Bagi
Mbok Mah, pekerjaan itu adalah hobi.
Paling lambat satu jam setelah bangun,
ia akan menjalani pekerjaan itu. Menyiur lebih dulu. Sarapan akan ia lakukan
saat matahari sedikit meninggi.
Para
tetangganya sudah hapal, ada yang cukup mengangguk ketika Mbok Mah menyapa, ada yang lebih dulu menyapa, ada yang menyungging
senyum saja, ada yang mengeluarkan kata-kata serapah pada yang ia anggap
“sampah”, Mbok Mah. Mbok Mah tahu siapa saja mereka. Mereka
adalah orang-orang kaya dari pada dirinya. Jika mereka bukan kaya harta,
kehormatannyalah yang ia jadikan sebagai sumber kekayaan.
Di
setiap subuhnya, lalu lintas di kota kecil itu, tidak begitu padat. Hanya
berjajar beberapa kendaraan saja. Setelah melewati satu lampu merah, Mbok Mah akan sedikit tersenyum lega,
tinggal satu lampu merah lagi yang perlu ia lewati. Susunan kota justru bisa
membuatnya menelusuri gang-gang sempit–pemutus jalan. Hanya sesekali saja ia
berpapasan dengan pengendara motor pedagang keliling. Wajah-wajah mereka tidak
asing.
Tidak
terhitung lagi beberapa langkah, tinggal beberapa depa, ia akan berada pada
tempat pertama ia bekerja, selendang coklat yang warnanya sudah mulai pudar, ia
sampirkan begitu saja pada lehernya. Untuk memperkokoh penampilannya, seperti
biasa, ia akan berdandan di kamar mandi umum. Sedikit ia licinkan lipstik hitam
pada bibirnya. Pada kaca kecil, ia pastikan senyumnya akan masam ketika akan
bertemu para pedagang. Topi lusuh putihnya semakin meyakinkan. Tiba-tiba Mbok Mah menyitir.
“Mbok, tidak perlu melakukan pekerjaan
ini lagi. Aku sudah kaya, sudah bisa menyukupi Mbok.”
Mbok
Mah mengakhiri bisikannya dengan berkedip berulang. Bayangan putri semata
wayangnya berkelebat. Ia kembali mencoba konsentrasi pada penampilannya. Ia
sembunyikan cincin dan gelang pemberian sang menantu. Dimasukkanlah cincin dan
gelang pada saku kanan. Kini uang lima
ribunya mendapat teman.
Mbok
Mah kembali berjalan menuju tempat pertamanya kerja. Satu-persatu toko ia
hampiri, tidak tertinggal tukang dawet, tukang bubur ayam, tukang jual asinan,
penjual tempe sampai pada penjual baju yang sudah buka pagi, tak pernah satupun
terlewatkan. Tidak ada rasa kecewa meskipun penjaga, penjual, maupun pemilik
menolak kedatangannya, atau bahkan akan sedikit
membumbui sumpah serapah. Sama sekali hati Mbok Mah tidak tersakiti. Hanya saja ketika ia berada di depan
penjual jajanan pasar, untuk menunggu keputusan sang penjual, telinganya
mengiang ucapan putrinya lagi.
“Mbok, pekerjaan itu memang halal, tapi
sangat tidak disukai oleh Rosulullah.”
Pikiran
Mbok Mah berputar sejenak,
“Rosulullah pada zamannya tidak sama dengan zaman sekarang.” Hati Mbok Mah bernego. Langkahnya berlanjut,
tanpa peduli teriakan penjual ketan, cenil, dan ampok, ia tanggalkan ucapan
putrinya. Tangannya merogoh saku. Memilah uang lima ribu dari pada cincin dan
gelangnya. Ia mengamati lama, seolah nyawa uang itu tinggal sekejap saja. Mata
hatinya mencoba menahan air mata. Matanya berkaca. Ia mengelap dengan lengan
bajunya. Ia memutuskan duduk di lesehan pasar.
Ada
perempuan berjilbab lebar menggoyah langkah menghampiri Mbok Mah. Mengulurkan uang berwarna biru bergambar I Gusti Ngurah
Rai pada kaleng Mbok Mah. Mbok Mah masih tetap pada posisinya.
Melihat uang lima ribunya yang selalu berganti–yang pasti terselipkan disakunya
setiap hari. Ada getaran hebat pada napas Mbok
Mah. Gadis kecil yang melihatnya merasa iba, tangan mungilnya menarik baju
kemeja sang ayah yang sepertinya tersibukkan oleh telpon. Sang ayah gadis kecil
merogoh saku, ia memberikan lembar sepuluh ribu. Gadis kecil berlari sesaat
menuju Mbok Mah. Menaruh uang itu di kaleng
bekas cat yang sudah berkarat. Telinga Mbo Mah masih teriang penyampaian
putrinya yang ia asuh sendirian sejak kelahiran.
“Seandainya
yang memberi kepada Mbok itu ikhlas
tidak ada masalah, tapi mereka kan butuh laba, Mbok. Misalnya setiap hari ada sepuluh sampai dua puluh
peminta-minta seperti Mbok, berapa
potongan laba mereka perhari, Mbok.”
Ucapan
putrinya benar-benar meretakkan hatinya. Air mata Mbok Mah terleleh oleh cairan lilin. Baginya ini adalah dilema.
“Mbok, dulu aku bisa memahami Mbok. Mbok seperti ini untuk menghidupiku, menyekolahkanku. Sekarang,
kami bisa mencukupi kebutuhan sendiri, bahkan kebutuhan Mbok juga. Aku mohon Mbok,
berhentilah jadi pengemis.”
Iris-irisan
kata putrinya berkali-kali menyedak. Waktunya sarapan telah terlewatkan. Mbok Mah masih dalam kondisi tersedunya.
Banyak orang yang menganggap itu hanya sebuah akting semata. Banyak yang
lainnya menahan hati untuk tidak tertipu oleh pengemis yang tidak menggunakan
alas kaki itu. Lebih banyak yang merasa iba, diulurkanlah uang lembaran pada kaleng
Mbok Mah. Doa-doa yang biasa Mbok Mah lontarkan saat ia menerima
uang, belum ada yang keluar selama ia duduk di teras itu. Mbok Mah tidak lagi memikirkan kedua tempat kerja lainnya.
Hati
Mbok Mah pupus. Selendangnya telah
basah oleh air mata. Tangan kasarnya berulang kali mengeluarkan ingus dari
hidungnya. Beberapa orang-orang yang melihatnya berpikir bahwa Mbok Mah sedang ada masalah, anaknya
sakit, terbelit hutang, atau suaminya dipenjara. Mereka sama sekali tidak
mengganggu kesedihan Mbok Mah,
kecuali mengulurkan beberapa lembar uangnya.
“Pokoknya
kalau aku melihat Mbok menjadi
peminta-minta lagi, aku akan marah. Malu Mbok,
aku sudah kerja, menantu Mbok juga
orang kaya.”
Mbok
Mah sadar, yang ia lakukan adalah anomali, penyimpangan. Menyakitkan. “Lantas,
apakah aku harus berhenti dari pekerjaan ini, Tuhan?” cetus pikirannya. Ia
mulai menelunjukkan kaki yang sedikit kram. Diambillah kaleng lusuhnya. Tanpa
menghitung uang, ia melanjutkan berjalan. Kali ini perjalanannya dipersingkat
dari hari sebelum-sebelumnya.
Tempat
yang dituju Mbok Mah telah terbuka, Mbok Mah mengamati dalam-dalam. Di
belakang pohon, seorang perempuan mengamati dengan awas. Mbok Mah masuk. Perempuan itu ikut masuk.
“Assalamualaikum, Bu.” Sapa petugas
tempat itu dengan rawah dan penuh senyuman.
“waalaikum salam.” Jawab Mbok Mah sambil mengulurkan kalengnya.
Sang petugas menghitung jumlah uang yang diberikan Mbok Mah. “Subhanallah Ibu, hari ini ada empat ratus dua puluh ribu
tujuh ratus rupiah, ini uang lima ribunya, Bu.”
“Tidak
perlu, Nak.”
“Lho,
bukannya Ibu biasanya menyisihkan untuk jaga-jaga sarapan?”
“Tidak
perlu, tolong salurkan uang ini untuk anak-anak yatim ya.” Kata-kata ini pasti Mbok Mah sampaikan setiap hari ketika ia
menyalurkannya pada pihak rumah infaq itu. Kali ini suara Mbok Mah parau. Sang petugas menekan ludah masuk ke dalam
tenggorokan. Sang petugas mencoba menghibur “Wah, hasil Ibu hari ini banyak,
biasanya rata-rata seratus lima puluh ribu perhari, ini hampir tiga kali
lipatnya, lebih pagi pula.”
“Terima
kasih, Nak.” Jawab Mbok Mah sambil
berlalu. Perempuan dibelakangnya mengikuti. Perempuan petugas penjaga masih
terheran. Menggeleng-geleng, dan melanjutkan tugasnya.
“Mbok,” perempuan muda yang membuntuti
Mbok Mah itu memanggil. “Apa tidak cukup uang pemberianku sekalian untuk
berinfak, sampai Mbok rela menjadi
pengemis untuk memberi kepada anak yatim?”
“Bagaimana
bisa cukup, kebutuhan hidup mereka banyak. Sedang kamu memberinya hanya seratus
ribu per bulan. Cukup untuk apa itu?” celetuk Mbok Mah tanpa berhenti berjalan. Otot perempuan yang
bertahun-tahun hidup bersama Mbok Mah
melemas. Teringat pengorbanan Mbok
Mah ketika ia masih kecil. Hidupnya selalu dipahami. Tidak pernah sang ibu
kandungnya itu meremehkan dia. Sama sekali Mbok
Mah tidak membeda-bedakan dia dengan anak tetangga lainnya. Mbok mah merupakan sosok ibu yang penuh
kesabaran dalam mendidiknya. Meski dulu ia pernah mendapat nilai merah, Mbok Mah selalu memberi kesempatan
padanya untuk bangkit. “Sudahlah Nduk, yang tabah. Mbok yakin kamu akan menjadi anak yang membanggakan nantinya
dibanding teman-temanmu yang saat ini naik kelas.” Pesan Mbok Mah ketika mendapatinya menangis karena tidak naik kelas.
“Anak
adalah makhluk luar biasa yang akan mendoakan orang tuanya ketika orang tuanya
meninggal dunia. Nduk, tolong tetaplah mendoakan Mbok, meskipun Mbok sudah
tidak ada di dunia.”
Tiba-tiba
pesan Mbok Mah yang biasanya tidak
pernah melewati lamunannya hadir.
Sementara
perempuan muda itu mengibarkan ketulusan hati Mbok Mah pada nuraninya, diseberang jalan seorang perempuan berusia
tujuh puluh tahunan mencoba bertahan mengusir malaikat maut. Jantungnya
terkepak-kepak. Cincin dan gelang di sakunya telah dibawa lari oleh perampok.
Kaki kiri Mbok Mah terkilir ketika
kakinya mencoba memberontak kepada dua perampok yang tiba-tiba mendatanginya
dan mengkalungkan sabit pada lehernya. Jari kelingkingnya terputus akibat
menekan batu bata di pinggir jalan ketika ia terjatuh. Cairan darah yang
berasal dari lehernya tak bisa disumbat, beradu dengan telinga bekas anting
yang dilepas paksa. Perihnya banyak mendatangkan lingkaran pada bola matanya. Mbok Mah tidak tahu lagi kondisinya
setelah itu.
Wuluhan, 24 Desember 2012
IMSICK
BalasHapusRahasia Terpendam
Fantasi Ngentot
PENIS BESAR MANTAP
Cara Membesarkan Penis
Celana Pembesar Penis
Rahasia Kuat Sex
RAHASIA NGONTOT GRATIS
Rahasia Kencn Gratis
TIPS GAET CEWE
GAET TANTE GIRANG
RAHASIA ML GRATIS
PIN bb 3302FF41