About

Terhapusnya Catatan Merah Paranoia

Angin berhembus membelai lipatan daun ilalang yang berjajar di sepanjang jalan kenangan. Jalan yang membentang dari utara, yang membelah hutan cemara di sisi kanan dan kiri jalan. Pagi yang diselimuti udara hangat yang tengah dipanaskan mentari sejak terbit di kaki cakrawala. Membentang jalan itu di depanku. Masih seperti yang dulu, cemara-cemara masih menancapkan kaki-kaki akarnya di kedalaman tanah. Pucuk-pucuk daun cemara yang runcing seolah membisikkan sesuatu kepadaku. Rumput-rumput liar menggelar kehidupan di sela-sela kehiduoan cemara-cemara yang tinggi jenjang. Rumput-rumput itu seragam, berdaun sempit dan panjangnya seukuran jari kelingking orang dewasa. Tanah tertutupi olehnya, rumput dan cemara, tetapi di ujung jalan di dekat perigaan di sisi paling utara, tanah telanjang tanpa rumput ataupun cemara yang menyentuh tubuh haranya. Disana, kenangan itu tersimpan.

Panas matahari mengabarkan padaku bahwa hari mulai siang. Ku lacak waktu dengan mellihat jam tangan di pergelangan tangan kiriku. Jam digital berwarna hitam dengan kalep yang terbuat dari kulit domba berwarna kecoklatan. Dua pasang angka berdampingan yang dipisahkan tanda titik dua di balik lapisan mika bening jam tanganku segera membuatku tersadar. Sekarang pukul 10.10.
Aku sedang memastikan hari apa hari ini, tanggal berapa, dan apakah ini waktu yang tepat untuk menyibak kenangan yang telah lama mengendap dalam gumpalan rasa penasaranku, yang sejak saat pertama ingin segera ku ketahui.
Angin berhembus pelan membelai rambut pendekku. Model rambut yang sama sekali tak ingin kuubah sedikitpun. Panjangnya sebahu, rambutku yang ikal ini kubelah pada sisi kiri dengan rapi, rambut bagian depan lebih pendek dibandingkan dengan rambut bagian belakang, sehingga saat ku kuncir dengan tali rambut di bagian belakang seperti ini, ada sedikit helaian rambutku yang menjuntai di samping daun telingaku.
Selain rambut, apa yang ku pakai tak jauh berbeda dengan 5 tahun yang lalu. Sepatu kets, kaos oblong yang selalu berwarna biru, celana jins panjang, dan tas kecil bertali panjang  berbahan kain kanvas dengan motif yang  selalu sama, awan. Entahlah, masalah style aku tak begitu tahu. Yang ku tahu inilah gayaku,  gaya seniman yang memancarkan jiwa ekspresif yang tak bisa dilawan.
“Haha” aku sedang menertawakan lamunanku. Tentang diriku, yang tidak banyak berubah. Terutama dengan kenangan ini.
Tak banyak orang berlalu lalang di jalan ini. Mungkin karena hari ini hari senin. Entahlah aku tak begitu peduli dengan hal itu. Namun masih dapat ku jumpai remaja dan orang dewasa yang mengendarai sepeda motor maupun sepeda kayuh melintas di jalan ini. Tapi jumlahnya bisa ku hitung dengan jari.
“Apakah sekarang waktu bisa memberitahuku sesuatu? Sesuatu yang dipeluk bumi sekian lama hingga aku pun sekarang perlu mencari tahu.” Gumamku pelan seolah membentuk untaian puisi singkat. Intensitas menulisku membuatku peka dengan kata-kata.
·          
Di ujung jalan di samping pertigaan, seseorang berjalan tergesa-gesa. Seorang laki-laki bertopi bundar yang terbuat dari anyaman bambu mengejar 2 kambing yang sedang digembalanya. Heran. Laki-laki itu berusaha menangkap tali pengikat leher kambing-kambingnya. Setelah berhasil mendapatkan tali itu, ia hendak mengikatkan tali pengikat itu pada salah satu pohon cemara di samping pertigaan tak jauh dari tempatku berdiri saat ini.
Mengetahui hal tersebut, aku segera berseru, “Pak, jangan ikat kambingnya disitu, Pak. Saya mau gali tanah di dekat pohon cemara itu. Penting. Tolonglah jangan ikat Shaun The Seep itu disitu.” Pemilik kambing tak peduli dengan perkataanku. Ia segera mengikat tali pengikat 2 kambingnya yang tampak kelaparan di pohon cemara dekat tanah yang tak ditumbuhi rumput di samping pertigaan. “Emangnya ini tanah punyamu apa? Saya juga berhak menggembala kambing disini. Kalau mau gembalakan kambing ya cari tempat lain saja” laki-laki paruh baya itu berkata dengan berapi-api. Nada bicaranya yang tinggi dan cepat membuatku jengkel, “Siapa juga yang mau gembalakan kambing.”Penggembala kambing itu menghilang bersama langkahnya yang cepat menuju parit kecil di ujung jalan d bagian selatan barisan pohon cemara.
·          
“Kenangan itu, kau masih mengingatnya? Akhirnya kita bertemu di tempat ini. Tepat 5 tahun sesuai yang kita janjikan. Kau menepati janjimu” Suara bergenre bass menyadarkanku dari deret kata yang ku baca di selembar kertas yang telah usang. Aku tak menolehkan kepalaku. Aku tak berani. Dia berdiri tepat di belakangku. Sedikitpun aku tak ingin menoleh padanya. Setidaknya hingga aku bisa mengenali suara itu. Tak lama, dalam hitungan detik aku memanggilnya, 
“Tom.”
“Jerry.” Dia ganti memanggilku. Dia segera duduk di sampingku sebelum aku sempat menolehkan kepalaku ke belakang. Tom tak banyak berubah. Setidaknya dari apa yang kulihat sekarang. Rambutnya cepak, dan tersisir rapi. Kemeja kotak-kotak dengan paduan warna yang selalu sama, hitam, merah, biru, dan putih. Celana kain berwarna hitam lengkap dengan sepatu kulit berwarna  hitam yang selalu terlihat licin tanpa noda.
“Sudah tahu apa yang ku tulis disitu?” dia bicara dengan menatapku. Dalam. Sebagai seorang yang talh mengenalnya selama 7 tahun, aku tahu apa yang dia maksud dari perkataannya itu.
“Kau adalah pengidap psikosa paranoia1. Pernah dirawat di rumah sakit jiwa selama 3 bulan padahal kau merasa tidak gila. Narkoba bukan barang baru buatmu. 1 tahun mengedarkan narkoba. Kamu juga pemakai. Tapi 5 tahun yang lalu hingga saat ini kau bisa bekerja sebagai motivator di berbagai perusahaan. Bagaimana bisa?”
Kata-kataku meluncur bersama angin yang mulai berhembus lebih cepat. Membuat debu-debu beterbangan. Kuhirup dan....
“Hatching.” Bersin, kepalaku hingga tertunduk. Jemariku mengusap-usap hidungku dengan kasar. Dia menyodorkan selembar sapu tangan biru kepadaku. Segera ku raih sapu tangan itu dan kututupkan pada hidungku. Segera. Aku mengeluarkan map yang ku gulung dengan tali karet dari tas kecil yang ku bawa. Ku buka ikatan tali karet itu, map berwarna kuning bergambarkan logo universitas di bagian depannya yang berkilau dipantulkan cahaya matahari. Ku berikan padanya, dia segara meraih map itu. Dipandangnya dalam-dalam halaman depan map itu. Lalu dibukanya halaman demi halaman dalam map itu. Dia kembali menutup map itu. Dia menoleh ke arahku. Tersenyum, setitik air mata menepi di sudut mataku.
·          
Kami berjalan pulang menuju rumah. 5 tahun ini aku menahan rasa penasaranku tentang sosok yang telah membesarkanku, menimangku ketika aku harus menelan kenyataan bahwa aku lahir tanpa bisa digendong oleh ibu. Ibuku meninggal setelah melahirkanku dan orang yang sedang berjalan denganku saat ini adalah orang yang meniupkan adzan di telingaku.Sayangnya, aku memiliki catatan merah di masa remajaku. Catatan yang terlalu merah. Berbagai macam bentuk penyimpangan telah kulalui pada episode-episode hitam yang dinaungi predikat jiwa paranoia1. Sama seperti dia, orang yang kini berjalan di sampingku.
Catatan merah itulah yang membuatku terasingkan di negri langit biru selama 5 tahun setelah aku ditangkap polisi karena terlibat tawuran. Beruntung, saat itu tidak sampai ditahan. Namun, kejadian itulah yang membuat Tom, orang yang berjalan di sampingku,  memutuskan untuk mengirimkanku ke tempat-tempat yang  mampu mencuci gelapnya predikat jiwaku, paranoia1.Pusat Kesehatan Jiwa Masyarakat selama 3 bulan, Rumah Terapi “Laskar Bakti” di daerah Malang selama 4 tahun 7 bulan, dan juga studi di salah satu universitas disana. Di tempat-tempat itulah, sedikit demi sedikit tindak eksplosif dan jiwa superiorku diasah hingga berupa serpih-serpih yang harus ku tinggalkan di masa lalu.
“Lima tahun yang lalu, aku memendam surat dalam botol itu. Sekedar kau ketahui, untuk mengetahui sesuatu, waktu lebih bijak dalam menentukannya, karena ada kuasa-Nya di balik pergerakan waktu itu sendiri. 5 tahun, waktu yang kita tentukan. Walau kesepakatan itupun melewatkan banyak episode hitam yang terkupas oleh ketegasanku mengirimmu ke tempat-tempat yang sulit bagimu. Tapi, sekarang apa kau sudah tahu apa maksudku?” lengannya yang kokoh merengkuh bahuku. Aku menoleh ke arahnya. Dia memandangku dengan pertanyaannya yang belum kujawab. Seulas senyum tersimpul di bibirku.
Kami telah sampai di halaman rumah. Ku hentikan langkahku, begitu juga ia.
“Sebelum dijawab, Tom dan Jerry harusnya baikan dulu lah. Deal.” Tangan kananku ku arahkan padanya. dia tak memahami maksudku atau entah kebingungan. Dia terdiam memandangku dengan tatapan penuh tanda tanya. Maka, tangan kanannya segera ku raih. Kujabat tangannya erat-erat. Aku menunduk, kucium punggung tangannya dengan lembut. Batinku berbisik, “Iya. Tentu saja.
Air mataku tak bisa ku bendung. Kini membasahi punggung tangannya yang masih kucium. Tangan kirinya menepuk pundakku dengan pelan. “Maaf.” Kataku lirih.
 Oleh :  Artina Artie
Asrama Wiwasya, Jember
Desember 2012
Catatan: 1 paranoia adalah salah satu bentuk psikosa fungsional ditandai adanya ekspresi diri yang membandel dan keras kepala, menganggap dirinya superior, egosentris, selfish, dan kerapkali dihinggapi rasa curiga. Gangguan ini penyembuhannya melalui terapi intensif. Masih ada kemungkinan untuk disembuhkan.

0 komentar:

Posting Komentar