Tidak
bisa dipungkiri, makhluk yang namanya manusia pasti pernah mengeluh. Disadari atau tidak, mengeluh sepertinya
sudah menjadi bagian dari hidup. Hanya
saja, frekuensi dan kualitas keluhannya yang membedakan antara satu personal dengan
personal lainnya. Biasanya perbedaan ini
terkait dengan tingkat pemahaman dan cara pandang seseorang tentang suatu
masalah yang sedang ia hadapi. Sabar,
ikhlas dan seberapa besar keinginan untuk merubah sebuah keadaan menjadi lebih baik, biasanya akan
meminimalisir keluhan. Sebaliknya pesimis dan berburuksangka terhadap kejadian
yang sedang menimpa secara otomatis akan memunculkan keluhan-keluhan yang
alih-alih mendapatkan penyelesaian, malah akan menambah ruwet dan bisa jadi
menambah masalah baru.
Belum lagi kita saksikan fenomena di
negeri yang kita cintai ini. Berita di
televisi mayoritas menyuguhkan tentang aksi demo dan kekerasan, kerusuhan di
mana-mana, tindak kriminal, penyalahgunaan kekuasaan, korupsi-kolusi dan
nepotisme dan banyak lagi yang kesemuanya menunjukkan pada satu hal:
ketidakpuasan! Sebuah potret masyarakat
yang diwarnai dengan berbagai keluhan.
Lalu, sebagai seorang yang mengaku
muslim dan punya tuntunan yang jelas tentu saja kita tidak akan membiarkan diri
kita terperosok lebih jauh ke dalam perbuatan yang sesungguhnya dibenci oleh
Allah SWT. Kenapa dibenci oleh Allah
SWT? Karena sesungguhnya Allah SWT menyukai hamba yang senantiasa bersyukur
dengan segala ketentuan dan bersabar ketika ditimpa sesuatu yang tidak sesuai
dengan keinginan.
Melihat fakta yang mayoritas bahwa
manusia tidak pernah lepas dari keluh-kesah maka sangat penting bagi setiap
muslim/muslimah mempunyai manajemen yang tepat agar tidak terpeleset dalam
keluh-kesah yang tidak diperbolehkan dan pandai menyikapi setiap kejadian yang
dihadapi dengan mengacu kepada teladan kita Rasulullah SAW.
Mengeluh adalah indikasi tidak
bersyukur atas nikmat Allah SWT
Allah SWT
berfirman dalam Al-Qur’an yang artinya: “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah,
niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya” (Qs An-Nahl 18).
Mengeluhlah
hanya kepada Allah SWT
Ketika sebuah kejadian yang tidak
diinginkan menimpa seseorang, katakanlah ditimpa sebuah masalah yang berdampak
menitikkan air mata, menyakitkan hati, membuat kepala berdenyut-denyut dan
menjadikan seseorang itu merasa diberi ujian yang sangat berat dan tidak
sanggup mengatasinya sendiri, sebuah tindakan manusiawi jika ia membutuhkan
orang lain dalam penyelesaian masalahnya.
Lalu, benarkah tindakannya jika ia mengeluhkan masalahnya kepada orang
lain?
Rasulullah SAW pernah mengalami
sebuah kondisi yang jauh dari yang beliau inginkan. Para kaum musyrikin mengabaikan seruannya dan
juga mencampakkan Al-Quran. Mereka telah mengacuhkan Al-Quran dalam beberapa
bentuk di antaranya: mereka tidak mau mengimani Al-Quran, mereka tidak mau
mendengarkan Al-Quran, bahkan mereka menolaknya dan mengatakan bahwa Al-Quran
adalah ucapan dan bualan Muhammad si tukang syair dan sihir. Kaum musyrikin
juga berusaha untuk mencegah orang-orang yang berusaha mendengarkan Al-Quran
dan dakwah Rasulullah SAW.
Dalam kondisi tertekan tersebut
Rasulullah SAW mengeluh dan mengaduh
hanya kepada Allah SWT seperti yang terkandung dalam Al-Qur’an surat Al-Furqan
30, yang artinya: “Dan berkatalah Rasul:
Ya Tuhanku! Kaumku ini sesung¬guhnya telah meninggalkan jauh Al-Quran”.
Begitu pula dengan nabi Ya’qub dan
Nabi ayub, sebagaimana firman Allah dimana Nabi Ya’qup berkata, yang artinya,
“Sesungguhnya aku mengeluhkan keadaanku dan kesedihanku hanya kepada Allah“
(Qs. Yusuf 86).
Dan Nabi Ayub AS, yang disebutkan
Allah dalam firman-Nya, bahwa Ayub berkata, yang artinya: “Sesungguhnya aku
telah ditimpa penyakit dan Engkau (Allah) adalah Yang Maha Penyayang di antara
semua penyayang” (Qs Al-Anbiya’ 83).
Membiasakan diri
dengan mengeluh positif
Mengeluh positif? Spontan pasti
muncul pertanyaan ketika membaca sub
judul berikut. Iya, ternyata mengeluh
tidak selalu berkonotasi negatif. Tidak
sabar menghadapi ujian, kurang ikhlas menerima ketentuan dan hasad/iri pada
orang lain acap kali membuat diri menjadi tidak berdaya sehingga mengeluarkan
kata-kata yang bermakna tidak puas yang merupakan perwujudan dari
mengeluh. Tetapi, jika seseorang
hasad/iri terhadap kebaikan dan amal shalih orang lain yang membuat dirinya termotivasi
untuk berbuat hal yang sama bahkan lebih tanpa mengurangi/menghilangkan
kebaikan orang lain tersebut maka hasad model ini dikategorikan sebagian ulama
sebagai hasad yang positif.
An-Nawawi rahimahullah menjelaskan,
“Para ulama membagi hasad menjadi dua macam, yaitu hasad hakiki dan hasad
majazi. Hasad hakiki adalah seseorang berharap nikmat orang lain hilang. Hasad
seperti ini diharamkan berdasarkan kata sepakat para ulama (baca: ijma’) dan
adanya dalil tegas yang menjelaskan hal ini. Adapun hasad majazi, yang
dimaksudkan adalah ghibthoh, yakni adalah berangan-angan agar mendapatkan
nikmat seperti yang ada pada orang lain tanpa mengharapkan nikmat tersebut
hilang. Jika ghibthoh ini dalam hal dunia, maka itu dibolehkan. Jika ghibthoh
ini dalam hal ketaatan, maka itu dianjurkan.
Jadi, marilah kita sama-sama
membekali diri dengan ketaatan hanya kepada Allah SWT dengan cara senantiasa
mendekatkan diri pada-Nya. Tidak pernah
puas untuk mengkaji ilmu-ilmu-Nya agar dalam setiap desahan nafas selalu mengaitkan
dengan hukum-hukum-Nya.
Oleh : Eprina Siregar
0 komentar:
Posting Komentar