Soekarno,
Soeharto, Susilo Bambang Yudoyono, katanya huruf awal dari S adalah orang yang
bisa menjabat lama. Buktinya Presiden pertama Indonesia, Soekarno, telah
memimpin Indonesia sampai beberapa tahun. Setelah wafatnya, beliau mesih
menjabat dihati masyarakat. Bukan hanya lukisan saja, melainkan terdapat pula
patung dengan ukuran besar di halaman Pemakaman dan Musium Soekarno. Setiap
hari banyak yang bertakjiah. Para penyelawat akan menikmati menawannya musium
ini.
Sepanjang
sejarah, nama Soeharto adalah nama yang juga melegenda di Indonesia. Telah
menjadi orang pertama terlama di Indonesia. Ketika wafatnyapun mayoritas
masyarakat kecil rela turun ke jalan-jalan menuju ke pemakaman demi rasa hormat
pada mantan pimpinan mereka itu. Tidak ayal lagi, Soeharto tak pernah mati di
hati rakyat-rakyat kecilnya.
Susilo
Bambang Yudoyono, siapa yang tak kenal dengan nama ini, biasa disebut SBY.
Seluruh politikus duniapun pasti tahu dengan laki-laki dengan postur tubuh
gagah berani ini. SBY terpilih pada pemilu kada dua periode berturut-turut
sekaligus.
Yang
akan saya ceritakan kepada kalian adalah Soemad. Nama yang sama-sama memiliki
inisial S. Apakah nasib Soemad seperti mereka? Manusia memang tokoh yang
menjalankan peran sempurna dari Sutradara hidup.
Entahlah
Soemad mendapat peran seperti apa dalam hidupnya, peran utama seperti para
presiden atau peran sampingan saja seperti para supir presiden yang hanya
dibutuhkan ketika presiden akan menjalankan agenda?
Soemad
bergelagak dihadapan saya sore itu. Dia duduk di teras rumah kami yang berada
di salah satu gang di desa Tanjungrejo. Skuternya diparkir di bawah pohon
jambu. Sesekali dia bersiul. Dikeluarkanlah satu bungkus rokok murahan. Ia tak
segera menghidupkannya, dua jarinya melumat-lumat saja.
“Mungkin
tidak membawa korek.” Pikir saya ketika saya awasi dari dalam rumah melalui jendela
kaca. Saya ke luar membawa korek. Saya sodorkan kepada Soemad.
“Maturnuwun.” Ucapnya untuk mengungkap
rasa terima kasih.
“Hebat
ya, keramiknya dari pualam, marmer, temaram, rapi, bersih, terkesan apik. Mas
ini pinter mencari rizki.”
“Terima
kasih, Kang Soemad.”
Usianya
berkisar tiga puluh tahun, tapi wajahnya yang sepuluh tahun lebih tua
menjadikan saya memilih memanggilnya dengan nama Kang Soemad, hitung-hitung ini
adalah cara saya menghargai orang yang lebih muda. Tidak ada salahnya bukan?
Saya pun ketika dipanggil Mas, akan merasa disegani meskipun usia saya lebih
muda dibanding yang memanggil saya.
Soemad
tetap melumat-lumat rokok dengan dua jarinya. Jika tadi jari telunjuk dan ibu
jari, sekarang ibu jari dan jari tengah.
“Kemarin
di Terminal Tawang Alun ada tabrakan bus, Mas. Ada satu motor juga yang terkena
ekor bus. Lhah, yang meninggal lebih
dari sepuluh. Hum, orang-orang pada menutup mata. Tapi aku tidak, aku langsung
menolong. Aku tidak takut pada darah. Padahal waktu kami gotong dia, kepalanya
bocor. Darahnya menetes-tetes ditanganku. Tapi untungnya Mas, di tangannya ada
perhiasannya, hehe sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Tapi tidak Mas,
aku tetap membantu korban yang ada di dalam bus itu. Ngeri Mas, banyak orang
histeris menyaksikan. Hem, hidup itu memang begitu ya Mas, maut datang tidak
bisa direncanakan, tidak pula bisa dipesan. Makanya menurut Haji Sutadji, kalau
mau ke luar rumah, harus diniati yang baik. Kalau tiba-tiba terjadi kecelakaan
seperti itu, matinya dalam keadaan baik. Kan betul begitu ya, Mas?”
Aku
menoleh padanya sesaat sebelum kuputuskan menunduk lagi, dan Soemad memutuskna
kembali bercerita.
“Cuma
kadang kita sering lupa meniatkan sesuatu. Aku sendiri buktinya, ke sini tadi
tidak niat apa-apa. Padahal kalau diniati menjalin persaudaraan, pasti bernilai
lebih ya, Mas?”
Konsentrasiku
pudar. Aku menoleh kepada perempuan yang membawakan cemilan untuk kami.
Entahlah istri yang baru kunikahi empat bulan lalu sering merasa iba kepada Soemad.
Kadang-kadang ia meminta Soemad datang hanya sekedar menyuruhnya membeli udang.
Sebagai imbalan diberikanlah satu piring makan untuk Soemad. Intinya istriku
lebih suka memberi Soemad makan setelah sedikit menyuruhnya, supaya tidak
terkesan hanya memberi saja, kata istriku suatu ketika. Tidak lama setelah
makan, Soemad pulang.
Sepertinya
berbeda dengan hari ini, Soemad terus menikmati suguhan dan tak pulanng-pulang.
Ia menceritakan perjuangannya saat menghajar perampok pesanan. Ia mencoba
menceritakan secara seru, hal-hal yang seru yang ia alami.
“Aku
itu Mas, waktu transmigrasi di daerah kulonan, aku pernah menolong jenazah anak
laki-laki yang tertabrak kereta.”
Mata
saya berpendar-pendar.
“Aku
benar-benar melihat sendiri Mas, anak itu mau menyebrang rel dari arah pintu
kecil. Sangat jelas aku melihat anak itu sangat was-was, memutuskan akan menyeberang
atau menunggu kereta lewat. Hasilnya dia tetap berada di sebelah rel. Posisi
rodanya sedikit masih di rel. Muncratlah badannya. Sepedanya berkeping-keping.
Seluruh orang yang menyaksikan berteriak bungkam. Akulah satu-satunya orang
yang mengumpulkan tangan, kaki, kepala, yang sudah tak berleher. Tubuh anak itu
terpantul sampai sepuluh meter ke luar dari rel. Sedikit tidak berbentuk.
Tangan kiri dan tangan kanannya benar-benar terpisah. Yang lebih ngeri lagi,
kepalanya menyangkut di pohon jambu dekat rel. Wah tanganku benar-benar
berlumur darah.”
“Orang-orang
bagaimana, Kang?” tanya saya. Soemad masih mencoba menikmati cemilan di
sela-sela ceritanya.
“Orang-orang
tetap membisu. Banyak yang menangis, bertakbir, sementara beberapa menit
kemudian, mobil kepolisian datang, disusul ambulan, petugas kereta cepat-cepat
berada di sana juga. Wah, banyak wartawan. Aku mau diwawancarai, tapi aku tidak
mau.”
“Kenapa
ditolak, Kang?”
“Biarlah
Mas, aku tidak mau hidup sombong. Sombong bisa menjauhkan diri dari Tuhan.
Sebenarnya tidak ada yang mau jauh dari Tuhan, tapi rasa sombong terkadang
lebih besar dari pada rasa ingin dekat dengan Tuhan.”
“Memang
dari petugas kereta api tidak diberi apa-apa, Kang?”
Tanya
istri saya yang tiba-tiba muncul dari rumah. Di tangannya terbawalah dua
cangkir kopi.
“Wah,
banyak Mbak Sumi.” Terang Soemad bersemangat. Tubuhnya semakin diulurkan tegak.
Ruas gerahamnya mengangkat.
“Sebenarnya
aku diberi penghargaan oleh utusan kereta api itu, yah, lagi-lagi aku
tidak mau Mbak, aku butuh hadiah dari
Tuhan saja lah.”
“Sebenarnya
apa tujuan Kang Soemad kalau begitu?” aku menyela karena geregetan.
“Sebenarnya
aku ingin jadi presiden, Mas. Tapi tidak mungkin. Paling tidak aku ingin jadi
kepala desa seperti Pak sugeng, tapi tidak mungkin bisa juga. Bapak dan si
mbokku dulu memang pengen aku jadi kepala desa makanya aku dinamai Soemad,
tulisannya S-O-E-M-A-D, karena dulu nama kepala desa kita Soemadi.”
“Hahaha...”
Kammi tertawa reflek.
Apa kaitannya
dengan menolong orang? Pikir saya, saya yakin
istri saya juga berpikir demikian.
Setelah
beberapa cerita lainnya tersampaikan, Soemad berpamitan. Entah ceritanya yang
telah habis atau karena kopi dan cemilan telah lenyap. Tetapi suatu hari
pekerja kebunku bercerita tentang Soemad. Soemad mendapat penghargaan dari kepala desa kami.
Pekerja kebunku benar-benar yakin bahwa yang dilihatnya di depan kantor Kepala
Desa adalah Soemad. Seperti biasa memakai kaos berwarna abu-abu, sedikit
terdapat lubang rokok dibagian dada. Ketika istriku tanya penghargaan apa,
pegawai kebunku menjawab, Soemad telah menemukan jenazah anak kepala desa yang
terdampar di Kali Gumuk Asem. Pembantu kepala desalah yang seharusnya
bertanggung jawab penuh. Tapi somad benar-benar telah menjadi wahlawan bagi
kepala desa.
“Wah
berkat keberaniannya, Soemad dapat penghaargaan dari kepala desa langsung
setelah tujuh hari meninggalnya putra Pak kepala desa itu.”
“Kang
Soemad menerima penghargaan itu, Kang?” tanya istri saya antusias.
“Jelas
Bu, siapa yang tidak mau. Soemad jadi orang kaya sekarang. Dapat dua dus gula
pasir, dua dus minyak goreng, dan enam sak beras.”
“Katanya
tidak butuh, takut sombong.” Bisik istri saya ditelinga saya, pelan. Saya
tersenyum. Tidak lama dari bincang-bincang, Soemad datang mengayuh becak yang
pasti dari pinjaman. Barang-barang yang diangkut roda tiga itu diturunkan di
teras kami. Saya dan istri bengong.
“Untuk
apa itu, Mad?” tanya pekerja kebunku mewakili ketidak sabaran kami. Soemad
diam. Sampai selesainya menurunkan barang.
“Penghargaan
ini untuk Mas Sulton dan Mbak Sumi.” Katanya Soemad. Nafasnya tidak teratur.
“Kenapa,
Kang? Bukannya yang seharusnya menerima memang Kang Soemad?” kelakar istri saya.
“Tidak
Mbak, selama ini saya sudah banyak makan dari hasil kerja keras Mas Sulton dan
Mbak Sumi. Mas Sulton dan Mbak Sumi juga orang yang selalu percaya pada cerita
saya. Tolong jangan ditolak Mas, Mbak, memang tidaklah cukup mengganti, tapi
setidaknya aku bisa berbagi sedikit.”
“Kang,
selama ini kami ikhlas.”
“Aku
juga ikhlas Mbak. Izinkan aku menikmati indahnya berbagi, seperti yang
dirasakan Mas Sulton dan Mbak Sumi selama ini.”
Istri
saya akan mengeluarkan suara lagi. Saya menarik lengannya.
“Terima
kasih, Kang Soemad. Semoga keikhlasan Kang Soemad ini jadi berkah.”
“Amin.
Terima kasih kembali, Mas.”
Soemad
kembali mengayuh becak. Dibelakang tempat duduk becak yang dinaiki Soemad ada
hiasan lima jari yang bisa berayun
kekanan dan kekiri. Saya dan
istri menggeleng kepala. Saya tahu istri saya sebenarnya ingin berkata-kata.
Untuk menentramkan hati masing-masing, kami memutuskan diam saja.
Wuluhan, 1 Januari 2013
IMSICX
penggunaan partikel "pun" (bener nggak sih istilahnya? v^^) itu yang bener gimana ya?
BalasHapusyang aku tahu penulisan "pun" yang digabung itu apapun, walaupun...
kalau (misal dalam cerpen ini) wafatnyapun, seharusnya wafatnya pun.
bener gitu nggak? :)