About

Perlukah Mengeluh?


Tidak bisa dipungkiri, makhluk yang namanya manusia pasti pernah mengeluh.  Disadari atau tidak, mengeluh sepertinya sudah menjadi bagian dari hidup.  Hanya saja, frekuensi dan kualitas keluhannya yang membedakan antara satu personal dengan personal lainnya.  Biasanya perbedaan ini terkait dengan tingkat pemahaman dan cara pandang seseorang tentang suatu masalah yang sedang ia hadapi.  Sabar, ikhlas dan seberapa besar keinginan untuk merubah sebuah  keadaan menjadi lebih baik, biasanya akan meminimalisir keluhan.  Sebaliknya  pesimis dan berburuksangka terhadap kejadian yang sedang menimpa secara otomatis akan memunculkan keluhan-keluhan yang alih-alih mendapatkan penyelesaian, malah akan menambah ruwet dan bisa jadi menambah masalah baru.
            Belum lagi kita saksikan fenomena di negeri yang kita cintai ini.  Berita di televisi mayoritas menyuguhkan tentang aksi demo dan kekerasan, kerusuhan di mana-mana, tindak kriminal, penyalahgunaan kekuasaan, korupsi-kolusi dan nepotisme dan banyak lagi yang kesemuanya menunjukkan pada satu hal: ketidakpuasan!  Sebuah potret masyarakat yang diwarnai dengan berbagai keluhan.
            Lalu, sebagai seorang yang mengaku muslim dan punya tuntunan yang jelas tentu saja kita tidak akan membiarkan diri kita terperosok lebih jauh ke dalam perbuatan yang sesungguhnya dibenci oleh Allah SWT.  Kenapa dibenci oleh Allah SWT? Karena sesungguhnya Allah SWT menyukai hamba yang senantiasa bersyukur dengan segala ketentuan dan bersabar ketika ditimpa sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan.
            Melihat fakta yang mayoritas bahwa manusia tidak pernah lepas dari keluh-kesah maka sangat penting bagi setiap muslim/muslimah mempunyai manajemen yang tepat agar tidak terpeleset dalam keluh-kesah yang tidak diperbolehkan dan pandai menyikapi setiap kejadian yang dihadapi dengan mengacu kepada teladan kita Rasulullah SAW.
            Mengeluh adalah indikasi tidak bersyukur atas nikmat Allah SWT
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an yang artinya: “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya” (Qs An-Nahl 18).     
Mengeluhlah hanya kepada Allah SWT                      
            Ketika sebuah kejadian yang tidak diinginkan menimpa seseorang, katakanlah ditimpa sebuah masalah yang berdampak menitikkan air mata, menyakitkan hati, membuat kepala berdenyut-denyut dan menjadikan seseorang itu merasa diberi ujian yang sangat berat dan tidak sanggup mengatasinya sendiri, sebuah tindakan manusiawi jika ia membutuhkan orang lain dalam penyelesaian masalahnya.  Lalu, benarkah tindakannya jika ia mengeluhkan masalahnya kepada orang lain?
            Rasulullah SAW pernah mengalami sebuah kondisi yang jauh dari yang beliau inginkan.  Para kaum musyrikin mengabaikan seruannya dan juga mencampakkan Al-Quran. Mereka telah mengacuhkan Al-Quran dalam beberapa bentuk di antaranya: mereka tidak mau mengimani Al-Quran, mereka tidak mau mendengarkan Al-Quran, bahkan mereka menolaknya dan mengatakan bahwa Al-Quran adalah ucapan dan bualan Muhammad si tukang syair dan sihir. Kaum musyrikin juga berusaha untuk mencegah orang-orang yang berusaha mendengarkan Al-Quran dan dakwah Rasulullah SAW.
            Dalam kondisi tertekan tersebut Rasulullah SAW  mengeluh dan mengaduh hanya kepada Allah SWT seperti yang terkandung dalam Al-Qur’an surat Al-Furqan 30, yang artinya:  “Dan berkatalah Rasul: Ya Tuhanku! Kaumku ini sesung¬guhnya telah meninggalkan jauh Al-Quran”.
            Begitu pula dengan nabi Ya’qub dan Nabi ayub, sebagaimana firman Allah dimana Nabi Ya’qup berkata, yang artinya, “Sesungguhnya aku mengeluhkan keadaanku dan kesedihanku hanya kepada Allah“ (Qs. Yusuf 86).
            Dan Nabi Ayub AS, yang disebutkan Allah dalam firman-Nya, bahwa Ayub berkata, yang artinya: “Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau (Allah) adalah Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang” (Qs Al-Anbiya’ 83).
Membiasakan diri dengan mengeluh positif
            Mengeluh positif? Spontan pasti muncul  pertanyaan ketika membaca sub judul berikut.  Iya, ternyata mengeluh tidak selalu berkonotasi negatif.  Tidak sabar menghadapi ujian, kurang ikhlas menerima ketentuan dan hasad/iri pada orang lain acap kali membuat diri menjadi tidak berdaya sehingga mengeluarkan kata-kata yang bermakna tidak puas yang merupakan perwujudan dari mengeluh.  Tetapi, jika seseorang hasad/iri terhadap kebaikan dan amal shalih orang lain yang membuat dirinya termotivasi untuk berbuat hal yang sama bahkan lebih tanpa mengurangi/menghilangkan kebaikan orang lain tersebut maka hasad model ini dikategorikan sebagian ulama sebagai hasad yang positif.
            An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Para ulama membagi hasad menjadi dua macam, yaitu hasad hakiki dan hasad majazi. Hasad hakiki adalah seseorang berharap nikmat orang lain hilang. Hasad seperti ini diharamkan berdasarkan kata sepakat para ulama (baca: ijma’) dan adanya dalil tegas yang menjelaskan hal ini. Adapun hasad majazi, yang dimaksudkan adalah ghibthoh, yakni adalah berangan-angan agar mendapatkan nikmat seperti yang ada pada orang lain tanpa mengharapkan nikmat tersebut hilang. Jika ghibthoh ini dalam hal dunia, maka itu dibolehkan. Jika ghibthoh ini dalam hal ketaatan, maka itu dianjurkan.
            Jadi, marilah kita sama-sama membekali diri dengan ketaatan hanya kepada Allah SWT dengan cara senantiasa mendekatkan diri pada-Nya.  Tidak pernah puas untuk mengkaji ilmu-ilmu-Nya agar dalam setiap desahan nafas selalu mengaitkan dengan hukum-hukum-Nya.
            Jika ada niat dan tekad dengan sungguh-sungguh, insya Allah ikhlas dan sabar akan menjadi perhiasan yang akan mewarnai akhlak kita sehari-hari dan kita dihindarkan dari lisan dan sikap yang sering berkeluh-kesah.  Cukuplah mengeluh positif dalam genggaman, yaitu mengeluh dalam rangka bermuhasabah dan berlomba-lomba dalam kebaikan sehingga dapat meraih derajat takwa yang sesungguhnya.  Wallahu a’lam
Oleh : Eprina Siregar

0 komentar:

Posting Komentar