About

JA’I MALING KELAPA


Tidak ada orang yang benar-benar baik di zaman ini. Jika bukan bagian dari orang-orang yang menyakiti, pasti kita bagian orang yang yang suka memikirkan orang yang suka menyakiti. Namanya juga waspada. Tapi coba pertimbangkan lagi, apakah waspada yang kita maksud itu bukan curiga?
Maling teriak maling, banyak. Maling menuduh orang lain maling, banyak. Maling yang diam, padahal sudah banyak yang sudah menjadi korban, banyak. Tapi maling yang satu ini adalah maling yang aneh dibanding maling-maling itu.

Sebut saja namanya Ja’i. Usianya 47 tahun. Tidak sulit menggambarkan orang ini, sedikit bungkuk, dengan tinggi 166 cm. Ja’i tak pernah merasakan berat badan ideal. Rata-rata berat badannya tidak jauh dari 40 km, berat badan paling maximal adalah 45 km. Usia yang belum genap setengah abad itu, kepalanya hampir tidak menyisakan rambut hitam. Uban mendominasi kepalanya.
Nah, maling, Ja’i yang saya ceritakan ini suka maling kelapa. Kalau di desanya ada yang kehilangan kelapa, satu-satunya tersangka adalah Ja’i. Sebenarnya Ja’i tidak suka menjadi maling yang handal, karena hati nuraninya tidak bisa berbohong. Maka kalau dia menjelma menjadi maling, dia akan memanjat pohon  kelapa. Satu buah kelapa saja sudah cukup. Dibawalah kelapa itu pulang. Istrinyalah yang akan mengolah.
Nah, kalau satu kelapa itu sudah habis, Ja’i  akan menjelma menjadi maling lagi. Ja’i tidak akan menjadi maling kelapa yang sudah dipetik. Hati nuraninya tidak bisa dibohongi, orang lain sudah bersusah mengambilnya. Maka Ja’i akan memanjat pohon kelapa. Cukup satu buah, lantas ia turun.  Toh bagi Ja’i, rizki itu perlu pengorbanan.
Hamir semua pohon kelapa diseluruh desanya, pernah Ja’i panjat. Kalau ketahuan si empunya, dia akan bilang “Saya ini maling kelapa, Pak”. Dan si empunya diam saja. Jika kepergok, Ja’i tidak pernah menyangkal dengan berkata “Saya cuma minta kelapa satu, Pak. Tidak lebih.” Karena jika Ja’i mengatakan itu, sama saja ia akan membunuh dirinya. Dulu, awal-awal pekerjaan maling kelapa disandang Ja’i, Ja’i pernah menjawab seperti itu. Justru si empunya marah besar. “Dasar tidak bisa mikir. Kelapa itu dijual. Bukan untuk diberikan. Minta-minta. Enak sekali minta! Kalau sekarang boleh minta, besok minta lagi.”
Sebenarnya hati nurani Ja’i sering geli, apakah orang-orang butuh kejujuran, meskipun kejujuran itu menyakitkan dari pada kebohongan? Manusia sesungguhnya memang tidak bisa ditipu. Buktinya ketika Ja’i berbicara jujur bahwa dia adalah maling, orang lain akan memahami.
Sayangnya, profesi maling tidak selalu mulus. Konflik terjadi ketika Ja’i menjelma menjadi maling di rumah mantan kepala desa. Usia mantan kepala desa itu sudah tidak bisa dikatakan tua, tetapi tua sekali, usianya mencapai 103 tahun. Mantan kades ini masih gemar berbicara, gemar makan, gemar berjalan-jalan, dan banyak kegemara lainnya, kecuali lemah mengingat. Tepat ketika mantan kades itu berjalan-jalan di belakang rumahnya, ia melihat Ja’i turun dari panjatan salah satu pohon kelapa miliknya. Mantan kades itu berteriak riuh. Anak yang semua berdomisili di luar kota yang kebetulan menginap di rumah ayahnya itu ke  luar rumah. Tergopoh menghampiri mantan kepala desa itu.
Ja’i sengaja tidak menyelamatkan diri. Dengan tenang dia bilang, “Saya ini maling, Mas.”
“O... tidak apa-apa Pak, Cuma mengambil satu, kan?” tanya anak pertama mantan kades.
“Wah, kalau tidak ketahuan ayah, pasti sudah sepuluh yang diambil.” Tangkas anak ke enam.
“Makanya rumah kita sering kemalingan. Apa yang selama ini jadi maling itu kamu juga?” tanya mantan kades itu. Belum juga Ja’i menjawab, anak ke tiga ikut berkomentar.
“Mana ada maling ngaku, Yah?
“Kita hajar dia.” Anak ke enam mengambil langkah.
“Jangan Dik, kita bawa ke kantor polisi saja. Kita tidak boleh main hakim sendiri.” Menantu mantan kepala desa mengingatkan.
“Saya kira, kita lupakan sajalah kejadian ini.” Anak ke dua mantan kepala desa mengutamakan perasaannya.
“Jangan begitu Mbak, kita harus waspada untuk kejadian berikutnya.”
Usut-mengusut, usulan yang paling menang, Ja’i dibawa ke kantor polisi. Tidak perlu ada masyarakat yang tahu tentang maling ini. Keluarga mantan kades takut masyarakat gelisah akan kejadian tersebut. Ja’i rikuh. Tapi Ja’i tetap tidak mencoba berlari.
Ja’i menaiki mobil Xenia milik anak pertama mantan kepala desa. Yang lain mengikuti menggunakan mobilnya sendiri-sendiri. Terhitung enam mobil yang membawa Ja’i ke Kantor Polisi. Setiap mobil diisi keluarga kecilnya masing-masing. Mereka ingin menjadi bagian bukti kemalingan itu. Di kantor Polisi, mantan kades yang terkenal bijaksana pada masa kepemimpinannya itu, disambut dengan baik oleh pihak kepolisian. Kantor Polisi penuh. Riuh. Setiap polisi menyalami dan disalami oleh seluruh keluarga mantan kepala desa. Sedang Ja’i yang ditangannya membawa satu buah kelapa hasil jelmaannya menjadi maling,  banyak menghembuskan nafas kuat-kuat. Mengingat anak laki-laki satu-satunya yang tidak punya akal di rumah. Anak yang suka sekali dengan santan atau segala makanan yang terbuat dari kelapa. Anak yang siap menghabiskna satu kelapa dalam satu hari. Ja’i menitihkan air mata, satu butir saja. Ia usap.
Didudukkanlah Ja’i di kursi pihak polisi yang menangani. Ja’i menunduk. Sesuai dengan prosedur pertanyaan, Ja’i menjawabnya dengan jujur.
“Kamu mencuri apa?” tanya polisi yang bertugas.
“Mencuri kelapa, Pak. Hampir setiap hari saya mencuri.”
“Yang setiap hari kamu curi itu apa?”
“Satu kelapa, Pak.”
“Maksudnya kamu mencuri satu kelapa setiap hari?”
“Iya, Pak. Meskipun hujan lebat, saya akan mencuri satu kelapa setiap hari.”
“Untuk apa kamu mencuri kelapa?”
“Untuk dimakan, Pak.”
“Apa tidak bosan makan satu buah kelapa setiap hari?”
Pertanyaa itu menjadikan kantor polisi hiruk dengan tertawa.
“Saya juga heran, kenapa tidak pernah bosan, Pak.”
“Memang satu kelapa setiap hari itu untuk siapa saja?”
“untuk anak saya di rumah. Dia suka sekali kelapa.”
“Kenapa harus mencuri?”
Kali ini Ja’i memilih diam.
“Jawab!” Polisi membentak.
Pertanyaan yang tidak mungkin Ja’i jawab.
“Saudara Ja’i, mengapa Anda mencuri? Polisi membentak lagi.
“Pertanyaan saya ulangi lagi, mengapa saudara Ja’i mencuri?” bentakan selanjutnya. Polisi memang bertugas menyelidiki, menangkap maling, seperti Ja’i, mengayomi masyarakat, tapi polisi bukan spikiater, yang paham akan spikologi orang. Ja’i paham itu.
Tapi bentakan yang ke empat kalinya justru bukan dijawab oleh Ja’i.
“Karena Ja’i tidak punya uang untuk membeli satu buah kelapa per hari. Dia punya anak laki-laki gila di rumahnya yang suka sekali kelapa. Setiap hari anaknya itu minta kelapa. Jika tidak dituruti dia akan mengamuk. Anak laki-laki gila itu adalah anak Ja’i satu-satunya.” Suara itu keluar dari mulut mantan kepala desa. Seluruh mata orang terpusat pada laki-laki tertua di situ. Mata anak perempuan  mantan kepala desa itu menemani Ja’i meneteskan air mata. Ja’i bisa saja menahan air matanya keluar senyampang tidak ada kaitannya dengan anak laki-laki satu-satunya yang gila. Ketika hati nurani Ja’i tersentuh atas anak laki-laki yang selama hidupnya menjadi beban Ja’i maka air mata Ja’i siap meruah; seperti halnya saat itu. Air mata Ja’i menjadikan banyak cucu dan beberapa anak mantan Kepala desa memutuskan menghentikan kasusnya.
“Tapi jangan-jangan Ayah mengarang. Bukankah ayah pikun?” anak ke enam mantan Kepala desa bersikeras. Pendapatnya didukung oleh anak ke lima mantan Kepala desa.
“Sudah-sudah! Ayah tidak pernah pikun. Lepaskan Ja’i! Ja’i tidak bersalah.” Mantan kades itu berbicara tegas. Seperti halnya selama ini anak mantan Kepala desa akan diam dengan keputusan ayahnya yang tidak bisa dibantah.
Kasus Ja’i ditutup. Ke luar dari Kantor Polisi, Ja’i menyempatkan kesempatan sempit itu untuk menyalami mantan kepala desa. “Terima kasih, Pak. Maturnuwun.”
“Terima kasih untuk apa? Kamu itu siapa?” Mantan kepala desa kembali pikun. Ja’i mlongo.
“Itu kan, jangan-jangan yang disampaikan ayah tadi salah, Mas.” Istri anak ke enam mantan Kepala desa menaruh curiga.
“Iya, kita harus waspada.” Anak ke lima mantan Kepala desa meyakinkan.
Ja’i hanya bisa menarik napas panjang. Ada rasa menyesal telah menyalami mantan Kepala desa. Waktu tak bisa dikembalikan. Ja’i sadar, ia telah bermain-main dengan mautnya sendiri.

IMSICX
Wuluhan, 7 Januari 2013

0 komentar:

Posting Komentar