About

Hikmah di Balik Keterpaksaan yang Indah

Sabtu, 17 mei 2000
Awan menggelanyut di langit sore yang kemerah-merahan. Burung-burung terbang munuju sarangnya. Jalan raya tampak ramai dengan sepeda motor yang lalu lalang. Nyala lampu-lampu kendaraan menerangi jalanan yang mulai redup. Debu-debu jalanan beterbangan di sekitar jalan besuki rahmat yang memang berdebu. Jalan tersebut tak begitu ramai karena memang bukan jalur utama di daerah tersebut. Sinar matahari semakin meredup, tergantikan lembayung kegelapan yang datang merangkak meyelimuti sang waktu.
Dari ujung jalan arah menuju jalan raya terlihat seseorang mengendarai sepeda motor.  Ia adalah seorang perempuan berumur 20-an yang mengenakan jaket jeans berwarna biru dan kerudung biru tua yang membalut wajahnya yang cantik. Setalah menempuh jarak sekitar 20-an meter ia menghentikan sepeda motornya di sebelah kanan di seberang jalan. Tangannya merogoh sesuatu dan mengeluarkan secarik kertas. Sejurus kemudian ia menoleh ke rumah yang ada di sebelah kanannya, lalu mengendarainya memasuki halaman rumah tersebut. Di sana terdapat dua rumah yang halamannya menjadi satu. Ia menhampiri pintu rumah yang telah ia amati sedari tadi.

Tok tok tok, assalamu’alaikum”, ujar perempuan itu. Tak lama kemudian terdengar jawaban salam dari dalam rumah. ”Tunggu sebentar”, suara perempuan terdengar dari dalam rumah. Perempuan yang berada di luar masih berdiri di depan pintu. “kriet..”, suara pintu terbuka, muncul seorang ibu-ibu. “Ada apa ya? Ada yang bisa saya bantu?” tanya ibu itu kepada perempuan di depannya. “Begini bu, apa ibu tahu rumah bapak Joko Ponco Hardani? Alamatnya menunjukkan daerah sekitar sini,” tanya perempuan tersebut. “Em… tidak, kayaknya di daerah ini tidak ada yang namanya pak siapa itu?” nadanya meninggi. “Pak Joko Ponco Hardani”, “Iya itu. Tidak ada dik”, “Beliau ini dosen di Universitas Jember bu, apa ibu tahu orang sekitar sini yang menjadi dosen?” tanya nya. “Ya ada, ini tetangga sebelah, tapi namanya bukan pak Joko, tapi pak Lubis,”, “o.. iya, pak Lubis itu bu, di kampus biasa di panggil pak Lubis sama teman-teman, tapi nama aslinyakan pak Joko, jadi saya bilang pak Joko tadi. Dan ternyata di sini juga dikenal dengan pak Lubis juga ternyata, ya sudah bu, terima kasih, mari, assalamu’alaikum”, “Iya, sama-sama, wa’aliakumussalam”, jawab ibu itu seraya saling tersenyum di antara keduanya.
Perempuan yang ternyata mahasiswi itu beranjak menuju rumah sebelah, rumah pak Joko Lubis Santoso alias pak Lubis. Rumah itu dalam keadaan terbuka, dan mahasiswi itu langsung mengucapkan salam dan langsung dijawab oleh pak Lubis. “O, Vivi, silakan masuk,” tukas pak Lubis kepada mahasiswi yang dipanggil Vivi itu. “Terima kasih pak,” jawabnya seraya memasuki rumah tersebut. “Silakan duduk” tukas pak Lubis lalu ia pergi ke belakang menghampiri istrinya. Terlihat ia berbicara sesuatu dengannya.
Sedangkan Vivi telah duduk dan mengeluarkan berkas-berkas dari dalam tasnya. Setelah itu ia  melihat-lihat foto di ruangan 5 x 6 meter persegi itu yang tertata di lemari di samping kirinya. Tak lama kemudian pak Lubis kembali dan duduk di depan Vivi berbataskan meja di depan ke duanya. “Ini pak, untuk yang Bab 2-nya apa masih ada yang perlu direvisi lagi?” tanya Vivi seraya menyerahkan berkas-berkasnya. Pak Lubis mengamati halaman demi halaman lembaran-lembaran itu. Dan nampaknya wajah beliau kurang bersemangat ketika memeriksanya.
Sejurus kemudian. “Permisi pak, assalamu’alaikum,” terdengar suara orang tua dari luar pintu. Pak Lubis pun menaruh kertasnya dan menghampiri suara tersebut. Dan ternyata seorang pengemis tua berpakaian biru keabu-abuan kumuh dan sangat kotor sekali. “Sedekahe pak, paring-paring….” ucap pengemis itu dengan memelas. Pak Lubis pun sudah merogoh sakunya sedari tadi ketika berjalan. “Ini,” tukasnya dengan nada sedikit menyentak dengan harapan pengemis itu segera pergi dari rumahnya.
Namun, pengemis itu tetap saja berdiri di hadapannya. “Ini sungguhan pak?” tanya si pengemis itu sambil melihat uang bertuliskan angka 20.000. “Ia, sudah pergi sana,” usir pak Lubis. Pengemis itu langsung menciumi tangan pak Lubis. “Terima kasih pak, terima kasih” ucap si pengemis. “Eh…, sudah-sudah, pergi sana,” ucap pak Lubis dengan nada jengkel. Sejurus kemudian pak Lubis kembali ke tempat duduknya dan memegang kertasnya kembali.
***
“Em, bagus. Sudah baik, tidak ada yang perlu direvisi lagi,” tukas pak Lubis lalu menyerahkan lembaran kertas yang diserahkan tadi ke Vivi. “Ya sudah pak, terima kasih. Jadi, berikutnya langsung ke Bab 3 ya pak?”, “Ya, Bab 3,”, “Ya sudah kalau gitu pak, saya pamitan dulu,”, “O, ya, silakan.” Vivi memasukkan berkas-berkasnya ke dalam tas kemudian beranjak ke pintu dan Ia cium tangan pak Lubis. “Assalamu’alaikum pak.” “Wa’alaikumussalam.
***
Hari semakin petang, adzan maghrib melantun dengan mendayu-dayu. Pak Lubis berajak menuju ke kamar untuk mengganti celananya dengan sarung. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan uangnya. Ia melihat uangnya hanya lembaran seribuan. Ia terdiam beberapa saat dan mengingat sesuatu. “Astagfirullah…” ia teringat ketika memberikan uang ke pengemis tadi. Ia salah memberikan uang 20.000 ke si pengemis yang seharusnya hanya 1000 rupiah. “Kok iso yo, seng takeno seng rong puluh ewu,” ujarnya dengan nada penyesalan berat.
***
Selama tiga hari tiga malam pak Lubis masih teringat akan hal tersebut. Namun di hari-hari berikutnya ia sudah terlupa karena kesibukan-kesibukan mengajar di kampus.
***
Minggu, 20 Desember 2011
Malam itu seluruh keluarga pak Lubis berkumpul. Ia beserta istri dan tiga anaknya berada di rumah. Meraka sedang asik menonton televisi. Beberapa saat kemudian terdengar suara ketukan pintu. Pak Lubis pun menghapiri pintu dan membukakannya dengan santai. Tiba-tiba sebuah pistol di todongkan oleh seseorang yang memakai tutup wajah. “Angkat tangan. Masuk ke dalam. Semuanya diam, Lubisgan ada yang bicara,” sentak laki-laki badan besar itu.
Sejurus kemudian enam orang lainnya masuk ke dalam. Satu orang menodong keluarga pak Lubis dan menyuruhnya diam di pojok ruangan. ‘Perampok. Ya Allah, selamatkanlah keluargaku ya Allah,’ gumam pak Lubis dalam hatinya. Lalu pak Lubis melihat di luar ada sebauh mobil pick up terparkir dengan tutup belakangnya dalam keadaan terbuka.
Sementara itu lima orang lainnya mengankut barang-barang berharga dari rumah pak Lubis. Mulai dari TV, Handphone, dan barang lainnya, termasuk mobil beserta kontaknya. sebelum pergi perampok itu memutus saluran telephone di rumah itu.
***
Keesokan harinya, polisi, wartawan, tetangga dan saudara-saudara pak Lubis berdatangan ke rumahnya. Pak Lubis diinstrogasi oleh polisi, setelah selesai berganti dengan para wartawan mewawancarainya. Dalam satu hari itu, berita tersebut menyebar luas dengan sangat cepat.
Seluruh teman, mahasiswa dan saudara pak Lubis berdatangan ke rumahnya hari demi hari. Tiga hari berselang kerabat pak Lubis masih ramai berdatangan. Sebagian dari mereka memberikan bantuan, baik finansial ataupun barang.
Pak Lubis sering menangis ketika mengingat kejadian itu. Meskipun seluruh hartanya ludes, ia tetap bersyukur karena nyawanya dan keluarganya masih selamat. Dan hari berikutnya ia kedatangan teman lama dari jauh. Meraka datang bersama keluarganya. Keluarga pak Lubis pun menyambutnya dengan sengan hati.
Uweslah Lubis, gak usah dipikiri maneh. Seng wes kliwat yo wes, diiklasno wae. Masio ngunu yo ora iso mbalek maneh,” Uncap sahabat karibnya itu menasehati. Percakapanpun beralih ke mana-mana, karena memang sudah lama tak bersua.
***
Setalah lama bersua, mereka mengundurkan diri dan berpamitan dengan keluarga pak Lubis. “Iki, keluargaku duwe rejeki sa itik. Mugo-mugo iso mbantu,” ia menyerahkan amplop berwarna coklat kepada pak Lubis. “Kesuwun banget mas,” balas pak Lubis dengan nada terharu. “Yo wes, lek ngunu aku pamitan disek, asslamu’alaikum.” “O, nggeh, wa’alaikumussalam, lek enek waktu mampir mrene maneh.” “Yo, matur kesuwun, monggo.” “Nggeh, moggo,” mereka pun pergi. Dan pak Lubis beserta keluarganya masuk lagi ke dalam rumah.
***
Setelah pak Lubis membuka amplop itu dan mengeluarkannya, ia terkejut sekali melihat uang seratus ribuan yang terbalut bertuliskan 20 juta. “Alhamdulillah, ya Allah” serunya sambil meneterkan air mata dari sudut matanya. Iapun  langsung teringat ketika memberikan uang  20 ribu kepada pengemis sekitar 10 tahun yang lalu. Ketika itu ia mengasikan uang kepada si pengemis dengan hati dongkol. Namun Allah Swt. maha pemurah lagi maha pengasih dan membalasnya dengan seribu kali lipat. Dan ketika malam datang ia menyesal sejadi-jadinya padaNya, Ia meratap akan segala kesalahnnya. Dan Ia berjanji tidak akan marah karena hal seperti itu, dan berusaha menjadi orang yang sebijaksana mungkin. Dan setelah kejadian itu, ia tak ragu lagi memberikan sumbangan kepada orang yang membutuhkan, dan merasa senang akan hal tersebut.
Oleh: M. Syaikhul Umam*
PP. Al-Qodiri 1 Jember

0 komentar:

Posting Komentar