Tubuh tua, dan
kaki yang rapuh itu mulai menapakkan diri di jalan perjuangan, tempat
mempertaruhkan nasib hanya untuk sesuap nasi. Kota Jember nama tempat
harapannya, dan Gladag kembar atau jembata kembar, sebagai salah satu
tujuannya. Ia seorang kakek tua penjual pisang keliling. Namanya Parman,
berusia sekitar enampuluh lima tahun. Bertubuh kurus, sedikit pendek dan biasa
memakai topi yang sudah kumal. Orang yang melewati jembatan tersebut pasti akan
menjumpainya, karena dia satu-satunya pedagang pisang yang memilih jembatan
sebagai ladang rezekinya.
Jembatan padat
dengan kendaraan, panas matahari menyengat, hujan yang terkadang melenyapkan
kesegaran pisang-pisangnya, asap kendaraan yang siap meracuni pernafasaannya,
dan rawannya keamanan lalulintas yang bisa tiap saat mengintai dirinya, tak
membuatnya meninggalkan jembatan itu. Mungkin ada kenangan, atau karena Gladag Kembar
adalah tempat pertama ia jumpai saat kakinya menginjak tanah Jember.
“Pisang, Nak!”
itu yang akan orang dengar tatkala lewat di depannya.
Suaranya yang
serak menjadi cirikas dirinya. Ia tak henti menawarkan pisangnya pada setiap
pejalan kaki yang lewat. Suaranya tak melihat bagaimana keadaan tubuhnya yang
lemah, karena ia terus memaksakan diri untuk menawarkan dagangan yang menjadi
harapan perutnya. Perutnya juga tak memikirkan bagaimana susahnya si kakek telah
berjalan kaki untuk sampai di jembatan tersebut, atau bagaimana jauhnya ia
mendapatkan pisang-pisang itu. perutnya yang egois, atau mungkin kakinya yang
bodoh hingga mau diperbudak perutnya.
“Berapa harga
pisangnya, Pak?” tanya seorag ibu yang kebetulan lewat dan tertarik untuk
membeli.
“Secengkeh lima belas ribu.” jawabnya
“Delapan ribu
ya, Pak?” tawar ibu tersebut sedikit memaksa.
“Sepuluh saja,
Nak.”
“Mahal sekali.”
keluhnya
“Ya sudah,
delapan ribu.”
Kakek itu
mengalah demi pisangnya agar terjual habis, tanpa memikirkan berapa jauh
perjalanan yang harus ia tempuh untuk mendapatkannya. GladagKembar akan menjadi
saksi bagaimana perjuangannya untuk mendapatkan sesuap nasi, untuk memenuhi
perut yang tiap hari membantai fikirannya hingga tubuhnya kurus kering.
Matahari masih
setia menghujamnya dengan panas yang bisa membakar kulit.Apalagi jika berada di
pinggir jembatan besar seperti Gladag Kembar. Kakek itu mulai mengusap keringat
yang sedari tadi memandikan tubuhnya. Ia bertambah lelah saat melihat
pisang-pisangnya masih banyak dan baru terjual satuCengkeh.Namun ia tak beranjak dari duduknya. Ia tetap setia
menunggu pembeli berikutnya.
“Pisang, Nak!”
lagi-lagi kata itu tak lepas darinya.
Asap kendaraan
bermotor siap merusak pernafasannya. Ia batuk-batuk terus menerus hingga sakit
dadanya, namun ia berusaha menguatkan dirinya, karenaia tahu tidak akan ada
yang menolongnya, merawatnya, maupun menjenguknya ketika ia sakit. Iya, karena
ia seorang perantauan yang tak punya sanak saudara. Ia menepuk-nepuk dadanya. Berfikir
batuk itu akan menghilang jika hal itu ia lakukan.
Matahari mulai
sedikit mengurangi panasnya, karena sore mulai menyapa kota Jember, namun tak
ada lagi orang yang mau mendekati pisang-pisang perjuangan itu. Kakek itu masih
setia dengan duduknya, begitupun batuk yang sedikit-sedikit menyakiti
tenggorokannya, dan asap kendaraan mulai menyerang pernafasannya hingga ia
sempat sesak.
“Kok gak payu yo gedange?” keluhnya
dengan bahasa jawa.
Pisang-pisang
itu nampaknya tak mau meninggalkan si
kakek, sehingga ia tetap setia di keranjang tanpa ada lagi yang mau menyentuhnya.
Sedang perutnya mulai berteriak memaksa untuk diisi. Pada akhirnya kakek itu
memakan sebuah pisang yang ia jual untuk menambal mulut si perut yang tidak tahu
diri itu.
Hari tak lagi
mendukung perjuangannya, karena langit sore mulai menampakkan wajahnya, dan
matahari mulai menutup dirinya di balik awan gelap di ufuk barat sana. Kakek
itu tetap setia hingga malam datang. Ia tak beranjak sama sekali, dan
batuk-batuknya masih menghiasi Gladag Kembar malam itu.
Ia mulai tak
mampu menahan batuk yang terus-terusan membantai tenggorokannya, dan
nafasnyapun mulai sesak. Ia berusaha bertahan, namun tubuhnya yang lemah tak
mampu memenuhi keinginan hati dan otaknya. Iapun mengistirahatkan tubuhnya
dengan berbaring di samping keranjang pisang itu. Ia berharap dengan istirahat
batuknya akan segera pergi. Iya, batuknya memang pergi, sekaligus nafasnya.
Itu adalah malam
terakhirnya, perjuangannya, maupun kesetiannya pada Gladag Kembar. Hari-hari
berikutnya tak akan terjumpai penjual pisang di atas jembatan itu lagi, tak
akan terdengar suaranya yang setia menawarkan pisang-pisangnya, maupun suara
kala ia batuk. Kakek tua itu telah pergi, dan meninggalkan bekas perjuangannya
di jembatan bersejarah itu. Gladag Kembar tak memberinya banyak manfaat untuk
pisang-pisangnya, namun setianya kakek tersebut pada Gladag Kembar, membuat ia
memutuskan untuk menghembuskan nafas terakhirnya di atas jembatan tercintanya
itu.
Oleh : Ulin Nurviana
0 komentar:
Posting Komentar