About

Resensi Buku



Dalam sejarah kecerdasan sebuah kaum, Yahudi merupakan kaum yang kecerdasaannya tidak diragukan lagi. Meskipun jumlah mereka yang tidak lebih dari 1% dari jumlah penduduk dunia, mereka dapat menguasai dunia ini dengan karya-karya mereka yang fenomenal. Kecerdasaan mereka terbukti hampir 50% ilmuwan pendidikan adalah keturunan Yahudi di Spanyol. Lebih dari 25% profesor di perguruan tinggi yang tersebar di seluruh Amerika Serikat adalah orang Yahudi. Dari 270 Hadiah Nobel Perdamaian, 102 yang memenangkan adalah orang Yahudi dari pertama kali dianugerahkan 1901 sampai saat ini.

 
Tokoh-tokoh yang terkenal dari orang Yahudi di dunia ini diantaranya Mike Lazaridis penemu BlackBerry yang populer pada saat ini. Felix Bloch penemu Bom Atom, Larry Page & Sergey Brain penemu mesin penacari Google, fisikawan Albert Einstein penemu teori Relativitas, Mark Zuckernberg penemu dan pendiri Facebook, Bill Gates penemu Microsoft, bahkan Lionel Messi pesepak bola yang luar biasa, dan masih banyak lagi ilmuwan-ilmuwan yang ahli di bidang mereka. Dan mereka semua merupakan keturunan Yahudi.
Kecerdasan mereka bukan hanya semata-mata takdir Tuhan, tapi terdapat rahasia-rahasia yang dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut. Dan rahasia tersebut dilakukan oleh mereka ketika anak-anak mereka masih dalam kendungan. Diantaranya yang pertama adalah mendengarkan dan bermain musik. Musik yang didengarkan adalah musik yang shaydu, menyegarkan pikiran dan menambah semangat psikologi. Kebiasaan ini telah dilakukan oleh para ibu golongan Yahudi ketika masa kehamilan. Dan kebiasaan tersebut sesuai dengan kaidah kedokteran.
Yang kedua adalah mengerjakan soal matematika. Para ibu hamil tersebut tidak merasa bosan untuk mengerjakan soal-soal matematika. Dan mereka mengerjakannya tanpa beban, sehingga tidak menjadi beban psikologi. Jadi, jangan heran apabila kita berada di negara yang moyoritas adalah orang Yahudi -misalnya israel- melihat ibu-ibu yang sedang hamil membawa buku matematika ke mana-mana. Yang ketiga adalah makanan para ibu Yahudi saat hamil.

Selain kebiasaan-kebiasaan di atas, para ibu Yahudi juga memiliki kebiasaan mengkonsumsi kacang badam, korma dan susu. Kebiasaan tersebut telah dilakukan mereka sejak dahulu. Selain itu, mereka juga mengkonsumsi makanan-makanan lain yang bergizi lainnya. Dan ketika makan ikan mereka menyisakan kepalanya.
Hal yang keempat yang dilakukan oleh para ibu Yahudi ketika sedang hamil adalah menjauhi asap rokok. Di kalangan Yahudi, rokok dianggap hal yang menjijikan, berbahaya dan hal yang tabu. Meskipun ada sekitar 5% dari mereka yang masih merokok. Meskipun begitu, ketika ada seorang ibu hamil di tempat umum, dalam jarak minimal 15 meter, pasti tidak ada orang yang sedang merokok. Dan apabila ada seorang perokok dan istrinya sedang hamil, dia akan berhenti merokok dalam masa kehamilan sang istri semata-mata demi anaknya.
Begitulah beberapa hal yang dijelaskan dalam buku ‘Menguak Rahasia Cara Belajar Orang Yahudi’ karya Abdul Wahid. Beliau bisa menyajikan materi-materi tersebut secara runtut sehingga enak dibaca. Mulai rahasia ketika masa kandungan sampai masa dewasa. Bagaimana mereka melakukan ‘ritual-ritual’ tersebut sehingga menjadikan generasi mereka cerdas dan genius.
Judul buku: Menguak Rahasia Cara Belajar Orang Yahudi
Penulis : Abdul Waid
Penerbit : Diva Press
Cetakan : II, Desember 2011
ISBN : 978 - 602 - 978 - 757 - 3
Ukuran : 14x20cm 
Halaman :248 Halaman

(M. Syaikhul Umam)

Ramadan Kali Ini


 Oleh : Lia Salsabila

Kurasakan kesejukan yang belum pernah membelai raga, juga jiwa, ketika sampai di tempat ini. Tempat yang tak pernah kutahu nama dan arahnya. Beragam bunga menganguk anggun dan semerbak. Pohon-pohon menjulang gagah. Kupu dan kumbang berkejaran di sela mawar. Aku semakin takjub tatkala ricik air mulai menyapa gendang telinga. Seberkas cahaya menyilaukan membuat mataku terpejam. Sayup kudengar seseorang memanggil namaku.

“Nilam, kemarilah, Sayang. Ibu ingin mendekapmu. Ibu sungguh merindukanmu.”

Aku tergeragap. Samar terlihat seraut wajah tak asing. Wajah yang seolah tiap hari kutatap.
“Ya Allah, mengapa wajahnya sama dengan wajahku.” Tak berkedip aku menatap wanita itu. Menahan tanya yang tak mampu kusuarakan.

“Nilam, ini ibu, Nak. Kemarilah.” Kembali wanita itu memanggil namaku. Keringat dingin merembes perlahan di kening dan leherku. Tidak mungkin dia ibuku. Tidak mungkin.

Wanita itu berjalan mendekat. Aku tertegun namun tak urung kakiku melangkah menjauhinya. Semakin dia mempercepat langkah semakin aku menambah kecepatan langkah. Aku berlari dan terus berlari tanpa sedikit pun berpaling dari wajahnya.

“Nilam, ini ibu, Nak. Jangan lari sayang.”

“Tidak! Tidak mungkin! Tidaaaaaaakk!!!!

“Nilam…Nilam… Bangun, Sayang. Ayo bantu ibu siapkan makanan sahur untuk adik-adikmu.”
Lembut suara Ibu Aisyah kudengar seraya menggoyang pelan tubuhku, membangunkanku. Setengah terlelap aku mengangguk. “Ya Allah. Hanya mimpi,” batinku.
“Iya, ibu, Nilam sudah bangun kok,” tergeragap kujawab panggilan Ibu Aisyah.

Aku terduduk. Bingung. Mimpi tadi terasa begitu nyata. Aku termangu. Bergegas kulipat rapat selimut dan mengenakan jilbab yang baru setahun ini kukenakan. Terkantuk-kantuk, aku mengikuti langkah ibu ke dapur.

Sebagai anak tertua memang sudah kewajibanku membantu ibu mengerjakan pekerjaan rumah tangga setiap hari. Menyapu, mencuci piring, mencuci baju, dan memasak. Apalagi sekarang sahur pertama. Ibu yang semakin menua sudah tak sanggup melakukan semua pekerjaan rumah tangga sendiri.

“Nilam, kenapa bengong, sayang. Lekaslah kaujerang air. Waktu imsak sudah hampir tiba. Kasihan adik-adikmu kalau tidak sempat sahur,” tegur Ibu Aisyah lembut membuyarkan lamunanku. Segera aku bergegas membantu Ibu Aisyah.

Ramadan selalu memberi kenangan indah dan pahit buatku. Indah karena kebersamaan keluarga besar kami yang begitu rukun satu sama lain. Pahit karena tak pernah bisa melalui Ramadan bersama ayah dan ibu kandungku.

Aku tinggal di Panti Asuhan Ibunda bersama 20 anak lainnya. Kebetulan aku anak tertua karena yang seumuran denganku sudah diadopsi semua. Pedih terasa di dada ketika mengingat teman-teman sebaya direnggut dari sisiku. Pedih semakin menjadi ketika mengingat tak satu pun orang yang mau mengadopsiku. Tak jarang aku mempertanyakan masalah itu kepada Ibu Aisyah. Mengapa tak ada yang mau mengadopsiku. Apakah aku tidak layak untuk menjadi anak mereka. Ibu Aisyah selalu tersenyum menanggapi pertanyaanku. “Bukan tak ada yang mau padamu, Nilam. Hanya saja Allah belum mengizinkan kamu meninggalkan ibu. Kelak, kalau sudah sampai waktunya, ibu yakin kamu akan mendapatkan ayah dan ibu yang terbaik.” Selalu begitu jawaban Ibu Aisyah ketika aku berkeluh dan merajuk padanya.

Walaupun bukan ibu kandung, Ibu Aisyah sangat sayang padaku, juga terhadap semua anak-anak di panti. Hanya karena aku yang paling tua maka aku lebih dekat dengan Ibu Aisyah.

Ibu Aisyah seorang janda tanpa anak. Suaminya meninggal limabelas tahun lalu karena kecelakaan. Itulah awal berdirinya panti asuhan Ibunda. Karena kesepian, Ibu Aisyah memungut anak-anak jalanan atau yatim piatu, dan di bawa ke rumahnya. Ceritanya, aku ditemukan di tengah semak tak jauh dari rumahnya. Pedih sekali rasanya ketika mendengar cerita Ibu Aisyah. Ternyata aku anak yang tak diharapkan.

Sebagai anak tertua tentunya aku harus menjadi panutan dalam segala hal. Juga menjadi pengayom bagi adik-adikku. Setiap pagi aku membantu Ibu Aisyah menyiapkan sarapan, menyiapkan mereka untuk ke sekolah. Membantu mereka belajar. Menemani bermain dan kadang harus mendongeng juga. Aku sendiri baru lulus SMP. Ibu Aisyah tidak mampu menyekolahkanku lebih tinggi lagi. Aku sadar dan tidak menuntut terlalu banyak dari Ibu Aisyah. Pemasukan dari donatur yang dia terima sangat minim. Itu pun kadang masih kurang untuk makan. Aku mengalah demi adik-adikku yang lain. Agar mereka juga bisa mengenyam bangku sekolah. Aku tak patah semangat. Walau tak sekolah, aku tetap belajar dan akan terus belajar. Bukankah ilmu tak selalu harus diperoleh dari bangku sekolah.

Biasanya di bulan Ramadan begitu ramai kujungan dari orang luar. Tujuan mereka berbeda-beda. Kebanyakan bersedekah dan minta doa pada kami. Yang paling banyak berkunjung adalah pasangan suami istri yang ingin mengadopsi salah satu dari kami. Seperti sudah tradisi saja, mengadopsi anak di bulan Ramadan. Seperti Ramadan kali ini, baru hari ketiga sudah dua orang adikku diadopsi mereka. Sedih, karena harus berpisah dengan mereka. Tetapi juga bahagia karena beban Ibu Aisyah agak berkurang, dan mereka mendapatkan kehidupan lebih layak dibanding di panti. “Ternyata sedih dan bahagia begitu dekat berdampingan, sehingga kadang kita tidak sadar bahwa sudah bersedih dan berbahagia dalam waktu bersamaan,” batinku.

Seperti anak-anak yang lain, aku pun harap-harap cemas menanti pasangan suami istri yang mau mengadopsiku. Namun keinginanku itu juga sebesar ketakutanku. Aku memimpikan bagaimana indahnya hidup bersama dua orangtua yang sayang padaku. Melanjutkan sekolah setinggi-tingginya. Dan yang terpenting, aku bisa menikmati indahnya lebaran dengan keluarga yang utuh. Namun, aku takut tak terbiasa dengan sepi. Dan yang paling aku takuti adalah kedua orangtua angkatku tak sesayang Ibu Aisyah padaku.

Hingga menjelang malam lailatul qadar, belum ada tanda-tanda dari pasangan suami istri yang mau mengadopsiku. Putus harap sudah memenuhi relung jiwa. Tiap malam aku berdoa. Entah untuk keinginan yang mana. Muncul prasangka bahwa tidak akan pernah ada yang mau mengadopsi seorang anak yang memang tak pernah diharap kehadirannya.

Aku tidak habis pikir, mengapa banyak orangtua yang tidak bertanggung jawab, termasuk ayah dan ibu kandungku. Membuang begitu saja ketika tidak mengharapkan kami lahir. Dalam doa aku hanya bisa memintal harap untuk bisa bertemu dengan ibu yang melahirkanku. Dalam malam-malam sepi aku hanya ditemani barisan puisi seraya mengenangmu, Ibu.

Malam menjelang. Aku mencari bayang. Wajahmu
yang tak kukenal meski dalam kenang
apalagi dekapan sayang, belai kasih yang tak lekang

Pagi menjelang. Aku mencari bayang. Hatimu
yang tak pernah kutahu meski ada rindu
agar kau menjadi cahaya ketika
matahari gerhana dan rembulan tak purnama

Bu, aku sungguh ingin bertemu
meski hanya sekali waktu
tuntaskan segala soal dan rindu
hingga aku tahu ada surgamu


Hari raya Idul Fitri sudah di depan mata. Adikku berkurang enam orang. Mereka langsung dibawa oleh orangtua barunya. Mengingat perpisahan itu, aku kasihan kepada Ibu Aisyah. Tetapi juga bahagia karena kehidupan adik-adikku akan berubah di tempat tinggalnya yang baru.

Kesibukan di panti cukup padat. Aku membagi tugas kepada adik-adik yang lain. Adik laki-laki membantu Pak Maman mengecat rumah dan membersihkan halaman. Adik-adik perempuan membantuku dan Ibu Aisyah membuat kue. Bayangan kepedihan di wajah adik-adikku sedikit terkikis oleh kesibukan ini.
Aku sendiri telah menyimpan rapat harap bahwa akan ada yang datang mengadopsiku Ramadan kali ini. Pikiran aku fokuskan pada persiapan menyambut lebaran. Aku tak ingin menambah beban Ibu Aisyah dengan memperlihatkan kesedihanku.

“Alhamdulillah, Ramadan kali ini banyak donatur yang menyumbang ya, Bu,” kataku pada Ibu Aisyah sambil tetap mengaduk adonan kue.

“Iya, Nilam. Alhamdulillah,” jawab Ibu Aisyah.

“Akhirnya kita bisa merayakan kemenangan dengan pesta meriah, Bu,” ucapku gembira.

Hening sejenak. Ibu Aisyah tak menanggapi ucapanku yang terakhir. Hanya helaan nafas panjangnya yang terdengar. Setelah sekian menit baru Ibu Aisyah berbicara kembali.

“Nilam, anakku. Perlu kauketahui dan ingat. Kemenangan tidak selalu harus dirayakan dengan sebuah pesta, makanan enak dan pakaian mewah. Kemenangan akan menjadi sempurna ketika kita bersyukur setulus hati. Dan kemenangan akan mendatangkan ketidakbaikan apabila dirayakan dengan sebuah keterpaksaan.”

Aku tertegun mendengar tutur kata Ibu Aisyah. Dalam hati aku bersyukur karena dibesarkan oleh wanita seperti dia.

“Iya, Ibu. Nilam mengerti. Maafkan Nilam karena terlalu terbawa perasaan,” kataku lirih.

Suasana kembali hening. Kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sesungguhnya ada tanya yang menyesak di dada. Namun aku masih ragu untuk mengutarakannya. Tapi tak tahan dengan keheningan yang terasa menggigit jiwa, aku memberanikan diri.

“Bu, bolehkah Nilam bertanya sesuatu?” ucapku lirih memecah kesunyian.

“Boleh, Nilam. Kamu mau bertanya apa?” jawab Ibu Aiysah.

“Mengapa seorang ibu tega membuang anaknya, Bu?” tanyaku ragu.

Ibu Aisyah tak segera menjawab. Dia menatapku lekat seraya menghela nafas panjang.

“Banyak alasan mengapa seorang ibu tega membuang anaknya, Nilam. Karena masalah ekonomi, misalnya,” jawab Ibu Aisyah lembut.

“Tapi, Bu, menurut Nilam itu bukan sebuah alasan. Walaupun hidup serba kekurangan, seorang anak pasti akan bahagia jika tinggal dengan kedua orangtuanya, daripada harus hidup di jalanan atau panti asuhan,” ucapku sedikit emosi.

“Nilam, anakku. Kamu belum tahu, Nak. Kehidupan di luar sana begitu pelik dengan beragam masalah. Orangtua manapun tidak akan tega membuang anaknya tanpa alasan yang kuat. Terlebih seorang ibu. Dia mengandung selama 9 bulan dan mempertaruhkan nyawa ketika melahirkan,” jelas Ibu Aisyah, tetap dengan lembut.

“Jangan-jangan Nilam lahir dari sebuah hubungan terlarang. Atau karena tak diketahui siapa bapak Nilam. Makanya ibu tega membuang Nilam di semak-semak. Untung Ibu Aisyah yang menemukan Nilam. Bagaimana jika yang menemukan orang jahat. Mungkin Nilam akan dipaksa menjadi orang jahat juga. Tidak, Bu, Nilam tidak bisa menerima alasan apapun,” kataku serak karena menahan tangis dan amarah.

“Sudahlah, Nilam. Kelak, seiring berjalannya waktu, kamu akan menemukan jawabannya. Jangan rusak hatimu dengan amarah dan dendam. Yang perlu kamu lakukan sekarang, selalu bersyukur kepada Allah karena kamu masih berada dalam kebaikan. Dan yang terpenting, siapapun kamu, ibu akan tetap menyayangimu seperti ibu menyayangi anak kandung ibu,” ucap Ibu Aisyah mendekap dan membelai kepalaku. Aku hanya mengangguk dan melanjutkan tangis yang tadi tertahan dalam dekapan Ibu Aisyah.

Kesibukan bertambah menjelang dua hari sebelum lebaran. Panti sudah terlihat lebih bersih dan baru. Kesedihan yang sempat menaungi wajah adik-adikku, sirna. Tawa dan canda mereka menggema di setiap sudut panti. Setelah percakapanku dengan Ibu Aisyah kemarin, aku sedikit lebih tenang. Kepasrahan dan keikhlasan mulai meresap di rongga jiwa walau belum sepenuhnya.

Menjelang malam takbiran. Suasana gembira begitu kental. Aku, Ibu Aisyah dan semua anak-anak Panti Asuhan Ibunda menyiapkan pakaian dan mukena salat Id besok. Setelah selesai, kami berkumpul dan bercengkrama bersama di ruang makan. Karena hanya ruangan itu yang paling besar. Kami bercanda, tertawa tanpa jeda. Terlebih ketika si Gembul (adikku yang paling gendut) bercerita sambil menggoyang-goyangkan badannya, kami tertawa sampai terpingkal-pingkal. Ibu Aisyah sendiri sampai menitikkan air mata.

Tak terasa waktu beranjak sangat cepat. Tepat jam 10 malam Ibu Aisyah menyuruh adik-adik kembali ke kamar masing-masing untuk istirahat. Aku dan Ibu Aisyah membereskan ruang makan. Ketika kami mau kembali ke kamar tiba-tiba bel pintu rumah berbunyi.

“Siapa ya, Nak, malam-malam begini bertamu,” kata Ibu Aisyah.
“Biar Nilam yang lihat, Bu,” kataku seraya berjalan ke arah pintu ruang tamu.

Ketika membuka pintu, tampak seorang bapak tua duduk di kursi roda dengan seorang laki-laki yang lebih muda.

“Assalamualaikum,” ucap sang Bapak.

“Walaikumsalam,” jawabku.

“Ini pasti Nilam,” kata Bapak, membuatku kaget karena dia tahu namaku.

“Ibu Aisyah ada, Nak,” kata bapak lagi.

“A..a..ada, Pak. Silakan masuk,” jawabku gugup seraya mundur memberi jalan.

Setelah mempersilakan lelaki yang menemani Bapak itu duduk, aku masuk memanggil Ibu Aisyah. Kami berdua bersama-sama menuju ruang tamu.

“Oh, Pak Herman to. Pasti ada yang penting sehingga Bapak berkunjung malam-malam begini,” kata Ibu Aisyah seraya menyalami bapak tua yang ternyata sudah dikenalnya.

Aku bergegas pergi ke dapur untuk membuatkan minum. Tapi bukan hanya karena alasan itu aku meninggalkan mereka. Kami diajarkan oleh Ibu Aisyah untuk tidak ikut mendengarkan percakapan orang dewasa, terlebih yang tidak ada kaitannya dengan kita.

Agak lama aku di dapur. Ketika dirasa cukup, kubawa minuman dan makanan kecil ke depan. Benar perkiraanku, percapakan penting mereka sudah selesai. Ketika aku sampai, mereka sudah bercakap ringan. Setelah meletakkan makanan dan minuman di meja aku mohon pamit untuk istirahat.

“Duduklah dulu, Nilam. Ada yang ingin kami bicarakan denganmu,” kata Ibu Aisyah mengurungkan langkahku. Aku duduk di samping Ibu Aisyah dan siap mendengarkan apa yang ingin mereka katakan.

“Nilam, ini Pak Herman, donatur tetap panti kita. Beliau datang jauh-jauh dari Semarang untuk bertemu denganmu.”

Aku bingung mendengar perkataan Ibu Aisyah. Ada apa gerangan Pak Herman ingin bertemu denganku. Ada hubungan apa dia denganku. Beragam tanya berkecamuk di kepala. Namun aku tetap diam menunggu.

“Pak Herman ini hidup sendiri. Beliau hanya ditemani Mang Kosim supirnya. Semua anak-anaknya tinggal di luar negeri.”

Aku semakin bingung. Mengapa Ibu Aisyah bercerita tentang Pak Herman kepadaku.

“Sudah lama Pak Herman memantau perkembangan kamu di sini melalui ibu,” lanjut Ibu Asiyah membuatku makin bingung. Apa sebenarnya yang diinginkan Pak Herman ini. Namun aku tetap mendengarkan tanpa menyela sedikit pun.

“Tadi, Pak Herman menyampaikan kepada ibu bahwa beliau ingin mengadopsimu sebagai anak. Dan akan mengajakmu ke Semarang malam ini juga.” Aku seperti tersambar petir. Kaget tak terkira mendengar perkataan ibu yang terakhir. Walaupun aku sangat menginginkan proses adopsi, tapi tetap berita ini sangat mengejutkan. Apalagi waktunya sangat tidak tepat menurutku. Besok sudah lebaran. Tidak mungkin aku meninggalkan Ibu Aisyah dan adik-adikku. Aku ingin berlebaran dengan mereka. Namun tak satu pun kata terucap dari bibirku yang tiba-tiba kelu.

“Iya, Nilam. Tinggallah bersama Bapak, Nak. Bapak sungguh kesepian karena hanya tinggal berdua dengan Mang Kosim. Bapak sudah memperhatikanmu sejak lama. Makanya Bapak mau mengadopsimu karena Bapak yakin kamu anak yang baik,” tambah Pak Herman.

“Kamu mau kan, Nak?” tanya Pak Herman.

“Bagaimana, Nilam? Kamu mau kan, Sayang?” timpal Ibu Aisyah.

Aku semakin bingung. Beragam jawab bergejolak. Tanpa menjawab pertanyaan Pak Herman dan Ibu Aisyah aku berlari ke dalam kamar. Aku sadar kalau sikapku ini sangat tidak sopan. Tapi entahlah, aku seketika ingin sendiri.

Sesampai di kamar aku menangis menelungkup bantal. Sebenarnya aku bingung apa yang aku tangiskan. Seharusnya aku bahagia karena ada yang mau mengadopsiku. Tapi ketakutan membayang di bibir jiwa. Sanggupkah aku menjalani waktu tanpa celoteh riang adik-adikku dan tanpa belai kasih Ibu Aisyah.

“Nilam, Sayang. Kenapa kamu malah menangis?” Tanya Ibu Aisyah. Aku tak mendengar langkah Ibu Aisyah karena terlalu asyik dengan pikiranku. Tiba-tiba dia sudah ada di sampingku dan membelai kepalaku.

“Apa yang kautangisi, Nak?” Tanya Ibu Aisyah lembut.

Aku bangun menghadap Ibu Aisyah. Tanpa sengaja kutatap matanya. Ada tetesan air bening yang mengalir dari sana. Semakin nyeri rasa ulu hatiku.

“Bu, Nilam takut. Nilam juga tidak sanggup meninggalkan Ibu dan Adik-Adik,” kataku seraya memeluk Ibu Aisyah.

“Apa yang kau takutkan, Nak? Pak Herman itu orang baik. Ibu tahu betul siapa beliau. Ibu tidak akan memberikanmu kepada sembarang orang, Nak. Karena ibu sangat sayang padamu,” tutur Ibu Aisyah lembut seraya membelai kepalaku.

“Kalau ibu sayang Nilam, kenapa ibu mengizinkan Pak Herman mengadopsi Nilam. Biar Nilam sama Ibu saja. Nilam janji akan selalu membantu Ibu sampai kapanpun,” kataku sambil berharap Ibu Aisyah mengabulkan keinginanku.

“Nilam, Anakku. Memang benar ibu sangat sayang padamu. Tapi bukan berarti ibu harus menahanmu di sini dengan penghidupan seadanya. Dengan kamu diadopsi Pak Herman, kamu bisa melanjutkan sekolah dan meraih cita-citamu,” Ibu menghela nafas sebelum kembali melanjutkan.

“Dulu, Ibu pernah bilang. Jika Allah belum mengizinkan kamu diadopsi, maka hal itu tidak akan terjadi. Dan ternyata Allah menghendakinya sekarang, Nak. Berangkatlah, Nilam. Kesempatan hanya datang sekali. Jangan pikirkan Ibu dan Adik-Adikmu. Kami semua akan baik-baik saja.”

“Tapi besok lebaran, Bu. Nilam ingin lebaran bersama ibu dan adik-adik,” kataku bersikukuh.

“Di manapun kamu berada, kamu masih tetap bisa berlebaran, Nilam. Akan ada orang-orang terkasih yang selalu mengelilingimu. Berkemaslah, ambil pakaianmu seperlunya saja,” kata Ibu Aisyah seraya beranjak meninggalkanku.

Antara enggan dan mau, kukemasi barang-barang. Apa yang dikatakan Ibu Aisyah semuanya benar. Aku harus tegar. Bukankah dalam hidup selalu ada perjumpaan dan perpisahan. Itu kata Ibu Aisyah dulu.

Tepat jam 12 malam aku pamit kepada Ibu Aisyah. Tanpa diiringi lambaian tangan adik-adik, aku meninggalkan Panti Asuhan Ibunda. Dari dalam mobil aku melihat Ibu Aisyah kembali menitikkan air mata. Hatiku sangat pedih. Perasaan kehilangan mengental di jiwa. Pesan terakhir Ibu Aisyah masih terngiang di kepala. “Jadilah anak yang baik. Jangan lupa salat dan membaca Alquran. Hormati Pak Herman karena dia orangtuamu sekarang.”

Sepanjang perjalanan kulalui dalam diam. Mungkin karena lelah, tak sadar aku tertidur.
Menjelang subuh kami sampai di rumah Pak Herman. Rumah yang sangat besar buatku. Aku juga mendapat kamar yang sangat mewah. Kamar yang seumur hidup belum pernah aku miliki.

“Istirahatlah sejenak, Nilam. Besok pagi kita salat Id bersama di masjid,” kata Pak Herman.

Sepeninggal Pak Herman aku menata baju di lemari yang ada di sudut kamar. Membersihkan diri dan berbenah untuk berangkat ke masjid esok pagi.

Pagi membuka malam. Mentari menyapa hangat. Gema takbir mendayu syahdu.

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar
Laa Ilaaha Ilallahu Allahu Akbar
Allahu Akbar Walillahilhamd

Alhamdulillah, Ya Allah. Telah engkau beri aku kesempatan untuk sekali lagi meraih kemenangan. Kemenangan terbesar yang kurasakan saat ini adalah bersyukur atas apa yang engkau limpahkan. Pahit atau manis takdir yang engkau timpakan semoga tidak membuatku lalai untuk tetap bersyukur pada-Mu.

Seiring gema takbir. Kutulis janji pada diriku dan pada-Mu, Ya Allah.

Teruntuk Ibu Aisyah
“Aku tidak akan pernah melupakan
budi baikmu. Kan kuraih cita-cita teriring doa
yang kau kirimkan. Kelak, aku akan kembali padamu,
mengabdi pada rumah kita. Hingga akhir hayatku.”

Teruntuk Ibu yang tak pernah kutahu
“’Tlah kuikhlaskan segala apa
yang engkau timpakan. ‘Tlah kumaafkan
segala masalah yang engkau berikan.
Kan kureguk airmata agar kelak
menjadi mataair kesejukan bagi anak-anakku
hingga mereka tak merasakan dahaga kasih seorang ibu.”



Hanya Satu


Oleh : Indira Karina

Satu hanya sekali
Satu yang dirindukan
Satu yang dinantikan
Hanya satu, istimewa
Beruntunglah mereka
Berjumpa dengan satu
Takkan ada sia-sia
Laku-laku yang baik

Berusaha dapatkan yang satu
Satu kesempatan
Tak datang dua kali
Dia berikan berlian
Dia berikan emas
Dia berikan yang mahal
Tapi gampang ‘tuk dapatkan
Hanya satu dalam dua belas;
Ramadan

Tips Tilawah Alquran

MEMBACA merupakan aktivitas yang tidak dapat terlepaskan dari dunia kepenulisan. Dengan banyak membaca maka wacana kita menjadi luas. Hal ini menjadi modal utama bagi seorang penulis untuk dapat mengembangkan tulisannya. 
 
Banyak hal yang dapat kita jadikan sebagai bahan bacaan. Bagi FLP Jember membaca Alquran adalah salah satu bacaan wajib anggota, karena FLP sendiri bertujuan melahirkan tulisan-tulisan yang mampu mencerahkan sehingga kita harus banyak membaca sumber-sumber yang banyak memberikan pencerahan, yaitu Alquran. Terlebih bulan Ramadan segera tiba. Kita harus menyiapkan diri menyambut bulan mulia tersebut, salah satunya dengan banyak membaca atau Tilawah Alquran. Berikut adalah beberapa tips agar membaca Alquran lebih menarik:
1.    Hendaknya kita memiliki beberapa Alquran yang berukuran kecil dan yang besar. Hal ini untuk memudahkan saat kita hendak membawanya kemana-mana atau yang besar agar nyaman membaca di rumah. Tetapi saat anggaran terbatas, pilihlah yang paling Anda butuhkan. Jangan menjadikan Alquran sebagai barang pajangan belaka.
2.    Pilihlah Alquran yang telah dilengkapi dengan terjemahan.

3.    Selalu sediakan Alquran di dalam tas agar selalu sempat tilawah di tengah kesibukan kita. Bagi yang memiliki gadget bertipe android atau tablet, ini lebih praktis dan sangat mobile.

4.    Buatlah jadwal rutin harian dimana pada waktu-waktu itu Anda harus membaca Alquran. Banyak yang menyukai tilawah setelah maghrib, pada sepertiga malam terakhir, setelah subuh dll. Terserah kita memilih waktu yang tepat, agar kita menjadi disiplin dan dapat tilawah rutin setiap harinya. Selain itu jangan lupa memilih tempat yang kondusif pula.

5.    Selalu yakin akan banyaknya manfaat dari tilawah karena Alquran adalah kalamullah.

6.    Selalu niatkan ikhlas karena Allah dan ingatlah akan pahala yang Allah janjikan bagi mereka yang membacanya, karena membaca Alquran adalah ibadah terlebih pada bulan Ramadan. Hal ini untuk menumbuhkan semangat dan motivasi kita dalam membaca Alquran.

7.    Perhatikan adab tilawah Alquran, seperti menjaga dari hadas dsb.

8.    Jangan malu belajar, kalau kita memang belum bisa membaca Alquran. Tidak ada kata terlambat dalam kebaikan berapapun usia kita. Man Jadda Wajadda.

9.    Tetap semangat dan jangan lupa selalu berdoa kepada Allah agar tetap diberi semangat.
Selamat mencoba. (Lely)

BBJ, Eksotika Jember yang sesungguhnya

BULAN Berkunjung ke Jember (BBJ) atau lebih popular disebut dengan BBJ, biasa berlangsung di bulan Juli-Agustus. Tapi, untuk tahun 2012 ini, BBJ dipindah di bulan Juni-Juli. Keadaan ini dikarenakan bulan Ramadhan yang akan jatuh di bulan Juli, sehingga ditakutkan akan mengganggu beberapa kegiatan BBJ yang berlangsung disiang hari dan butuh tenaga ekstra.
 
Pembukaan BBJ ini dimulai dari 3 Juni 2012 lalu dengan acara meriah di alun-alun Kota Jember berupa panggung hiburan. Acara ini di buka langsung oleh Bupati Jember Bapak MZA Djalal. Setelah BBJ ini resmi dibuka, serangkaian acara berikutnya sudah menunggu. Sebagian besar dari kegiatan BBJ merupakan acara yang memang untuk menghibur rakyat Jember pada khususnya, dan menjadi daya tarik warga di luar Jember pada umumnya.

Kegiatan pembuka, yaitu Kejuaraan Sepak Bola “Far East Java Cup” yang diadakan di Stadion Notohadi Negoro. Selain kejuaraan sepak bola, BBJ juga mengadakan kejuaraan kasti, lomba karapan sapi, sampai pada kontes nasional ayam dan ayam ketawa juga ada. Untuk pecinta otomotif, BBJ menyediakan event besar seperti Drag Bike, Jambore Honda Tiger nasional, BBJ Adventure Trail Jember, Road Race Yamaha Cup Race 2012” sampai pada pameran otomotif. Pameran otomotif ini berlangsung bersamaan dengan Jember Expo yaitu pada tanggal 22 Juni – 8 Juli.

Dua event besar yang merupakan favorit warga Jember sudah dilaksanakan pada 16 dan 17 Juni 2012. Pada tanggal 16 Juni ini diadakan acara Jember Carnival City (JCC) dan tanggal 17 juni diadakan lomba panjat pinang. Acara JCC ini, merupakan acara fashion carnival yang dilaksanakan oleh siswa-siswa di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Di mana setiap sekolah menampilkan tema yang berbeda. Seperti SMAN 1 Jember menampilkan fashion carnival dengan baju bernuansa Jawa. Dan beberapa sekolah lain menampilkan baju dengan khas daerah lain, seperti Toraja, Bali, Papua dll. Acara ini berlangsung pada Sabtu malam yaitu mulai pukul 19.00 WIB sampai dengan 21.00 WIB. Dengan mengambil rute dari GOR PKPSO Kaliwates menuju Alun-Alun Jember.


Setelah malam hari puas dengan menonton JCC pada hari Minggu warga Jember masih dihibur dengan acara panjat pinang. Alun-Alun Jember dipenuhi dengan pohon pinang lengkap dengan hadiah yang menggiurkan di atasnya. Seperti biasa, kegiatan ini menyita banyak perhatian warga. Selain karena seru, juga ada hadiah menanti jika berhasil memanjatnya.






Acara BBJ ini masih akan berlangsung sampai dengan tanggal 14 Juli 2012. Dengan serangkaian acara yang tidak kalah seru. Kegiatan seperti EXPO Jember dan Jember Shopping Festival masih bisa dinikmati. Serangkaian acara lain juga masih layak untuk dinanti. Apalagi kegiatan pamungkas seperti Jember Fashion Carnaval XI (JFC) dan Tajemtra masih akan berlangsung di awal bulan Juli ini. JFC sendiri akan diadakan pada tanggal 8 Juli 2012, dan Tajemtra akan diadakan pada tanggal 14 Juli 2012 yang sekaligus menjadi kegiatan puncak dari BBJ ini. jadi, jika Anda masih bingung untuk mengisi liburan, berkunjunglah ke Jember dan nikmati pesona yang akan memukau Anda semua. (Rizkiyah)