About

HAYALANKU KESASAR


Mungkin kau akan bertanya-tanya bagaimana cara menahlukkan orang yang memerintahmu. Pasti kau pernah ingin menjadikan orang yang menjadikanmu kacung selama ini menjadi kacungmu.
Sedikit-dikit pasti telah kau bayangkan bagaimana sesekali kau membentak dia yang berkali-kali membentakmu. Bayangkan saja, meskipun kau membentaknya dalam bayangan, setidaknya kau mendapat kepuasan. Sepertiku, yang setiap kali membayangkan membunuh anak majikan.
“Kau pecundang.” Kata bayanganku suatu ketika. Mungkin bayanganku bosan membayangkan terus-menerus membayangkan pembunuhan anak majikan. Karena aku disebut pecundang, saksikanlah aku pasti akan menjadi srigala yang siap menerkam anak majikan.
“Ambilakan sepatuku, yang warna merah. Jangan warna hitam!” majikan cilik memerintahku. Aku menuruti. Berlari menuju ruang sepatu. Terdapat enam sepatu merah dengan model berbeda. Kutimbang-timbang dalam angan.

“Cepat!”
“Iya, Den.” Aku mengulum air liur. Saujana memandang, majikan cilik masih menunggu ditempat semula, sofa. Aku kembali mengelap-elap salah satu sepatu merah.
“Bukan yang ini tolol! Yang satunya!”
“Maaf Den, biar saya ambilkan lagi.”
Saya mengelap sepatu warna merah berikutnya.
“Bodoh, tolol. Itu tidak cocok dengan bajuku. Coba pintar sedikit. Cepat carikan yang lain.”
“coba Aden mengambil sendiri. Sepatunya masih tetap di ruang kaca.”
“Apa? Kau kira aku ini pembantu apa? Aku ini anak majikanmu. Itu artinya, aku juga majikanmu. Berani sekali kau menantangku. Ambilkan sepatu merah lainnya.”
“Iya, Den. Maaf.”
Pandanganku meninggalkan sepatu olah raga yang baru kuusap-usap. “Mungkin ini kurang cocok lagi” pikirku. Hatiku berdebur-debur. Kupilihkan yang kuanggap benar-benar serasi untuk majikan cilik yang baru datang dari Malaysia itu. Aku keluar dari ruang kaca. Ruang dengan 4x6 meter dengan 16 sap kaca sebagai tempat sepatu dengan ukuran sama. Seluruhnya berjumlah 226 pasang dengan model dan warna berbeda. Semua dirancang oleh orang terkemuka.
Pertama kali ruangan ini dibangun, aku menggeleng-geleng. Sesayang apa majikanku yang setiap hari membentakku itu pada putra kandungnya yang tidak pernah bersedia pulang ke Indonesia. Rasa sayang itu dibuktikan dengan fasilitas yang bagi kacung sepertiku berlebihan.  Tentu saja hayalanku yang dominan menjalankan sepatu-sepatu itu. Jika kuajak anakku ke pasar, sepatu warna hitam itu mengikuti hayalanku. Saat kuajak anakku yang seumuran majikan cilik itu ke kebun. Kujadikna sepatu warna coklat menemani hayalanku. Tepat ketika anakku berangkat bermain-main, hayalanku akan menjadikan sepatu berwarna abu-abu dipakai anakku.
“Pak,” majikan kecil yang selalu membentakku pada bayanganku itu berada dibelakang. Aku terkagetkan.
“Semua sepatu ini untukku?”
“Iya, Den.”
“Yang memilihkannya Papi?”
“Iya Den, Tuan besar sangat menyayangi dan mengharapkan Aden tinggal bersamanya.”
“Bolehkah aku minta tas?”
“Baik Den.” Kuturuti permintaan majikan kecilku. Meskipun sesungguhnya hayalanku menyalahkannya karena ia telah memudarkan hayalanku itu. Aku kembali dengan membawa tas berukuran dua puluh sentimeter milik nyonya.
“Ada berapa tas seperti ini?”
“Banyak, Den.”
“Tolong bawa ke sini semua.”
Aku menuruti. Pasti nyonya merelakannya.
##

Aku tertidur lebih dulu. Majikan kecil masih saja disibukkan oleh kegiatannya mengepak sepatu. Sebelum aku tidur, telah sembilan puluh empat pasang sepatu terbungkus rapi pada tas yang kubawakan. Ketika kutanya untuk apa? Majikan kecil hanya diam saja. Tentu saja yang menang adalah hayalanku. Aku tidak peduli meskipun hayalan itu ‘kesasar’.
Telah terkumpul lebih banyak pasang sepatu dibanding sebelum tidurku ketika aku terbangun.
“Pak, tolong, berikan sepatu-sepatu hitam ini pada anak yang kurang mampu.” Pesannya membuat mataku bergemintang.
Sang majikan kecil meninggalkanku begitu saja, sebelum kutanyakan “bolehkan aku memberikan sebagian pada putra semata wayangku?”
 IMSICX
Wuluhan, 24 Januari 2013

1 komentar:

  1. “Pak,” majikan kecil yang selalu membentakku pada bayanganku itu berada dibelakang. Aku terkagetkan.
    “Semua sepatu ini untukku?”
    “Iya, Den.”
    “Yang memilihkannya Papi?”
    “Iya Den, Tuan besar......

    Pada percakapan di atas, tiba2 si majikan yang suka membentak2 berubah secara drastis tanpa ada penyebab yang pasti.

    Setelah itu, tak lama kemudian ia menjadi lunak dan dermawan tanpa penyebab yang jelas.

    M. Syaikhul Umam

    BalasHapus