Langit
menyulam awan mendung dengan guratan-guratan bermuka muram. Angin bertiup
kencang sampai dahan pohon depan rumah berguncang, daun-daunnya menerpa jendela
kamar sampai berisik. Berulangkali Lastri memanggil anaknya Nis dengan suara
tipis yang nyaris karam tertelan hujan.
Sore
itu Lastri ketakutan. Petir yang meledak-ledak membuatnya seringkali terkejut.
Belum lagi suara bergemerusuk dari daun yang menyetubuhi kaca jendela kamarnya.
Nafasnya sesak tercekat di tenggorokan. Tubuhnya menggigil kedinginan. Hanya tangan
Lastri yang masih memilin butiran tasbih sembari berdzikir.
Hampir
seminggu ini Lastri terkapar di tempat tidurnya. Entah bagaimana ceritanya,
yang jelas Lastri mendadak sakit dan kondisi tubuhnya makin menurun setelah Nis
mengirimkan sepucuk surat untuk Lastri. Setelah itu Lastri banyak mengurung
diri, tidak terlalu banyak berbincang dengan Nis.
Lastri
merasakan kesepian diantara gericik hujan. Langit semakin gelap. Terbesit dalam
pikiran Lastri untuk bertemu Nis. Berulangkali Nis dipanggil, tapi tidak ada balasan.
Ketika nafasnya semakin pendek, Lastri masih sulit terpejam. Sakit disekujur
tubuhnya semakin menjadi, seperti tersayat belati. Matanya mulai sayu. Lemah.
Dan mengatup dengan sepucuk senyum cantik bak sabit di malam bergemintang.
***
Lastri membesarkan anaknya sendiri, suaminya meninggal
saat usia Nis sepuluh tahun. Kasihan Lastri, hampir setiap hari ia tidak bisa
meluangkan waktu dengan anaknya. Setiap pagi Lastri hanya memiliki kesempatan
sedikit sekali untuk mempersiapkan makan pagi Nis. Hanya sesekali Lastri bisa
merasakan makan pagi bersama Nis, kalau ia sudah bangun dari tidurnya.
Entah
mengapa Lastri begitu mencintai Nis. Pernah sewaktu kecil, Nis menancapkan
sebatang sendok makan ke telinga Lastri. Seketika itu juga ia merintih
kesakitan memegang telinga kirinya yang berlumuran darah. Nis juga hampir tidak
pernah dimarahi ibunya, terlebih sampai membentaknya. Mungkin karena Nis
memiliki sifat yang hampir mirip dengan ayahnya.
Setelah
tumbuh menjadi remaja, Nis merasakan ibunya terlalu banyak mengatur. Lastri
meminta Nis untuk memakai kerudung, mengenakan pakaian panjang hingga lengan
dan kakinya tertutup, tapi Nis menolak. Pun demikian dengan teman bergaul Nis
yang membuat Lastri sedikit bersikap keras. Berulangkali Lastri terganggu
ketika teman-teman Nis tertawa terbahak, sekalipun hari sudah malam.
Lastri
berlagak mondar-mandir, menguping pembicaraan mereka sembari berdehem.
“Nis,
sudah jam berapa ini? Sudah malam kan?”
Setelah
kejadian malam itu, rumah Nis tidak lagi gaduh seperti biasanya. Tidak ada lagi
yang tertawa sampai membuat Lastri tidak nyaman dengan tetangga. Tapi Nis
semakin menjauhinya.
***
Dua
bulan lalu, ketika melihat Nis menikmati secangkir teh hangat di ruang tamu
bersama Dar, Lastri memanggilnya. Dar adalah lelaki yang begitu dekat dengan
Nis. Setiap pagi lelaki itu menjemput Nis berangkat sekolah, pun demikian
ketika pulang. Rumah mereka berdua memang sejalan, sehingga seringkali mereka
nampak bersama.
Ada sesuatu yang mengganjal
dan memaksa Lastri memanggil anaknya. Nis menghampirinya dengan mimik kesal,
seakan sudah tahu tujuan ibu memanggilnya. Ia yakin ibunya akan bertanya banyak
tentang Dar; apa maksud kedatangannya, mengapa juga ia datang seorang diri dan
ada keperluan apa. Siang itu Lastri gelisah.
“Duduklah dulu Nis, ibu
mau bicara sebentar.”
“Ibu ingin membicarakan
apa, nanti saja kan bisa, Bu?” Nis tetap berdiri. “Perihal laki-laki itu yang
ingin ibu tanyakan?”
Lastri
terdiam beberapa saat mendengar ucapa Nis.
“Ibu
malu, Nis. Sebenarnya ibu tidak suka setiap Dar menghampirimu. Apa kata
tetangga nanti.”
“Malu
kenapa, Bu?” Nis semakin kesal. “Ibu berpikir aku berbuat macam-macam?”
“Bukan
begitu maksud ibu. Coba kau pikir, buat apa dia datang kemari? Dia itu
laki-laki Nis.”
“Jadi
ibu tidak suka?” Ucapan Nis meninggi. Lastri terdiam.
Dar
gelisah, berulangkali pandangannya menyelidik ke dalam ruang tengah. Sekejap
kemudian ia menghilang dari ruang tamu, ada perasaan yang berkecamuk di dadanya.
Nis menatap kedua mata Lastri yang mulai basah, setelah ia tahu Dar tidak lagi
ada di ruang tamu.
Setelah
kejadian itu, Nis mengurung diri. Ia menulis selembar surat tentang
kekesalannya dan tidak lagi banyak bicara dengan Lastri. Membaca surat dari
anaknya, Lastri merasa sakit. Ia hanya meremas dada kirinya nyeri. Air matanya
menetes jatuh diatas surat Nis. Lastri tidak lagi kuat menahan maksud anaknya.
Kini wanita itu tidak lagi berkomentar banyak saat teman-teman Nis datang dan
tertawa lebar sampai larut malam. Pun ia membiarkan Dar menemui Nis
berulangkali. Hanya saja, ketika lelaki itu datang menemui anaknya, Lastri
masuk ke kamar. Kemudian sayup-sayup akan terdengar tangis tertahan, supaya Nis
tidak mendengarnya.
***
Nis
masih larut dalam kebahagiaan. Sore itu ia menghabiskan waktu bersama Dar
menikmati sepotong senja yang anggun, ditemani secangkir cappuccino dan
brownies coklat kesukaannya. Dari pengeras suara kedai bambu itu, terdengar
suara Shanice mengalunkan tembang loving
you. Muka Nis memerah.
Diantara
perasaan bahagia Nis sore itu, ia merasakan rindu kepada ibunya setelah
beberapa hari ini tidak pulang. Nis banyak menghabiskan waktu bersama Dar dan
beberapa teman sekolahnya.
Nis
merajut rindu yang sia-sia. Bersamaan dengan gericik hujan sore itu, ibunya
membuka kembali surat dari Nis. Surat yang dua bulan lalu dibuat dengan penuh
kebencian. Lastri meringis menahan sakit. Nafasnya semakin pendek. Perih
disekujur tubuhnya makin menjadi, seperti tersayat belati. Matanya sayu. Lemah.
Dan terpejam bersama sepucuk senyum cantik bak sabit di malam bergemintang.
oleh : Syahrizal Bachtiar
0 komentar:
Posting Komentar