Remaja itu berayun-ayun pada sebuah ayunan. Rambut urainya tersapu
angin, sesekali terjerembat pada batang ayunan. Senyumnya yang tidak pernah
lepas dari bibir merekahnya, menjadikan orang lain sering memuji.
Serentetan cerita adalah bagian terpenting bagi gadis bertubuh
langsing itu. Tidak peduli apakah orang lain peduli atau tidak pada ceritanya.
Ia akan tetap menjadi pencair suasana. Ia sering menjadi pusat perhatian.
Gagasan-gagasan yang tersampaikan olehnya selalu menarik. Baru.
Suka berimajinasi. Unik. Ketika gagasan itu tersampaikan, mata lebarnya semakin
menawan.
##
“Kau menulis tentang aku di dalam naskahmu?”
“Kau berhayal. Bermainlah dengan anak-anak kita.”
“Hem, jika kamu memang benar menuliskan tentang aku, jangan lupa tulislah sifat sosialku yang
tinggi.”
“Haha, pergi. Kau menggangguku, Mam.”
“Baiklah, Say. Berjanjilah untuk tetap menceritakan kebaikanku. Bay
say.”
##
Energi gadis itu berlimpah. Suatu ketika ia mengusulkan sebuah
pentas malam. Program acara ia susun rapi. Pentas kami sediakan, ia
imajinasikan menjadi pentas yang luar biasa elegan. Sayang, sifat sok tahunya
itu hanya didukung dengan hayalan. Energi berlimpahnya tidak mampu mengejar
imajinasinya sendiri.
Pukul 16.00, tiga jam
sebelum acara dimulai, tatanan pentas masih sekedarnya. Beberapa dari kami
menertawakan. Beberapa lagi memahami. Beberapa orang, termasuk saya mencoba
menawarkan membantu hayalannya terwujud. Gadis itu menyepakati. Banyak seruan
yang ia sampaikan. Ide-idenya benar-benar berlimpah. Kami seperti kandidat,
sedang dia seperti majikan. Meskipun begitu, mendengar ide segarnya, kami
semakin semangat membantu.
Eksotis. Hasilnya luar bbiasa mencengangkan.
“Ternyata secerdas apapun ide kreatifnya, dia membutuhkan kita
untuk menyelesaikannya.” Pongah teman saya menyindir. Gadis itu tersenyum khas,
kami tertawa.
Hal yang buruk sering ia lakukan adalah suka menyela. Ide yang
tidak pernah habis menjadikan gadis beralis sabit itu tidak bisa berdiam diri.
Ketika saya menanyakan sesuatu kepada teman saya yang lain, gadis itulah yang
sering mewakili menjawab. Ketika kami mengingatkan bahwa itu sifat buruknya,
ide cerdasnya muncul.
“Aku tidak menyela. Justru aku ingin menyelamatkan Meme yang sulit
menjawab.”
Saya tahu jawaban itu untuk menutupi tersinggungnya.
Dasar gadis periang. Pintar bersosialisasi dengan orang. Terkadang
saya menganggap sosialnya didasari atas pujian. Menilik pada orang sakit.
Berwajah sendu ketika temannya terkena bencana. Beriba saat saudara temannya
bermusibah. Yang mengesalkan, ia tahan “malu” pada peminta-minta. Sedikitpun ia
malas berderma kepada pengemis. Biarpun pengemis-pengemis itu menghinanya tidak
punya hati.
“Biarlah kusumbangkan pada panti asuhan saja.” Jawabnya saat suatu
ketika saya tanya.
“Dengarlah, kau didoakan jelek.
Kau tidak dengar?” saya mencoba mengingatkannya ketika salah satu
pengemis yang tidak ia beri sedekah berdoa; semoga kamu menjadi gelandangan.
Gadis itu hanya tersenyum menyikapi. Saya akui untuk prinsip ini ia
kuat.
Bersambung
Wuluhan, 13 Desember 2012
0 komentar:
Posting Komentar