempercepat langkah semakin aku menambah kecepatan langkah. Aku berlari dan terus berlari tanpa sedikit pun berpaling dari wajahnya.

“Nilam, ini ibu, Nak. Jangan lari sayang.”

“Tidak! Tidak mungkin! Tidaaaaaaakk!!!!

“Nilam…Nilam… Bangun, Sayang. Ayo bantu ibu siapkan makanan sahur untuk adik-adikmu.”
Lembut suara Ibu Aisyah kudengar seraya menggoyang pelan tubuhku, membangunkanku. Setengah terlelap aku mengangguk. “Ya Allah. Hanya mimpi,” batinku.
“Iya, ibu, Nilam sudah bangun kok,” tergeragap kujawab panggilan Ibu Aisyah.

Aku terduduk. Bingung. Mimpi tadi terasa begitu nyata. Aku termangu. Bergegas kulipat rapat selimut dan mengenakan jilbab yang baru setahun ini kukenakan. Terkantuk-kantuk, aku mengikuti langkah ibu ke dapur.

Sebagai anak tertua memang sudah kewajibanku membantu ibu mengerjakan pekerjaan rumah tangga setiap hari. Menyapu, mencuci piring, mencuci baju, dan memasak. Apalagi sekarang sahur pertama. Ibu yang semakin menua sudah tak sanggup melakukan semua pekerjaan rumah tangga sendiri.

“Nilam, kenapa bengong, sayang. Lekaslah kaujerang air. Waktu imsak sudah hampir tiba. Kasihan adik-adikmu kalau tidak sempat sahur,” tegur Ibu Aisyah lembut membuyarkan lamunanku. Segera aku bergegas membantu Ibu Aisyah.

Ramadan selalu memberi kenangan indah dan pahit buatku. Indah karena kebersamaan keluarga besar kami yang begitu rukun satu sama lain. Pahit karena tak pernah bisa melalui Ramadan bersama ayah dan ibu kandungku.

Aku tinggal di Panti Asuhan Ibunda bersama 20 anak lainnya. Kebetulan aku anak tertua karena yang seumuran denganku sudah diadopsi semua. Pedih terasa di dada ketika mengingat teman-teman sebaya direnggut dari sisiku. Pedih semakin menjadi ketika mengingat tak satu pun orang yang mau mengadopsiku. Tak jarang aku mempertanyakan masalah itu kepada Ibu Aisyah. Mengapa tak ada yang mau mengadopsiku. Apakah aku tidak layak untuk menjadi anak mereka. Ibu Aisyah selalu tersenyum menanggapi pertanyaanku. “Bukan tak ada yang mau padamu, Nilam. Hanya saja Allah belum mengizinkan kamu meninggalkan ibu. Kelak, kalau sudah sampai waktunya, ibu yakin kamu akan mendapatkan ayah dan ibu yang terbaik.” Selalu begitu jawaban Ibu Aisyah ketika aku berkeluh dan merajuk padanya.

Walaupun bukan ibu kandung, Ibu Aisyah sangat sayang padaku, juga terhadap semua anak-anak di panti. Hanya karena aku yang paling tua maka aku lebih dekat dengan Ibu Aisyah.

Ibu Aisyah seorang janda tanpa anak. Suaminya meninggal limabelas tahun lalu karena kecelakaan. Itulah awal berdirinya panti asuhan Ibunda. Karena kesepian, Ibu Aisyah memungut anak-anak jalanan atau yatim piatu, dan di bawa ke rumahnya. Ceritanya, aku ditemukan di tengah semak tak jauh dari rumahnya. Pedih sekali rasanya ketika mendengar cerita Ibu Aisyah. Ternyata aku anak yang tak diharapkan.

Sebagai anak tertua tentunya aku harus menjadi panutan dalam segala hal. Juga menjadi pengayom bagi adik-adikku. Setiap pagi aku membantu Ibu Aisyah menyiapkan sarapan, menyiapkan mereka untuk ke sekolah. Membantu mereka belajar. Menemani bermain dan kadang harus mendongeng juga. Aku sendiri baru lulus SMP. Ibu Aisyah tidak mampu menyekolahkanku lebih tinggi lagi. Aku sadar dan tidak menuntut terlalu banyak dari Ibu Aisyah. Pemasukan dari donatur yang dia terima sangat minim. Itu pun kadang masih kurang untuk makan. Aku mengalah demi adik-adikku yang lain. Agar mereka juga bisa mengenyam bangku sekolah. Aku tak patah semangat. Walau tak sekolah, aku tetap belajar dan akan terus belajar. Bukankah ilmu tak selalu harus diperoleh dari bangku sekolah.

Biasanya di bulan Ramadan begitu ramai kujungan dari orang luar. Tujuan mereka berbeda-beda. Kebanyakan bersedekah dan minta doa pada kami. Yang paling banyak berkunjung adalah pasangan suami istri yang ingin mengadopsi salah satu dari kami. Seperti sudah tradisi saja, mengadopsi anak di bulan Ramadan. Seperti Ramadan kali ini, baru hari ketiga sudah dua orang adikku diadopsi mereka. Sedih, karena harus berpisah dengan mereka. Tetapi juga bahagia karena beban Ibu Aisyah agak berkurang, dan mereka mendapatkan kehidupan lebih layak dibanding di panti. “Ternyata sedih dan bahagia begitu dekat berdampingan, sehingga kadang kita tidak sadar bahwa sudah bersedih dan berbahagia dalam waktu bersamaan,” batinku.

Seperti anak-anak yang lain, aku pun harap-harap cemas menanti pasangan suami istri yang mau mengadopsiku. Namun keinginanku itu juga sebesar ketakutanku. Aku memimpikan bagaimana indahnya hidup bersama dua orangtua yang sayang padaku. Melanjutkan sekolah setinggi-tingginya. Dan yang terpenting, aku bisa menikmati indahnya lebaran dengan keluarga yang utuh. Namun, aku takut tak terbiasa dengan sepi. Dan yang paling aku takuti adalah kedua orangtua angkatku tak sesayang Ibu Aisyah padaku.

Hingga menjelang malam lailatul qadar, belum ada tanda-tanda dari pasangan suami istri yang mau mengadopsiku. Putus harap sudah memenuhi relung jiwa. Tiap malam aku berdoa. Entah untuk keinginan yang mana. Muncul prasangka bahwa tidak akan pernah ada yang mau mengadopsi seorang anak yang memang tak pernah diharap kehadirannya.

Aku tidak habis pikir, mengapa banyak orangtua yang tidak bertanggung jawab, termasuk ayah dan ibu kandungku. Membuang begitu saja ketika tidak mengharapkan kami lahir. Dalam doa aku hanya bisa memintal harap untuk bisa bertemu dengan ibu yang melahirkanku. Dalam malam-malam sepi aku hanya ditemani barisan puisi seraya mengenangmu, Ibu.

Malam menjelang. Aku mencari bayang. Wajahmu
yang tak kukenal meski dalam kenang
apalagi dekapan sayang, belai kasih yang tak lekang

Pagi menjelang. Aku mencari bayang. Hatimu
yang tak pernah kutahu meski ada rindu
agar kau menjadi cahaya ketika
matahari gerhana dan rembulan tak purnama

Bu, aku sungguh ingin bertemu
meski hanya sekali waktu
tuntaskan segala soal dan rindu
hingga aku tahu ada surgamu


Hari raya Idul Fitri sudah di depan mata. Adikku berkurang enam orang. Mereka langsung dibawa oleh orangtua barunya. Mengingat perpisahan itu, aku kasihan kepada Ibu Aisyah. Tetapi juga bahagia karena kehidupan adik-adikku akan berubah di tempat tinggalnya yang baru.

Kesibukan di panti cukup padat. Aku membagi tugas kepada adik-adik yang lain. Adik laki-laki membantu Pak Maman mengecat rumah dan membersihkan halaman. Adik-adik perempuan membantuku dan Ibu Aisyah membuat kue. Bayangan kepedihan di wajah adik-adikku sedikit terkikis oleh kesibukan ini.
Aku sendiri telah menyimpan rapat harap bahwa akan ada yang datang mengadopsiku Ramadan kali ini. Pikiran aku fokuskan pada persiapan menyambut lebaran. Aku tak ingin menambah beban Ibu Aisyah dengan memperlihatkan kesedihanku.

“Alhamdulillah, Ramadan kali ini banyak donatur yang menyumbang ya, Bu,” kataku pada Ibu Aisyah sambil tetap mengaduk adonan kue.

“Iya, Nilam. Alhamdulillah,” jawab Ibu Aisyah.

“Akhirnya kita bisa merayakan kemenangan dengan pesta meriah, Bu,” ucapku gembira.

Hening sejenak. Ibu Aisyah tak menanggapi ucapanku yang terakhir. Hanya helaan nafas panjangnya yang terdengar. Setelah sekian menit baru Ibu Aisyah berbicara kembali.

“Nilam, anakku. Perlu kauketahui dan ingat. Kemenangan tidak selalu harus dirayakan dengan sebuah pesta, makanan enak dan pakaian mewah. Kemenangan akan menjadi sempurna ketika kita bersyukur setulus hati. Dan kemenangan akan mendatangkan ketidakbaikan apabila dirayakan dengan sebuah keterpaksaan.”

Aku tertegun mendengar tutur kata Ibu Aisyah. Dalam hati aku bersyukur karena dibesarkan oleh wanita seperti dia.

“Iya, Ibu. Nilam mengerti. Maafkan Nilam karena terlalu terbawa perasaan,” kataku lirih.

Suasana kembali hening. Kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sesungguhnya ada tanya yang menyesak di dada. Namun aku masih ragu untuk mengutarakannya. Tapi tak tahan dengan keheningan yang terasa menggigit jiwa, aku memberanikan diri.

“Bu, bolehkah Nilam bertanya sesuatu?” ucapku lirih memecah kesunyian.

“Boleh, Nilam. Kamu mau bertanya apa?” jawab Ibu Aiysah.

“Mengapa seorang ibu tega membuang anaknya, Bu?” tanyaku ragu.

Ibu Aisyah tak segera menjawab. Dia menatapku lekat seraya menghela nafas panjang.

“Banyak alasan mengapa seorang ibu tega membuang anaknya, Nilam. Karena masalah ekonomi, misalnya,” jawab Ibu Aisyah lembut.

“Tapi, Bu, menurut Nilam itu bukan sebuah alasan. Walaupun hidup serba kekurangan, seorang anak pasti akan bahagia jika tinggal dengan kedua orangtuanya, daripada harus hidup di jalanan atau panti asuhan,” ucapku sedikit emosi.

“Nilam, anakku. Kamu belum tahu, Nak. Kehidupan di luar sana begitu pelik dengan beragam masalah. Orangtua manapun tidak akan tega membuang anaknya tanpa alasan yang kuat. Terlebih seorang ibu. Dia mengandung selama 9 bulan dan mempertaruhkan nyawa ketika melahirkan,” jelas Ibu Aisyah, tetap dengan lembut.

“Jangan-jangan Nilam lahir dari sebuah hubungan terlarang. Atau karena tak diketahui siapa bapak Nilam. Makanya ibu tega membuang Nilam di semak-semak. Untung Ibu Aisyah yang menemukan Nilam. Bagaimana jika yang menemukan orang jahat. Mungkin Nilam akan dipaksa menjadi orang jahat juga. Tidak, Bu, Nilam tidak bisa menerima alasan apapun,” kataku serak karena menahan tangis dan amarah.

“Sudahlah, Nilam. Kelak, seiring berjalannya waktu, kamu akan menemukan jawabannya. Jangan rusak hatimu dengan amarah dan dendam. Yang perlu kamu lakukan sekarang, selalu bersyukur kepada Allah karena kamu masih berada dalam kebaikan. Dan yang terpenting, siapapun kamu, ibu akan tetap menyayangimu seperti ibu menyayangi anak kandung ibu,” ucap Ibu Aisyah mendekap dan membelai kepalaku. Aku hanya mengangguk dan melanjutkan tangis yang tadi tertahan dalam dekapan Ibu Aisyah.

Kesibukan bertambah menjelang dua hari sebelum lebaran. Panti sudah terlihat lebih bersih dan baru. Kesedihan yang sempat menaungi wajah adik-adikku, sirna. Tawa dan canda mereka menggema di setiap sudut panti. Setelah percakapanku dengan Ibu Aisyah kemarin, aku sedikit lebih tenang. Kepasrahan dan keikhlasan mulai meresap di rongga jiwa walau belum sepenuhnya.

Menjelang malam takbiran. Suasana gembira begitu kental. Aku, Ibu Aisyah dan semua anak-anak Panti Asuhan Ibunda menyiapkan pakaian dan mukena salat Id besok. Setelah selesai, kami berkumpul dan bercengkrama bersama di ruang makan. Karena hanya ruangan itu yang paling besar. Kami bercanda, tertawa tanpa jeda. Terlebih ketika si Gembul (adikku yang paling gendut) bercerita sambil menggoyang-goyangkan badannya, kami tertawa sampai terpingkal-pingkal. Ibu Aisyah sendiri sampai menitikkan air mata.

Tak terasa waktu beranjak sangat cepat. Tepat jam 10 malam Ibu Aisyah menyuruh adik-adik kembali ke kamar masing-masing untuk istirahat. Aku dan Ibu Aisyah membereskan ruang makan. Ketika kami mau kembali ke kamar tiba-tiba bel pintu rumah berbunyi.

“Siapa ya, Nak, malam-malam begini bertamu,” kata Ibu Aisyah.
“Biar Nilam yang lihat, Bu,” kataku seraya berjalan ke arah pintu ruang tamu.

Ketika membuka pintu, tampak seorang bapak tua duduk di kursi roda dengan seorang laki-laki yang lebih muda.

“Assalamualaikum,” ucap sang Bapak.

“Walaikumsalam,” jawabku.

“Ini pasti Nilam,” kata Bapak, membuatku kaget karena dia tahu namaku.

“Ibu Aisyah ada, Nak,” kata bapak lagi.

“A..a..ada, Pak. Silakan masuk,” jawabku gugup seraya mundur memberi jalan.

Setelah mempersilakan lelaki yang menemani Bapak itu duduk, aku masuk memanggil Ibu Aisyah. Kami berdua bersama-sama menuju ruang tamu.

“Oh, Pak Herman to. Pasti ada yang penting sehingga Bapak berkunjung malam-malam begini,” kata Ibu Aisyah seraya menyalami bapak tua yang ternyata sudah dikenalnya.

Aku bergegas pergi ke dapur untuk membuatkan minum. Tapi bukan hanya karena alasan itu aku meninggalkan mereka. Kami diajarkan oleh Ibu Aisyah untuk tidak ikut mendengarkan percakapan orang dewasa, terlebih yang tidak ada kaitannya dengan kita.

Agak lama aku di dapur. Ketika dirasa cukup, kubawa minuman dan makanan kecil ke depan. Benar perkiraanku, percapakan penting mereka sudah selesai. Ketika aku sampai, mereka sudah bercakap ringan. Setelah meletakkan makanan dan minuman di meja aku mohon pamit untuk istirahat.

“Duduklah dulu, Nilam. Ada yang ingin kami bicarakan denganmu,” kata Ibu Aisyah mengurungkan langkahku. Aku duduk di samping Ibu Aisyah dan siap mendengarkan apa yang ingin mereka katakan.

“Nilam, ini Pak Herman, donatur tetap panti kita. Beliau datang jauh-jauh dari Semarang untuk bertemu denganmu.”

Aku bingung mendengar perkataan Ibu Aisyah. Ada apa gerangan Pak Herman ingin bertemu denganku. Ada hubungan apa dia denganku. Beragam tanya berkecamuk di kepala. Namun aku tetap diam menunggu.

“Pak Herman ini hidup sendiri. Beliau hanya ditemani Mang Kosim supirnya. Semua anak-anaknya tinggal di luar negeri.”

Aku semakin bingung. Mengapa Ibu Aisyah bercerita tentang Pak Herman kepadaku.

“Sudah lama Pak Herman memantau perkembangan kamu di sini melalui ibu,” lanjut Ibu Asiyah membuatku makin bingung. Apa sebenarnya yang diinginkan Pak Herman ini. Namun aku tetap mendengarkan tanpa menyela sedikit pun.

“Tadi, Pak Herman menyampaikan kepada ibu bahwa beliau ingin mengadopsimu sebagai anak. Dan akan mengajakmu ke Semarang malam ini juga.” Aku seperti tersambar petir. Kaget tak terkira mendengar perkataan ibu yang terakhir. Walaupun aku sangat menginginkan proses adopsi, tapi tetap berita ini sangat mengejutkan. Apalagi waktunya sangat tidak tepat menurutku. Besok sudah lebaran. Tidak mungkin aku meninggalkan Ibu Aisyah dan adik-adikku. Aku ingin berlebaran dengan mereka. Namun tak satu pun kata terucap dari bibirku yang tiba-tiba kelu.

“Iya, Nilam. Tinggallah bersama Bapak, Nak. Bapak sungguh kesepian karena hanya tinggal berdua dengan Mang Kosim. Bapak sudah memperhatikanmu sejak lama. Makanya Bapak mau mengadopsimu karena Bapak yakin kamu anak yang baik,” tambah Pak Herman.

“Kamu mau kan, Nak?” tanya Pak Herman.

“Bagaimana, Nilam? Kamu mau kan, Sayang?” timpal Ibu Aisyah.

Aku semakin bingung. Beragam jawab bergejolak. Tanpa menjawab pertanyaan Pak Herman dan Ibu Aisyah aku berlari ke dalam kamar. Aku sadar kalau sikapku ini sangat tidak sopan. Tapi entahlah, aku seketika ingin sendiri.

Sesampai di kamar aku menangis menelungkup bantal. Sebenarnya aku bingung apa yang aku tangiskan. Seharusnya aku bahagia karena ada yang mau mengadopsiku. Tapi ketakutan membayang di bibir jiwa. Sanggupkah aku menjalani waktu tanpa celoteh riang adik-adikku dan tanpa belai kasih Ibu Aisyah.

“Nilam, Sayang. Kenapa kamu malah menangis?” Tanya Ibu Aisyah. Aku tak mendengar langkah Ibu Aisyah karena terlalu asyik dengan pikiranku. Tiba-tiba dia sudah ada di sampingku dan membelai kepalaku.

“Apa yang kautangisi, Nak?” Tanya Ibu Aisyah lembut.

Aku bangun menghadap Ibu Aisyah. Tanpa sengaja kutatap matanya. Ada tetesan air bening yang mengalir dari sana. Semakin nyeri rasa ulu hatiku.

“Bu, Nilam takut. Nilam juga tidak sanggup meninggalkan Ibu dan Adik-Adik,” kataku seraya memeluk Ibu Aisyah.

“Apa yang kau takutkan, Nak? Pak Herman itu orang baik. Ibu tahu betul siapa beliau. Ibu tidak akan memberikanmu kepada sembarang orang, Nak. Karena ibu sangat sayang padamu,” tutur Ibu Aisyah lembut seraya membelai kepalaku.

“Kalau ibu sayang Nilam, kenapa ibu mengizinkan Pak Herman mengadopsi Nilam. Biar Nilam sama Ibu saja. Nilam janji akan selalu membantu Ibu sampai kapanpun,” kataku sambil berharap Ibu Aisyah mengabulkan keinginanku.

“Nilam, Anakku. Memang benar ibu sangat sayang padamu. Tapi bukan berarti ibu harus menahanmu di sini dengan penghidupan seadanya. Dengan kamu diadopsi Pak Herman, kamu bisa melanjutkan sekolah dan meraih cita-citamu,” Ibu menghela nafas sebelum kembali melanjutkan.

“Dulu, Ibu pernah bilang. Jika Allah belum mengizinkan kamu diadopsi, maka hal itu tidak akan terjadi. Dan ternyata Allah menghendakinya sekarang, Nak. Berangkatlah, Nilam. Kesempatan hanya datang sekali. Jangan pikirkan Ibu dan Adik-Adikmu. Kami semua akan baik-baik saja.”

“Tapi besok lebaran, Bu. Nilam ingin lebaran bersama ibu dan adik-adik,” kataku bersikukuh.

“Di manapun kamu berada, kamu masih tetap bisa berlebaran, Nilam. Akan ada orang-orang terkasih yang selalu mengelilingimu. Berkemaslah, ambil pakaianmu seperlunya saja,” kata Ibu Aisyah seraya beranjak meninggalkanku.

Antara enggan dan mau, kukemasi barang-barang. Apa yang dikatakan Ibu Aisyah semuanya benar. Aku harus tegar. Bukankah dalam hidup selalu ada perjumpaan dan perpisahan. Itu kata Ibu Aisyah dulu.

Tepat jam 12 malam aku pamit kepada Ibu Aisyah. Tanpa diiringi lambaian tangan adik-adik, aku meninggalkan Panti Asuhan Ibunda. Dari dalam mobil aku melihat Ibu Aisyah kembali menitikkan air mata. Hatiku sangat pedih. Perasaan kehilangan mengental di jiwa. Pesan terakhir Ibu Aisyah masih terngiang di kepala. “Jadilah anak yang baik. Jangan lupa salat dan membaca Alquran. Hormati Pak Herman karena dia orangtuamu sekarang.”

Sepanjang perjalanan kulalui dalam diam. Mungkin karena lelah, tak sadar aku tertidur.
Menjelang subuh kami sampai di rumah Pak Herman. Rumah yang sangat besar buatku. Aku juga mendapat kamar yang sangat mewah. Kamar yang seumur hidup belum pernah aku miliki.

“Istirahatlah sejenak, Nilam. Besok pagi kita salat Id bersama di masjid,” kata Pak Herman.

Sepeninggal Pak Herman aku menata baju di lemari yang ada di sudut kamar. Membersihkan diri dan berbenah untuk berangkat ke masjid esok pagi.

Pagi membuka malam. Mentari menyapa hangat. Gema takbir mendayu syahdu.

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar
Laa Ilaaha Ilallahu Allahu Akbar
Allahu Akbar Walillahilhamd

Alhamdulillah, Ya Allah. Telah engkau beri aku kesempatan untuk sekali lagi meraih kemenangan. Kemenangan terbesar yang kurasakan saat ini adalah bersyukur atas apa yang engkau limpahkan. Pahit atau manis takdir yang engkau timpakan semoga tidak membuatku lalai untuk tetap bersyukur pada-Mu.

Seiring gema takbir. Kutulis janji pada diriku dan pada-Mu, Ya Allah.

Teruntuk Ibu Aisyah
“Aku tidak akan pernah melupakan
budi baikmu. Kan kuraih cita-cita teriring doa
yang kau kirimkan. Kelak, aku akan kembali padamu,
mengabdi pada rumah kita. Hingga akhir hayatku.”

Teruntuk Ibu yang tak pernah kutahu
“’Tlah kuikhlaskan segala apa
yang engkau timpakan. ‘Tlah kumaafkan
segala masalah yang engkau berikan.
Kan kureguk airmata agar kelak
menjadi mataair kesejukan bagi anak-anakku
hingga mereka tak merasakan dahaga kasih seorang ibu.”