Mario Teguh adalah seorang muslim yang menjadi
motivator dan konsultan bisnis dan kepribadian asal Indonesia. Agama Mario
Teguh adalah Islam. Bagi yang menganggap bahwa Mario Teguh kristen, Anda salah
besar! Ya, Mario teguh beragama Islam. Beliau menjadi motivator tanpa
menyinggung agama tertentu dan bisa merangkul semua kalangan. Mari kita simak
kisah hidup Pak Mario!
Perlukah Mengeluh?
Tidak
bisa dipungkiri, makhluk yang namanya manusia pasti pernah mengeluh. Disadari atau tidak, mengeluh sepertinya
sudah menjadi bagian dari hidup. Hanya
saja, frekuensi dan kualitas keluhannya yang membedakan antara satu personal dengan
personal lainnya. Biasanya perbedaan ini
terkait dengan tingkat pemahaman dan cara pandang seseorang tentang suatu
masalah yang sedang ia hadapi. Sabar,
ikhlas dan seberapa besar keinginan untuk merubah sebuah keadaan menjadi lebih baik, biasanya akan
meminimalisir keluhan. Sebaliknya pesimis dan berburuksangka terhadap kejadian
yang sedang menimpa secara otomatis akan memunculkan keluhan-keluhan yang
alih-alih mendapatkan penyelesaian, malah akan menambah ruwet dan bisa jadi
menambah masalah baru.
PENYESALAN
Angin malam berhembus kencang menerjang lapisan kulit
setiap insan yang merasakan meski rembulan tampil dengan bulat sempurna
meski bintang-bintang terang benderang menghiasi malam, namun pemandangan
tersebut tak turut menghibur hati Tono yang sedang padam bagai tersiram air
yang deras.
Tono adalah seorang pria yang sudah berkepala empat
akan tetapi satu persatu dari empat anaknya pergi meninggalkan Tono dan
istrinya, mereka tidak tahan dengan kondisi ekonomi keluarganya.
HILANG ARAH
Gelisah itu
datang..tanpa pernah tahu harus diapakan
Menggelayut…menggantung
diantara debu asa yang mulai bertebaran tanpa terencana
Dan sepipun
mulai memaksa…mencari celah untuk berkuasa
Pada batin
yang mulai tak percaya akan harap yang dulu sempat bermuara
Kemana arah
harus dituju?
Saat mata
angin tak lagi bisa terbaca maknanya
Jejak usang
di atas pasir itupun mulai hilang…terterpa angin, tak berbekas
Lalu kemana
lagi kaki ini harus berjalan?
BECAUSE I LOVE YOU
Tahu gak hal apa yang paling banyak dibicarakan lagu? Tahu gak hal apa yang
paling sering dibicarakan film dan sinetron? Tahun gak hal apa yang sering
dibicarakan novel-novel? Ya, jawabnya sama cinta. Dan di sini kita bicara
tentang ‘because I loveYou.’
Banyak orang yang cinta terhadap orang lain namun sulit untuk
mengungkapkannya. Terkadang, tindakannya itu disangka berlebihan. Ya, memang
sih, namanya cinta harus ada yang berlebihan dan tidak logis. Tapi, seharusnya
kita belajar dulu bagaimana mengungkapkan kecintaan kita terhadap orang-orang
di sekitar kita. Jadi, berawal dari kata ini, jika kita belaku tegas dan keras
terhadap orang lain karena cinta kita, iringilah denganperkataan‘I do thisbecause,
I loveyou.’
Hal yang perlu kita dipelajari adalah bagaimana kita‘menggunakan’ cinta
itu. Karena banyak orang membunuh yang dicintainya karena kecintaannya padanya.
Misal ni ya, kita kasikan itik ke seorang anak berusia satu setengah tahun.
Bayangkan apa yang akan terjadi. Anak itu akan menggenggam itik itu erat-erat dengan
kedua tangannya, karena takut itik itu lepas. Dan juga bisa dibayangkan,gimanatu
anak itiknya. Jadi, hati-hatilah.
Si Adik yang Lugu
“Kak, ngapain sih di situ? Kok
kayak ngumpet-ngumpet gitu?” Si kakak tidak menyahut.
“Kak, ada yang nyariin loh. Gak
ditemuin?” Si adik yang berumur 8 tahun semakin tidak mengerti dengan tingkah
kakaknya.
“Ssstt.. Diam! Jangan banyak
omong!” Si kakak mulai menggerutu mendengar adiknya mengocehinya dari tadi.
“Lhaa Kakak ngapain di bawah meja
tuh,” si adik menoleh ke kanan dan ke kiri, kemudian melihat kakaknya lagi,
“gak ada gempa, kan.”
“Iya tau, Dik.” Si kakak tetap
sibuk di bawah meja sembari mencari-cari sesuatu.
“Ada yang nyariin tuh di depan.”
“Iya, Adikku sayang,” si kakak
akhirnya keluar dari meja kemudian menuntun si adik keluar kamarnya, “bentar
lagi kakak temuin. Suruh tunggu sebentar yah.” Si adik hanya bisa tercengang melihat
kakaknya, namun ia turuti saja perintah kakaknya itu. Berbalik, pintu kamar
kakaknya sudah tertutup. Hemm..
desahnya.
BALADA TERBUNUHNYA MBOK MAH
Bagi
Mbok Mah, pekerjaan itu adalah hobi.
Paling lambat satu jam setelah bangun,
ia akan menjalani pekerjaan itu. Menyiur lebih dulu. Sarapan akan ia lakukan
saat matahari sedikit meninggi.
Para
tetangganya sudah hapal, ada yang cukup mengangguk ketika Mbok Mah menyapa, ada yang lebih dulu menyapa, ada yang menyungging
senyum saja, ada yang mengeluarkan kata-kata serapah pada yang ia anggap
“sampah”, Mbok Mah. Mbok Mah tahu siapa saja mereka. Mereka
adalah orang-orang kaya dari pada dirinya. Jika mereka bukan kaya harta,
kehormatannyalah yang ia jadikan sebagai sumber kekayaan.
Apa FLP Menurut Kamu?
Acara SKSD
(Sok Kenal Sok Dekat) anggota FLP baru periode 2012-2013 kali ini diadakan di
masjid SMP IT Al Ghazali pada hari Minggu, 23 Desember dimulai pukul 08.30
hingga 11.30 WIB. Acara ini ditujukan
untuk saling kenal-mengenalnya antar anggota baru dengan anggota pengurus.
Selain sebagai kegiatan pertemuan untuk saling mengenal anggota FLP Jember satu
sama lain, didalam SKSD juga diperkenalkan visi dan misi FLP, serta tahun
berdirinya FLP Jember yakni pada tahun 2005 yang lalu.
Pemateri pertama tentang
pengenalan visi – misi FLP dibawakan oleh mbak Iim (Imsicx, penulis novelet
“Luka Perca”), beliau juga sebagai anggota pengurus FLP. Beliau memberi sesi tanya jawab disela-sela pemberian materi
pengenalan organisasi FLP secara umum. Didalam tanya jawab itu, beliau memberi
pertanyaan tentang apa sebetulnya FLP menurut pandangan peserta.
Terhapusnya Catatan Merah Paranoia
Angin
berhembus membelai lipatan daun ilalang yang berjajar di sepanjang jalan
kenangan. Jalan yang membentang dari utara, yang membelah hutan cemara di sisi
kanan dan kiri jalan. Pagi yang diselimuti udara hangat yang tengah dipanaskan
mentari sejak terbit di kaki cakrawala. Membentang jalan itu di depanku. Masih
seperti yang dulu, cemara-cemara masih menancapkan kaki-kaki akarnya di
kedalaman tanah. Pucuk-pucuk daun cemara yang runcing seolah membisikkan
sesuatu kepadaku. Rumput-rumput liar menggelar kehidupan di sela-sela kehiduoan
cemara-cemara yang tinggi jenjang. Rumput-rumput itu seragam, berdaun sempit
dan panjangnya seukuran jari kelingking orang dewasa. Tanah tertutupi olehnya,
rumput dan cemara, tetapi di ujung jalan di dekat perigaan di sisi paling
utara, tanah telanjang tanpa rumput ataupun cemara yang menyentuh tubuh
haranya. Disana, kenangan itu tersimpan.
Rekrutmen FLP
Sabtu,
15 Oktober 2012
Cuaca cerah sekali semenjak tengah hari, tidak ada mendung
menggantung dan bisa dipastikan sampai nanti sore tidak akan turun hujan.
Setidaknya dengan kondisi yang demikian, pengurus FLP Jember bisa bernafas
sedikit lebih lega. Maklum hari Jumat seminggu lalu -tanggal 7 Desember- acara
yang semula diprediksi akan dihadiri banyak peserta (sesuai form pendaftaran
berjumlah 60 orang), terpaksa sepi dengan kehadiran hanya 10 orang. Semua
panitia memasang tampang lesu, semangat yang pasang pun mendadak surut.
Untungnya hari ini cuaca bersahabat sekali, tidak ada awan yang nampak lebam
keabu-abuan.
Kondisi demikian tidak berjalan lama. Setengah jam berlalu,
mendadak langit mendung sekali, sangat buram. Petir menyala-nyala seperti blitz
kamera, guntur meledak bak dentum mesiu dan kecemasan pengurus mencapai klimaks
saat hujan menderas.
‘Jangan’ Selalu Percaya Seminar Wirausaha
Saya mendapatkan sebuah undangan, tentang seminar wirausaha.
Sembari membaca undangan, banyak prolog masuk mempengaruhi pikiran saya.
Katanya “Ntar akan ada kiat-kiat menarik, bagaimana trik meminjam uang di bank
untuk permodalan, pengembangan bisnis, penggelembungan aset dan terakhir kita
akan banyak bertemu dengan para pengusaha muda. “Otomatis semakin banyak
kenalan dan partner bisnis meluas.”
Terus, penting
nggak sebenarnya mengikuti sebuah seminar tentang kewirausahaan? Penting,
penting banget. Tapi filosofinya sama dengan membaca buku. Sebelum membeli buku
dan menyelami dulu isinya; siapa pengarangnya, siapa penerbitnya, apa tema yang
dibahas didalamnya dan berapa harga bukunya. Begitu juga seminar wirausaha.
Perlu juga sebenarnya kita telaah; siapa pematerinya, siapa penyelenggaranya,
apa tema bahasan yang dibahas dan berapa tiket masuk seminarnya.
Marun
Kau bilang aku tak sesuai untuk warna itu
Kau bilang aku harusnya berwarna ini
Kau bilang itu tak indah untukku
Kau bilang ini yang indah padaku
Hei
Siapakah kamu melukis warnaku seperti aku ini kanvas kosongmu?
Kau bilang aku harusnya berwarna ini
Kau bilang itu tak indah untukku
Kau bilang ini yang indah padaku
Hei
Siapakah kamu melukis warnaku seperti aku ini kanvas kosongmu?
Peach
Apakah warna itu
aku tak bisa menyebut namanya
seperti cerah namun gelap
Bersama melodi ini
Ah,
mellownya
Senyum getasku muncul seperti petir
Menyambar segenap sisi hatiku kemudian menggelap lagi
Ulfatuzzuhroh
Tepi Jalan Karimata, pada suatu senja
aku tak bisa menyebut namanya
seperti cerah namun gelap
Bersama melodi ini
Ah,
mellownya
Senyum getasku muncul seperti petir
Menyambar segenap sisi hatiku kemudian menggelap lagi
Ulfatuzzuhroh
Tepi Jalan Karimata, pada suatu senja
Surat Untuk Ibu
Untuk seseorang yang tak pernah lelah menjagaku…
Hari ini tepat tanggal
22 Desember, kata orang ini dirayakan sebagai hari ibu. Dan ini berarti sudah
22 tahun aku tak pernah mengucapkan langsung padamu ibu. Kali ini aku
bersembunyi di balik surat ini, berbeda dengan tahun lalu ketika aku hanya
mampu memberi ucapan melalui pesan singkat itu. Entahlah, selalu ada saja
jelaga ketidakyakinan untuk mengucapkannya dihadapanmu secara langsung. Bukan karena
aku tak ingin, aku hanya belum mampu untuk melakukannya. Sejujurnya aku iri
pada mereka yang begitu mudah mengucapkan itu semua. Aku pun ingin mendapat
ciuman pipi dari ibu seperti yang lainnya.
USAHA SAJA TIDAK CUKUP
Kegiatan lomba PORSENI
MTs sejawa timur, salah satunya yaitu speech contest sudah tinggal 6 hari lagi,
tetapi persiapan belum ada sama sekali. Akhirnya ketika itu juga segera merancang segala keperluan untuk lomba.
Diantaranya seperti; teks, membuat surat izin untuk lomba, dan mengatur waktu
secara maksimal di akhir waktu yang masih tersisa.
Teks sudah jadi, dan
latihan selama 2 hari sudah berjalan, namun “tema” baru sudah pasti setelah
latihan 2 hari (sebelumnya masih nebak).
Terkesan dadakan memang. Waktu hanya tersisa 4 hari untuk mempersiapkan
semuanya. Tapi tidak ada kata telat selagi masih ada waktu. yang menjadi
pertanyaan adalah, “mengapa informasinya sampai begitu telatnya hingga
persiapannya hanya tersisa 4 hari?” hmm.. ternyata setelah ditelusuri, ada
kesalah pahaman dari guru bahasa inggrisnya. Sebenarnya pengumuman speech
contest-nya sudah ada 3 minggu yang lalu. Tapi ia pikir itu hanya pengumuman
(aturan) seleksi di sekolah. Untuk tingkat selanjutnya berbeda. Nah, ternyata
pengumuman itu adalah aturan untuk seleksi kabupaten bahkan propinsi. Baru tau
setelah ku tanyakan kepada bagian kesiswaannya. (Huft! Sedikit menyebalkan
sebenarnya). Tapi tak apalah.. kita gunakan sisa waktu tersebut semaksimal
mungkin.
TIPS dan TRIK Menulis Cepat
Menulis adalah
kegiatan menuangkan ide dan pikiran kita ke dalam tulisan. Artinya, bagaimana
kita menjelaskan gagasan kita kepada orang lain melalui simbol huruf yang tidak
dapat terucap. Saat kita berbicara, tiap harinya kita memproduksi beribu-ribu
kata. Dan tanpa kita sadari, sudah berapa kali kita menuangkan ide kita atau
pesan kepada orang lain. Bahkan, jika semua perkataan kita dalam satu hari
ditulis, mungkin bisa menghabiskan satu buku.
TUHAN MAHA MENGABULKAN DOA
Kita
percaya bahwa Tuhan Maha Mengabulkan Doa, Tuhan Maha Pemurah, Tuhan Maha
Pemberi. Tapi dalam kenyataannya, ketika kita berdoa kurang bersungguh-sungguh.
Bukankah kita percaya? Hal inilah yang sering terjadi.
Sebenarnya
yang perlu kita lakukan adalah ‘yakin’ akan terkabulnya doa kita. Oleh karena
itu, kita pastilah harus bersungguh-sungguh dalam berdoa. Karena kita sendiri
saja, sebagai manusia, apabila ada seseorang yang meminta suatu hal, dan orang
tersebut terlihat tidak sungguh-sungguh mintanya, pastilah tidak kita berikan. Nggak juga?
LA-nya Jember
Setelah bangun
pagi-pagi, pasti setiap orang mempunyai aktivitas dan rutinitas
sendiri-sendiri, bisa sama dengan orang lain tau bisa saja berbeda-beda setiap
orang. Yah.. ini memang hak masing-masing.
Kalau rutinitas yang biasanya
(berarti gak tiap hari, hehe) aku lakukan di saat pagi hari adalah jogging.
Eits, bukan bangun tidur langsung jogging loh ya. Pastinya menunaikan sholat
Subuh dulu, itu adalah rutinitas yang tak boleh ditinggalkan oleh seorang
muslim atau muslimah. Pembaca yang muslim dan muslimah tak bisa diragukan lagi,
pasti setuju donk.
KADO INDAH UNTUK ISTRIKU (Selesai)
Sesuatu yang tidak pernah saya lupa, setiap kali gadis itu mendapat
hadiah sesederhana apapun, ia akan menjawab terimakasih berlebih. Rasa bungah
merias wajah. Tapi tidak ketika itu, mulut manisnya berlidah tajam. Hati saya
segera berdesir. Rasa sendu cepat sekali meratap. Akankah pendirian saya akan
limbang? Sementara gadis itu berdiri, untuk mengendalikan emosi saya mencoba
berduduk.
“Jika ini merupakan syarat aku menjadi istrimu, biarlah aku menjadi
milik orang lain.” Kata-katanya seperti ketela kukus. Empuk, hanya saja sulit
melewati kerongkongan.
“Ely, hidup itu seperti labirin, penuh jalan lorong, berliku,
simpang siur, rumit, berbelit-belit, tapi yakinlah bisa kita atasi dengan ketenangan.”
Bibin
Di suatu pagi yang cerah, Bibin si gajah
berjalan-jalan mengelilingi hutan. Badannya yang besar berjalan
berlenggok-lenggok, belalainya diayun-ayunkan, dia pun bernyanyi riang.
“Kukuruyuk kukuruyuk.. Hai Bibin, kamu terlihat senang sekali hari ini?”
Tiba-tiba kokok si Jago yang sedang bertengger di dahan pohon terdengar Bibin.
“Iya, Jago. Aku sangat senang.” Jawab Bibin dengan raut wajah yang cerah.
“Apa yang membuatmu senang, kawan?”
Tanya Bibin penasaran. “Pokoknya aku senang.” Jawab Bibin singkat sambil
berlalu meninggalkan Jago. Ia pun kembali berjalan riang sambil bernyanyi. Si
Jago heran, ia semakin penasaran apakah gerangan yang membuat si Bibin begitu
senang.
Bibin terus berjalan melewati pepohonan.
Beringin, jati, apel, jeruk, cemara, semua pohon ia lewati dengan begitu saja,
tanpa ada sapaan. Pepohonan terheran-heran karena tidak biasanya Bibin seperti
ini.
Ternyata diam-diam Jago mengikuti Bibin
di belakangnya. Namun Bibin tidak mengetahui kalau Jago mengikutinya. Di tengah
perjalanan, si pohon Beringin bertanya pada Jago, “Hey Jago, kenapa Bibin
terlihat aneh hari ini ya?”
Cerita Di balik 3000
Cukup
merasa penat dengan segala aktivitas beberapa bulan terakhir ini membuat aku
memutuskan untuk mengambil liburan sejenak. Tak banyak, cukup tiga hari dari
sekian banyak waktu yang sudah aku habiskan untuk mengurus sidang skripsi sampai
ke wisuda. Yogyakarta, adalah tempat yang menjadi tujuan kali ini. Memang bukan
yang pertama kali, ini sudah kali kedua aku mengunjunginya. Kota dengan budaya
yang begitu kental ini, memang mendatangkan kerinduan tersendiri. Inilah alasan
aku memilih kota ini untuk melepas sedikit penat dalam pikiran.
Hari
kedua aku putuskan untuk menjadi bocah petualang sejati. Diawali dengan
berjalan kaki dari penginapan ke arah Malioboro, lalu ke pasar Beringharjo, dan
berlanjut ke Benteng Vredeburg. Setelah puas menikmati keindahan Benteng
Vrederburg, lalu perjalanan dilanjutkan menuju keraton Yogyakarta. Karena kaki
sudah agak sakit, aku memutuskan untuk naik becak. Tak begitu lama berada di
keraton, karena akan berkeliling sebentar ke alun-alun utara. Sayangnya hujan
turun, dan emaksaku untuk berhenti sejenak. Selain memang sudah capek, hasrat
belanja juga sudah hilang ketika melihat isi dompet yang tak lagi tebal. Tapi
hasrat menikmati kota ini masih sangat tinggi meski kaki sudah memaksa untuk
berhenti, dan isi dompet juga sudah mulai mengingatkan untuk berhemat.
No Excuse
Siang bolong saya menerima pesan singkat dari istri, isinya
"Mas doakan adek lancar-lancar aja. Ini mau berangkat halaqah, air sungai
pasang. Semalam ujan deres soalnya." Saya sih belum kebayang, kalau sungai
manggu dan katingan pasang seperti apa. Lebar sungainya saja sekitar empat atau
lima kali lebar jalan Ahmad Yani jember. Wuizzz.
Seperti biasa, istri saya akan melalui perjalanan yang
panjang ketika berangkat halaqoh. Harus menaiki kapal penyebrangan, melalui
perjalanan jalur sungai sekitar 45 menit dan berjalan kaki beberapa kilometer.
Lumayan melelahkan, terlebih hanya ada waktu istrahat sekitar satu jam dari
jadwal pulang kerja. Bisa diartikan setiap hari itu, istri saya harus
mengeluarkan waktu ekstra untuk menguras fisiknya, padahal kondisi sedang hamil.
Indahnya Ukhuwah
Setiap hari kita berinteraksi dengan banyak orang, semenjak
terbangun dari tidur sampai mata kita terpejam. Begitulah kita setiap harinya.
Allah menciptakan keindahan ukhuwah sesama manusia agar kita saling terbantu satu
dengan lainnya. Kita akan membutuhkan saudara kita di setiap sudut kehidupan, mulai
dari lingkungan warga rumah sampai khalayak ramai, mulai dari ruang sekolah
sampai ruang kuliah, mulai dari rumah sampai ruang kerja.
SELANGKAH PASTI UNTUK PEREMPUAN PEMBANGUN NEGRI
Perempuan merupakan
sosok yang luar biasa di mata dunia. Ia adalah agen perubahan penting pembangun
suatu negara. Negara akan baik jika perempuan di dalamnya baik dan sebaliknya
negara itu akan hancur jika perempuannya hancur.
Saat ini ada banyak
kekecewaan yang terjadi di negri ini tentang perempuan. Tak ubahnya perempuan
negri ini adalah sampah yang diseret sana sini tanpa nilai. Harga perempuan
tidak ada lagi. Tidak ada setitikpun nilai yang bisa diambil dari
perempuan-perempuan saat ini. Hanya secuil dari mereka yang masih
mempertahankan martabat dan harga dirinya. Arus globalisasi telah membutakan
mata perempuan negri ini. Virus-virus dari luar telah membobrokkan akhlak dan
pemikiran mereka. Sistem kapitalis telah membunuh martabat perempuan. Perbedaan
cara pandang Kapitalisme terhadap perempuan sudah sangat jelas. Kapitalisme
memandang perempuan seperti barang yang dapat diperjualbelikan, karena itu ia
dieksploitasi kecantikannya, digunakan promosi berbagai produk sekalipun produk
itu tidak ada hubungannya dengan perempuan. Perempuan dianggap mesin pencetak
uang, unsur penting penopang perbaikan ekonomi. Sehingga perempuan dinilai
berharga sesuai dengan materi yang dia hasilkan.
#Pentingnya Evaluasi*
Nah.. hari ini (kebetulan hari minggu), saya ingin
bercerita tentang salah satu kegiatan di pondok saya sekaligus menganalisa
kekurangan yang ada di dalamnya.
Kegiatan majlis taklim bakda subuh setiap hari rabu
dan minggu selalu saja diwarnai oleh semprotan air sesekali pukulan terhadap
seorang santri yang tidur. Tujuannya sih bagus yaitu, agar santri yang tidur
itu bangun dan mendengarkan pengajian dengan seksama. Namun, setelah beberapa
menit bangun, ia pun tidur lagi dan seorang secara bergantian dari pelaksana
majlis taklim menyemprotnya dengan air sekali lagi. Tak disangka beberapa menit
kemudian, ia tidur lagi dan lagi hingga kegiatan majlis taklim usai.
RASA DALAM CAWAN
Gelap malam butakan pena
Pusaran waktu menumpulkannya
Menggilas setiap pucuk lancip
Melunakkan keganasan raungannya
Bagaikan sang rimba tak berdaya
Sang pertiwi teriak histeris
Lubuk hati goreskan tangis
Jiwa termangu dalam semu
Menerka kekuatan terpendam
Sunyi
KADO INDAH UNTUK ISTRIKU (Bagian 1)
Remaja itu berayun-ayun pada sebuah ayunan. Rambut urainya tersapu
angin, sesekali terjerembat pada batang ayunan. Senyumnya yang tidak pernah
lepas dari bibir merekahnya, menjadikan orang lain sering memuji.
Serentetan cerita adalah bagian terpenting bagi gadis bertubuh
langsing itu. Tidak peduli apakah orang lain peduli atau tidak pada ceritanya.
Ia akan tetap menjadi pencair suasana. Ia sering menjadi pusat perhatian.
Gagasan-gagasan yang tersampaikan olehnya selalu menarik. Baru.
Suka berimajinasi. Unik. Ketika gagasan itu tersampaikan, mata lebarnya semakin
menawan.
Terus berkarya dan berkarya
Alhamdulilah semoga selalu istikomah dalam menelurkan karya-karya. Saya berterima kasih kepada teman-teman yang telah menyumbangkan karyanya untuk di terbitkan di majalah folpen ini. Saya juga turut berterima kasih kepada tim yang telah bekerja keras dalam terbitnya majalah online ini. Semoga kedepannya akan lebih baik lagi. [Pimred]
Susunan Redaksi
Penanggung Jawab: Syahrizal Bakhtiar
Pemimpin Redaksi: Rized Wiasma
Redaktur:Sigit Chandra, Monafisa, Ulin, Tara
Editor bahasa: Siti Imroatul Khusnah, Ilham Mustofa, Aulia B. Rahman
Layout: Ulfa, jefi
Susunan Redaksi
Penanggung Jawab: Syahrizal Bakhtiar
Pemimpin Redaksi: Rized Wiasma
Redaktur:Sigit Chandra, Monafisa, Ulin, Tara
Editor bahasa: Siti Imroatul Khusnah, Ilham Mustofa, Aulia B. Rahman
Layout: Ulfa, jefi
Setan Lebaran Duluan
Oleh: Rugyinsun
“Neraka sudah
ditutup, dikunci rapat dan setan dibelenggu. Artinya, tak akan ada kejahatan di
bulan yang penuh berkah ini.”
Naman masih ingat
secara rinci ceramah Kyai Firman tersebut ketika mengisi acara menyambut bulan
suci Ramadan di Masjid Ar Rahmah di desanya, Desa Petung. Tetapi petang ini dia
tidak mau ke masjid, berdiam diri di kamar. Juga tidak hendak salat sendirian.
Dia hanya ingin berdiam diri menatap dinding. Bukan menatap, hanya menghadap
saja, karena memang tak ada
apa-apa di dinding itu, putih, polos.
Ia mengulang-mengulang
satu kata itu, “manipulasi,” tapi dalam benaknya saja. Semakin kuat hingga seolah seluruh bagian tubuhnya
ikut meneriakkan tanpa suara: “manipulasi!”
Menurutnya semua
orang selalu memanipulasi. Aku bukan anak kecil yang suka dengan manipulasi. Palsu. Ia berkata-kata
sendiri, dari hatinya dan hanya untuk didengar hatinya sendiri.
Desa sudah sangat
sepi. Orang-orang sudah berangkat ke masjid untuk salat tarawih. Kecuali
perempuan-perempuan yang sedang berhalangan salat dan beberapa anak kecil.
Malam ini adalah yang keduapuluh sembilan dari malam bulan Ramadan. Orang-orang
membawa makanan ke masjid untuk slametan, berdoa mengharap lailatul kadar.
Malam yang mereka yakini lebih utama dari seribu bulan. Mereka mengharap berkah
dari Tuhan Yang Maha Esa.
“Maling…!!
Maling, maling, maling…!!”
Naman kaget dan
langsung keluar lari ke arah suara, rumah Bu Ida, yang berada sekita
sepuluh meter ke
timur dari rumah Naman. Orang-orang di masjid mendengar teriakan itu dan segera
keluar dari masjid. Ibu-ibu yang tidak ke masjid mengejar Naman sambil
berteriak maling. Bapak-bapak yang tergesa turun dari masjid pun turut
mengejar. Naman bingung dan berusaha lolos dari kejaran, tetapi lawan terlalu
banyak. Ia tertangkap.
Untunglah pak
lurah dan Kyai Firman juga ikut mengejar sehingga warga tidak berbuat
sewenang-wenang padanya. Pak lurah langsung mengamankan bersama Kyai Firman.
“Saya bukan maling,” kata Naman sambil menahan nafasnya yang terengah karena
kelelahan. Dia dibawa ke masjid. Semua orang ikut ke sana. Anak-anak kecil
meneriakinya, “Naman maling, Naman maling, Naman maling,” sambil
melompat-lompat riang. Bapak-bapak menyuruh mereka diam sambil menunjuk pada
Kyai Firman. Anak-anak
itu pun diam.
Semua diam
sejenak. Semua mata tertuju
pada Naman.“Saya bukan maling, Pak Lurah.” “Terus, kamu ada dimana tadi waktu ada orang
teriak maling?” “Tidak tarawih?” Tanya Kyai Firman.
Naman tidak
menjawab. Orang-orang naik amarah karena Naman tidak menghiraukan pertanyaan
kyai. “Kafir! Kafir!” seseorang meneriakinya. Kyai Firman mengarahkan pandangan
“Kenapa kamu tidak tarawih?” Tanya Pak Lurah.
Naman diam, tidak
menjawab. “Maling, masak salat, Pak,” celetuk salah seorang pemuda sebaya
Naman. Naman mengarahkan pandangannya pada pemuda itu. “Ini bulan puasa, kan,
Jup,” “Makanya jangan mencuri, tarawih ke masjid!” serempak orang-orang
mengatakan itu.
Naman memandangi
semua orang sambil bernafas dalam. “Kalau kalian menganggap saya maling,
berarti kalian semua pengecut!” Tinggi sekali nada bicaranya. “Orang nomor satu
yang kita jadikan panutan, yang kita hormati, yang selalu kita dengar
petuahnya, sudah berdauh kalau setan dibelenggu. Tentu tidak ada kejahatan,
kan?! Kalian masih ingat itu, kan?! Dan…”
“Berarti kamu
memang pencurinya!” tuding Jupri.
“Sudah, sudah,”
Kyai Firman menenangkan suasana. “Naman,” beliau menatap Naman. Naman membalas
tatapannya sejenak dan menunduk lagi. “Setan dibelenggu di bulan puasa, oleh
orang-orang yang berpuasa, oleh orang-orang yang menahan nafsunya, menahan amarahnya,
menahan hasrat keduniawiaannya,” sambil tersenyum beliau menjelaskan pada pemuda
yang baru saja berstatus mahasiswa itu.
Wajah Naman
tampak tak ramah, beramarah. “Tapi saya bukan malingnya, Kyai.” “Hanya tidak mau
tarawih?” Naman tidak menjawab. “Tidak mau puasa? Tidak mau “Itu terserah
saya!” jawabnya ketus. “Saya bukan malingnya, saya mau pulang.”
Lalu dia pulang.
Darman yang sudah lebih lama berstatus mahasiswa mengejarnya. Naman membiarkan
Darman ikut masuk ke kamarnya.
“Kamu terlalu
kritis, Man,” kata Darman. “Terpengaruh watak aktivis kampus.” Naman tertawa.
“Aktivis apaan?” Darman duduk di lantai, menghadap Naman yang duduk di tepi
ranjangnya. “Aktivis pengecut!”
Pembicaraan tidak
searah dengan kejadian yang baru terjadi.
“Setiap awal
puasa, para aktivis itu selalu geger, rebutan tanggal. Padahal sebenarnya mereka
rebutan popularitas. Pemerintah juga begitu, sok sibuk membuat aturan baru,
biar tampak menghormati orang Islam.” Darman diam, membiarkan Naman melanjutkan
kritikannya. “Ibadah itu kan urusan pribadi masing-masing dengan Tuhan, urusan
ilahiah, apa hubungannya dengan memahami kata-kata tujuannya. ”Tapi…, kenapa kamu mau berhenti puasa? Maksudmu…”
“Ibadah itu
urusan pribadiku dengan Tuhanku. Kalau aku merasa senang beribadah pada-
Nya, cukup aku
dan Dia saja yang tahu.”
“Iya, tapi…
kenapa harus tidak ikut tarawih?”
“Tarawih kan
tidak harus di masjid! Lagian, iman itu kan di hati. Yang rajin ibadah pun belum
tentu hatinya bernar-benar beriman.”
Darman mau
tertawa, tapi ia tahan. “Ya sudah, aku ke masjid dulu.” Ia paham kondisi temannya.
Dia dulu juga begitu waktu baru bergabung dengan para aktivis kampus.
Setan lepas
karena manusia suka pamer ibadah. Mereka hanya beribadah dahir, padahal setan tidak dahir. Makanya setan lepas.
Hari raya dijadikan ajang pamer diri, menuruti hasrat Naman mengomel dalam hati, tak jelas siapa yang diomeli, dan apa dasar
omelannya.
Mereka pikir,
karena rajin tarawih, mereka lebih baik dari aku? Belum tentu! Orang beriman
tidak mudah menuduh! Minta maaf bukan hanya ketika lebaran. Ibadah tidak harus.
Dia semakin ngelantur, tidak sadar yang diucapkan. Benaknya masih dipenuhi
amarah karena dituduh maling. Dia yakin namanya jelek di mata Ida, putri Bu Ida
yang terkenal paling cantik, yang juga baru saja berstatus mahasiswa, tapi lain
jurusan dengan Naman. Akhir-akhir ini Numan memang selalu mencari perhatiannya.
Malam berlalu.
Tetapi hari terasa lebih gelap bagi Naman. Bu Ida benar-benar kehilangan: uang
dan baju barunya dicuri maling. Sebenarnya ini kesempatan bagi Naman untuk jadi pahlawan, tapi… “Ah, Tuhan Maha
Tahu.” Dia berdiam diri
di kamar, tak mau tahu keadaan di luar. Bahkan hingga
hari raya tiba. Bapak dan ibunya tidak berkomentar karena Naman sudah Darman
langsung masuk ke kamar Naman. Hari ini adalah hari raya Idul Fitri, hari dimana
semua umat islam saling bermaafan, bergembira dengan sanak saudara, dan
tetangga.
“Aku bukan mau
mengajakmu berlebaran,” kata Darman sambil duduk di tepi ranjang Naman.
“Orang-orang desa masih awam, kita harus mengajak dan memberi contoh mereka
cara bersosial yang lebih baik, beribadah, bersikap, bertingkah laku, dan
semacamnya, setelah sebulan menjalankan ibadah. Selama ramadhan kita berdoa,
sekarang tinggal usahanya.” Naman diam saja, hanya memandang sekilas pada
Darman. “Doa selama puasa merupakan komitmen untuk lebih baik, dan sekarang
adalah awal usaha untuk jadi lebih baik. Kita harus menjadi contoh.
Ayo, kita lebih
tahu dari mereka. Biar
ada yang bisa mereka contoh.” Naman hanya menarik nafas tanpa bahasa. Darman sebenarnya mau tertawa, tapi ia maklum. “Aku mau nyalami teman-teman,” katanya sambil keluar dari kamar Naman.
Naman agak
terkejut mendengar kata terakhir Darman.
AIR MATA DI HARI FITRI
Oleh : Lia
Salsabila
Waktu bergulir cepat
Bulan penuh berkah pun lewat
Gema takbir mengalun bersahutan
Sambut datangnya hari kemenangan
Perasaanku campur aduk
Saat haru, sedih dan bahagia memeluk
Haru, Ramadan berlalu pergi
Sedih, takut tak bersua kembali
Bahagia, karena
tiba hari tuk kembali suci
Namun terasa ada
yang berbeda
Malam ini kurasa
tak begitu ceria
Riuh bedug di
musola
Tak mampu usir
gulana
Dua kali gempa
buatku gelisah
Menggoyang kotaku
bak ayunan saja
Aku panik tak terkira,
bertanya tanya
Bagaimana mereka
yang di pusat gempa
Membayang
Jerit ketakutan
erang kesakitan
Menyatu dengan
gemuruh reruntuhan
Dan kini,
bagaimana lebaran mereka
Jangankan pakaian
baru dan kue hidangan
Untuk makan saja
menunggu belas kasihan
Sedang rumah pun
tinggal puing berserakan
Ya Allah
Peringatanmu
datang bertubi tubi
Tetap saja kami
tenggelam dalam nikmat semu duniawi
Akankah Engkau
mendatangkan peringatan lebih dahsyat lagi
Allahuakbar
Allahuakbar Allahuakbar
Laa ilaaha
illallahu allahuakbar
Allahuakbar
walillahilhamd
Hujan menetes
dari kelopak sendu
Saat kulantunkan
takbir elukan asma-Mu
Berharap hati
bersih selalu
Hingga kutetap melangkah di jalan-Mu
Resensi Buku
Dalam sejarah kecerdasan sebuah
kaum, Yahudi merupakan
kaum yang kecerdasaannya tidak diragukan lagi. Meskipun jumlah mereka yang
tidak lebih dari 1% dari jumlah penduduk dunia, mereka dapat menguasai dunia
ini dengan karya-karya mereka yang fenomenal. Kecerdasaan mereka terbukti
hampir 50% ilmuwan pendidikan adalah keturunan Yahudi di Spanyol. Lebih dari 25%
profesor di perguruan tinggi yang tersebar di seluruh Amerika Serikat adalah
orang Yahudi. Dari 270
Hadiah Nobel Perdamaian, 102 yang memenangkan adalah orang Yahudi dari pertama kali dianugerahkan
1901 sampai saat ini.
Tokoh-tokoh yang terkenal dari
orang Yahudi di dunia
ini diantaranya Mike Lazaridis penemu BlackBerry
yang populer pada saat ini. Felix Bloch penemu Bom Atom, Larry Page & Sergey
Brain penemu mesin penacari Google,
fisikawan Albert Einstein penemu teori Relativitas, Mark Zuckernberg penemu dan pendiri Facebook, Bill Gates penemu Microsoft, bahkan Lionel Messi pesepak
bola yang luar biasa, dan masih banyak lagi ilmuwan-ilmuwan yang ahli di bidang
mereka. Dan mereka semua merupakan keturunan Yahudi.
Kecerdasan mereka bukan hanya
semata-mata takdir Tuhan, tapi terdapat rahasia-rahasia yang dilakukan untuk
mewujudkan hal tersebut. Dan rahasia tersebut dilakukan oleh mereka ketika
anak-anak mereka masih dalam kendungan. Diantaranya yang pertama adalah
mendengarkan dan bermain musik. Musik yang didengarkan adalah musik yang
shaydu, menyegarkan pikiran dan menambah semangat psikologi. Kebiasaan ini
telah dilakukan oleh para ibu golongan Yahudi ketika masa kehamilan. Dan kebiasaan tersebut sesuai
dengan kaidah kedokteran.
Yang kedua adalah mengerjakan
soal matematika. Para ibu hamil tersebut tidak merasa bosan untuk mengerjakan
soal-soal matematika. Dan mereka mengerjakannya tanpa beban, sehingga tidak
menjadi beban psikologi. Jadi, jangan heran apabila kita berada di negara yang
moyoritas adalah orang Yahudi -misalnya israel- melihat ibu-ibu yang
sedang hamil membawa buku matematika ke mana-mana. Yang ketiga adalah makanan para ibu Yahudi saat hamil.
Selain kebiasaan-kebiasaan di
atas, para ibu Yahudi
juga memiliki kebiasaan mengkonsumsi kacang badam, korma dan susu. Kebiasaan
tersebut telah dilakukan mereka sejak dahulu. Selain itu, mereka juga
mengkonsumsi makanan-makanan lain yang bergizi lainnya. Dan ketika makan ikan
mereka menyisakan kepalanya.
Hal yang keempat
yang dilakukan oleh para ibu Yahudi
ketika sedang hamil adalah menjauhi asap rokok. Di kalangan Yahudi, rokok dianggap hal yang menjijikan,
berbahaya dan hal yang tabu. Meskipun ada sekitar 5% dari mereka yang masih
merokok. Meskipun begitu, ketika ada seorang ibu hamil di tempat umum, dalam
jarak minimal 15 meter, pasti tidak ada orang yang sedang merokok. Dan apabila
ada seorang perokok dan istrinya sedang hamil, dia akan berhenti merokok dalam
masa kehamilan sang istri semata-mata demi anaknya.
Begitulah beberapa hal yang
dijelaskan dalam buku ‘Menguak Rahasia
Cara Belajar Orang Yahudi’ karya Abdul Wahid. Beliau bisa menyajikan
materi-materi tersebut secara runtut sehingga enak dibaca. Mulai rahasia ketika
masa kandungan sampai masa dewasa. Bagaimana mereka melakukan ‘ritual-ritual’
tersebut sehingga menjadikan generasi mereka cerdas dan genius.
Judul buku:
Menguak Rahasia Cara Belajar Orang Yahudi
Penulis :
Abdul Waid
Penerbit :
Diva Press
Cetakan :
II, Desember 2011
ISBN : 978 -
602 - 978 - 757 - 3
Ukuran :
14x20cm
Halaman :248
Halaman
(M. Syaikhul Umam)
Ramadan Kali Ini
Oleh : Lia Salsabila
Kurasakan kesejukan yang belum pernah membelai raga,
juga jiwa, ketika sampai di tempat ini. Tempat yang tak pernah kutahu nama dan
arahnya. Beragam bunga menganguk anggun dan semerbak. Pohon-pohon menjulang
gagah. Kupu dan kumbang berkejaran di sela mawar. Aku semakin takjub tatkala
ricik air mulai menyapa gendang telinga. Seberkas cahaya menyilaukan membuat
mataku terpejam. Sayup kudengar seseorang memanggil namaku.
“Nilam, kemarilah, Sayang. Ibu ingin mendekapmu. Ibu
sungguh merindukanmu.”
Aku tergeragap. Samar terlihat seraut wajah tak
asing. Wajah yang seolah tiap hari kutatap.
“Ya Allah, mengapa wajahnya sama dengan wajahku.”
Tak berkedip aku menatap wanita itu. Menahan tanya yang tak mampu kusuarakan.
“Nilam, ini ibu, Nak. Kemarilah.” Kembali wanita itu
memanggil namaku. Keringat dingin merembes perlahan di kening dan leherku.
Tidak mungkin dia ibuku. Tidak mungkin.
Wanita itu berjalan mendekat. Aku tertegun namun tak
urung kakiku melangkah menjauhinya. Semakin dia mempercepat langkah semakin aku
menambah kecepatan langkah. Aku berlari dan terus berlari tanpa sedikit pun
berpaling dari wajahnya.
“Nilam, ini ibu, Nak. Jangan lari sayang.”
“Tidak! Tidak mungkin! Tidaaaaaaakk!!!!
“Nilam…Nilam… Bangun, Sayang. Ayo bantu ibu siapkan
makanan sahur untuk adik-adikmu.”
Lembut suara Ibu Aisyah kudengar seraya menggoyang
pelan tubuhku, membangunkanku. Setengah terlelap aku mengangguk. “Ya Allah.
Hanya mimpi,” batinku.
“Iya, ibu, Nilam sudah bangun kok,” tergeragap kujawab
panggilan Ibu Aisyah.
Aku terduduk. Bingung. Mimpi tadi terasa begitu
nyata. Aku termangu. Bergegas kulipat rapat selimut dan mengenakan jilbab yang
baru setahun ini kukenakan. Terkantuk-kantuk, aku mengikuti langkah ibu ke
dapur.
Sebagai anak tertua memang sudah kewajibanku
membantu ibu mengerjakan pekerjaan rumah tangga setiap hari. Menyapu, mencuci
piring, mencuci baju, dan memasak. Apalagi sekarang sahur pertama. Ibu yang
semakin menua sudah tak sanggup melakukan semua pekerjaan rumah tangga sendiri.
“Nilam, kenapa bengong, sayang. Lekaslah kaujerang
air. Waktu imsak sudah hampir tiba. Kasihan adik-adikmu kalau tidak sempat
sahur,” tegur Ibu Aisyah lembut membuyarkan lamunanku. Segera aku bergegas
membantu Ibu Aisyah.
Ramadan selalu memberi kenangan indah dan pahit
buatku. Indah karena kebersamaan keluarga besar kami yang begitu rukun satu
sama lain. Pahit karena tak pernah bisa melalui Ramadan bersama ayah dan ibu
kandungku.
Aku tinggal di Panti Asuhan Ibunda bersama 20 anak
lainnya. Kebetulan aku anak tertua karena yang seumuran denganku sudah diadopsi
semua. Pedih terasa di dada ketika mengingat teman-teman sebaya direnggut dari
sisiku. Pedih semakin menjadi ketika mengingat tak satu pun orang yang mau
mengadopsiku. Tak jarang aku mempertanyakan masalah itu kepada Ibu Aisyah.
Mengapa tak ada yang mau mengadopsiku. Apakah aku tidak layak untuk menjadi
anak mereka. Ibu Aisyah selalu tersenyum menanggapi pertanyaanku. “Bukan tak
ada yang mau padamu, Nilam. Hanya saja Allah belum mengizinkan kamu
meninggalkan ibu. Kelak, kalau sudah sampai waktunya, ibu yakin kamu akan
mendapatkan ayah dan ibu yang terbaik.” Selalu begitu jawaban Ibu Aisyah ketika
aku berkeluh dan merajuk padanya.
Walaupun bukan ibu kandung, Ibu Aisyah sangat sayang
padaku, juga terhadap semua anak-anak di panti. Hanya karena aku yang paling
tua maka aku lebih dekat dengan Ibu Aisyah.
Ibu Aisyah seorang janda tanpa anak. Suaminya
meninggal limabelas tahun lalu karena kecelakaan. Itulah awal berdirinya panti
asuhan Ibunda. Karena kesepian, Ibu Aisyah memungut anak-anak jalanan atau
yatim piatu, dan di bawa ke rumahnya. Ceritanya, aku ditemukan di tengah semak
tak jauh dari rumahnya. Pedih sekali rasanya ketika mendengar cerita Ibu
Aisyah. Ternyata aku anak yang tak diharapkan.
Sebagai anak tertua tentunya aku harus menjadi
panutan dalam segala hal. Juga menjadi pengayom bagi adik-adikku. Setiap pagi
aku membantu Ibu Aisyah menyiapkan sarapan, menyiapkan mereka untuk ke sekolah.
Membantu mereka belajar. Menemani bermain dan kadang harus mendongeng juga. Aku
sendiri baru lulus SMP. Ibu Aisyah tidak mampu menyekolahkanku lebih tinggi
lagi. Aku sadar dan tidak menuntut terlalu banyak dari Ibu Aisyah. Pemasukan
dari donatur yang dia terima sangat minim. Itu pun kadang masih kurang untuk
makan. Aku mengalah demi adik-adikku yang lain. Agar mereka juga bisa mengenyam
bangku sekolah. Aku tak patah semangat. Walau tak sekolah, aku tetap belajar
dan akan terus belajar. Bukankah ilmu tak selalu harus diperoleh dari bangku
sekolah.
Biasanya di bulan Ramadan begitu ramai kujungan dari
orang luar. Tujuan mereka berbeda-beda. Kebanyakan bersedekah dan minta doa
pada kami. Yang paling banyak berkunjung adalah pasangan suami istri yang ingin
mengadopsi salah satu dari kami. Seperti sudah tradisi saja, mengadopsi anak di
bulan Ramadan. Seperti Ramadan kali ini, baru hari ketiga sudah dua orang
adikku diadopsi mereka. Sedih, karena harus berpisah dengan mereka. Tetapi juga
bahagia karena beban Ibu Aisyah agak berkurang, dan mereka mendapatkan
kehidupan lebih layak dibanding di panti. “Ternyata sedih dan bahagia begitu
dekat berdampingan, sehingga kadang kita tidak sadar bahwa sudah bersedih dan
berbahagia dalam waktu bersamaan,” batinku.
Seperti anak-anak yang lain, aku pun harap-harap
cemas menanti pasangan suami istri yang mau mengadopsiku. Namun keinginanku itu
juga sebesar ketakutanku. Aku memimpikan bagaimana indahnya hidup bersama dua orangtua
yang sayang padaku. Melanjutkan sekolah setinggi-tingginya. Dan yang terpenting,
aku bisa menikmati indahnya lebaran dengan keluarga yang utuh. Namun, aku takut
tak terbiasa dengan sepi. Dan yang paling aku takuti adalah kedua orangtua
angkatku tak sesayang Ibu Aisyah padaku.
Hingga menjelang malam lailatul qadar, belum ada
tanda-tanda dari pasangan suami istri yang mau mengadopsiku. Putus harap sudah
memenuhi relung jiwa. Tiap malam aku berdoa. Entah untuk keinginan yang mana.
Muncul prasangka bahwa tidak akan pernah ada yang mau mengadopsi seorang anak
yang memang tak pernah diharap kehadirannya.
Aku tidak habis pikir, mengapa banyak orangtua yang
tidak bertanggung jawab, termasuk ayah dan ibu kandungku. Membuang begitu saja
ketika tidak mengharapkan kami lahir. Dalam doa aku hanya bisa memintal harap
untuk bisa bertemu dengan ibu yang melahirkanku. Dalam malam-malam sepi aku
hanya ditemani barisan puisi seraya mengenangmu, Ibu.
Malam menjelang.
Aku mencari bayang. Wajahmu
yang tak kukenal
meski dalam kenang
apalagi dekapan
sayang, belai kasih yang tak lekang
Pagi menjelang.
Aku mencari bayang. Hatimu
yang tak pernah
kutahu meski ada rindu
agar kau menjadi
cahaya ketika
matahari gerhana
dan rembulan tak purnama
Bu, aku sungguh
ingin bertemu
meski hanya sekali waktu
tuntaskan segala soal dan rindu
hingga aku tahu ada surgamu
meski hanya sekali waktu
tuntaskan segala soal dan rindu
hingga aku tahu ada surgamu
Hari raya Idul Fitri sudah di depan mata. Adikku
berkurang enam orang. Mereka langsung dibawa oleh orangtua barunya. Mengingat
perpisahan itu, aku kasihan kepada Ibu Aisyah. Tetapi juga bahagia karena
kehidupan adik-adikku akan berubah di tempat tinggalnya yang baru.
Kesibukan di panti cukup padat. Aku membagi tugas
kepada adik-adik yang lain. Adik laki-laki membantu Pak Maman mengecat rumah
dan membersihkan halaman. Adik-adik perempuan membantuku dan Ibu Aisyah membuat
kue. Bayangan kepedihan di wajah adik-adikku sedikit terkikis oleh kesibukan
ini.
Aku sendiri telah menyimpan rapat harap bahwa akan
ada yang datang mengadopsiku Ramadan kali ini. Pikiran aku fokuskan pada
persiapan menyambut lebaran. Aku tak ingin menambah beban Ibu Aisyah dengan
memperlihatkan kesedihanku.
“Alhamdulillah, Ramadan kali ini banyak donatur yang
menyumbang ya, Bu,” kataku pada Ibu Aisyah sambil tetap mengaduk adonan kue.
“Iya, Nilam. Alhamdulillah,” jawab Ibu Aisyah.
“Akhirnya kita bisa merayakan kemenangan dengan
pesta meriah, Bu,” ucapku gembira.
Hening sejenak. Ibu Aisyah tak menanggapi ucapanku
yang terakhir. Hanya helaan nafas panjangnya yang terdengar. Setelah sekian
menit baru Ibu Aisyah berbicara kembali.
“Nilam, anakku. Perlu kauketahui dan ingat.
Kemenangan tidak selalu harus dirayakan dengan sebuah pesta, makanan enak dan
pakaian mewah. Kemenangan akan menjadi sempurna ketika kita bersyukur setulus
hati. Dan kemenangan akan mendatangkan ketidakbaikan apabila dirayakan dengan
sebuah keterpaksaan.”
Aku tertegun mendengar tutur kata Ibu Aisyah. Dalam
hati aku bersyukur karena dibesarkan oleh wanita seperti dia.
“Iya, Ibu. Nilam mengerti. Maafkan Nilam karena
terlalu terbawa perasaan,” kataku lirih.
Suasana kembali hening. Kami sibuk dengan pekerjaan
masing-masing. Sesungguhnya ada tanya yang menyesak di dada. Namun aku masih
ragu untuk mengutarakannya. Tapi tak tahan dengan keheningan yang terasa
menggigit jiwa, aku memberanikan diri.
“Bu, bolehkah Nilam bertanya sesuatu?” ucapku lirih
memecah kesunyian.
“Boleh, Nilam. Kamu mau bertanya apa?” jawab Ibu
Aiysah.
“Mengapa seorang ibu tega membuang anaknya, Bu?”
tanyaku ragu.
Ibu Aisyah tak segera menjawab. Dia menatapku lekat
seraya menghela nafas panjang.
“Banyak alasan mengapa seorang ibu tega membuang
anaknya, Nilam. Karena masalah ekonomi, misalnya,” jawab Ibu Aisyah lembut.
“Tapi, Bu, menurut Nilam itu bukan sebuah alasan. Walaupun
hidup serba kekurangan, seorang anak pasti akan bahagia jika tinggal dengan
kedua orangtuanya, daripada harus hidup di jalanan atau panti asuhan,” ucapku
sedikit emosi.
“Nilam, anakku. Kamu belum tahu, Nak. Kehidupan di
luar sana begitu pelik dengan beragam masalah. Orangtua manapun tidak akan tega
membuang anaknya tanpa alasan yang kuat. Terlebih seorang ibu. Dia mengandung
selama 9 bulan dan mempertaruhkan nyawa ketika melahirkan,” jelas Ibu Aisyah,
tetap dengan lembut.
“Jangan-jangan Nilam lahir dari sebuah hubungan
terlarang. Atau karena tak diketahui siapa bapak Nilam. Makanya ibu tega
membuang Nilam di semak-semak. Untung Ibu Aisyah yang menemukan Nilam.
Bagaimana jika yang menemukan orang jahat. Mungkin Nilam akan dipaksa menjadi
orang jahat juga. Tidak, Bu, Nilam tidak bisa menerima alasan apapun,” kataku
serak karena menahan tangis dan amarah.
“Sudahlah, Nilam. Kelak, seiring berjalannya waktu,
kamu akan menemukan jawabannya. Jangan rusak hatimu dengan amarah dan dendam.
Yang perlu kamu lakukan sekarang, selalu bersyukur kepada Allah karena kamu
masih berada dalam kebaikan. Dan yang terpenting, siapapun kamu, ibu akan tetap
menyayangimu seperti ibu menyayangi anak kandung ibu,” ucap Ibu Aisyah mendekap
dan membelai kepalaku. Aku hanya mengangguk dan melanjutkan tangis yang tadi
tertahan dalam dekapan Ibu Aisyah.
Kesibukan bertambah menjelang dua hari sebelum
lebaran. Panti sudah terlihat lebih bersih dan baru. Kesedihan yang sempat
menaungi wajah adik-adikku, sirna. Tawa dan canda mereka menggema di setiap
sudut panti. Setelah percakapanku dengan Ibu Aisyah kemarin, aku sedikit lebih
tenang. Kepasrahan dan keikhlasan mulai meresap di rongga jiwa walau belum
sepenuhnya.
Menjelang malam takbiran. Suasana gembira begitu
kental. Aku, Ibu Aisyah dan semua anak-anak Panti Asuhan Ibunda menyiapkan
pakaian dan mukena salat Id besok. Setelah selesai, kami berkumpul dan
bercengkrama bersama di ruang makan. Karena hanya ruangan itu yang paling
besar. Kami bercanda, tertawa tanpa jeda. Terlebih ketika si Gembul (adikku
yang paling gendut) bercerita sambil menggoyang-goyangkan badannya, kami
tertawa sampai terpingkal-pingkal. Ibu Aisyah sendiri sampai menitikkan air
mata.
Tak terasa waktu beranjak sangat cepat. Tepat jam 10
malam Ibu Aisyah menyuruh adik-adik kembali ke kamar masing-masing untuk
istirahat. Aku dan Ibu Aisyah membereskan ruang makan. Ketika kami mau kembali
ke kamar tiba-tiba bel pintu rumah berbunyi.
“Siapa ya, Nak, malam-malam begini bertamu,” kata Ibu
Aisyah.
“Biar Nilam yang lihat, Bu,” kataku seraya berjalan
ke arah pintu ruang tamu.
Ketika membuka pintu, tampak seorang bapak tua duduk
di kursi roda dengan seorang laki-laki yang lebih muda.
“Assalamualaikum,” ucap sang Bapak.
“Walaikumsalam,” jawabku.
“Ini pasti Nilam,” kata Bapak, membuatku kaget
karena dia tahu namaku.
“Ibu Aisyah ada, Nak,” kata bapak lagi.
“A..a..ada, Pak. Silakan masuk,” jawabku gugup
seraya mundur memberi jalan.
Setelah mempersilakan lelaki yang menemani Bapak itu
duduk, aku masuk memanggil Ibu Aisyah. Kami berdua bersama-sama menuju ruang
tamu.
“Oh, Pak Herman to.
Pasti ada yang penting sehingga Bapak berkunjung malam-malam begini,” kata Ibu
Aisyah seraya menyalami bapak tua yang ternyata sudah dikenalnya.
Aku bergegas pergi ke dapur untuk membuatkan minum. Tapi
bukan hanya karena alasan itu aku meninggalkan mereka. Kami diajarkan oleh Ibu
Aisyah untuk tidak ikut mendengarkan percakapan orang dewasa, terlebih yang tidak
ada kaitannya dengan kita.
Agak lama aku di dapur. Ketika dirasa cukup, kubawa
minuman dan makanan kecil ke depan. Benar perkiraanku, percapakan penting
mereka sudah selesai. Ketika aku sampai, mereka sudah bercakap ringan. Setelah
meletakkan makanan dan minuman di meja aku mohon pamit untuk istirahat.
“Duduklah dulu, Nilam. Ada yang ingin kami bicarakan
denganmu,” kata Ibu Aisyah mengurungkan langkahku. Aku duduk di samping Ibu
Aisyah dan siap mendengarkan apa yang ingin mereka katakan.
“Nilam, ini Pak Herman, donatur tetap panti kita.
Beliau datang jauh-jauh dari Semarang untuk bertemu denganmu.”
Aku bingung mendengar perkataan Ibu Aisyah. Ada apa
gerangan Pak Herman ingin bertemu denganku. Ada hubungan apa dia denganku.
Beragam tanya berkecamuk di kepala. Namun aku tetap diam menunggu.
“Pak Herman ini hidup sendiri. Beliau hanya ditemani
Mang Kosim supirnya. Semua anak-anaknya tinggal di luar negeri.”
Aku semakin bingung. Mengapa Ibu Aisyah bercerita
tentang Pak Herman kepadaku.
“Sudah lama Pak Herman memantau perkembangan kamu di sini melalui ibu,” lanjut Ibu Asiyah membuatku makin bingung. Apa sebenarnya yang diinginkan Pak Herman ini. Namun aku tetap mendengarkan tanpa menyela sedikit pun.
“Tadi, Pak Herman menyampaikan kepada ibu bahwa beliau
ingin mengadopsimu sebagai anak. Dan akan mengajakmu ke Semarang malam ini juga.”
Aku seperti tersambar petir. Kaget tak terkira mendengar perkataan ibu yang
terakhir. Walaupun aku sangat menginginkan proses adopsi, tapi tetap berita ini
sangat mengejutkan. Apalagi waktunya sangat tidak tepat menurutku. Besok sudah
lebaran. Tidak mungkin aku meninggalkan Ibu Aisyah dan adik-adikku. Aku ingin
berlebaran dengan mereka. Namun tak satu pun kata terucap dari bibirku yang
tiba-tiba kelu.
“Iya, Nilam. Tinggallah bersama Bapak, Nak. Bapak
sungguh kesepian karena hanya tinggal berdua dengan Mang Kosim. Bapak sudah
memperhatikanmu sejak lama. Makanya Bapak mau mengadopsimu karena Bapak yakin
kamu anak yang baik,” tambah Pak Herman.
“Kamu mau kan, Nak?” tanya Pak Herman.
“Bagaimana, Nilam? Kamu mau kan, Sayang?” timpal Ibu
Aisyah.
Aku semakin bingung. Beragam jawab bergejolak. Tanpa
menjawab pertanyaan Pak Herman dan Ibu Aisyah aku berlari ke dalam kamar. Aku
sadar kalau sikapku ini sangat tidak sopan. Tapi entahlah, aku seketika ingin
sendiri.
Sesampai di kamar aku menangis menelungkup bantal.
Sebenarnya aku bingung apa yang aku tangiskan. Seharusnya aku bahagia karena
ada yang mau mengadopsiku. Tapi ketakutan membayang di bibir jiwa. Sanggupkah
aku menjalani waktu tanpa celoteh riang adik-adikku dan tanpa belai kasih Ibu
Aisyah.
“Nilam, Sayang. Kenapa kamu malah menangis?” Tanya Ibu
Aisyah. Aku tak mendengar langkah Ibu Aisyah karena terlalu asyik dengan
pikiranku. Tiba-tiba dia sudah ada di sampingku dan membelai kepalaku.
“Apa yang kautangisi, Nak?” Tanya Ibu Aisyah lembut.
Aku bangun menghadap Ibu Aisyah. Tanpa sengaja
kutatap matanya. Ada tetesan air bening yang mengalir dari sana. Semakin nyeri
rasa ulu hatiku.
“Bu, Nilam takut. Nilam juga tidak sanggup
meninggalkan Ibu dan Adik-Adik,” kataku seraya memeluk Ibu Aisyah.
“Apa yang kau takutkan, Nak? Pak Herman itu orang
baik. Ibu tahu betul siapa beliau. Ibu tidak akan memberikanmu kepada sembarang
orang, Nak. Karena ibu sangat sayang padamu,” tutur Ibu Aisyah lembut seraya
membelai kepalaku.
“Kalau ibu sayang Nilam, kenapa ibu mengizinkan Pak
Herman mengadopsi Nilam. Biar Nilam sama Ibu saja. Nilam janji akan selalu
membantu Ibu sampai kapanpun,” kataku sambil berharap Ibu Aisyah mengabulkan
keinginanku.
“Nilam, Anakku. Memang benar ibu sangat sayang
padamu. Tapi bukan berarti ibu harus menahanmu di sini dengan penghidupan seadanya.
Dengan kamu diadopsi Pak Herman, kamu bisa melanjutkan sekolah dan meraih
cita-citamu,” Ibu menghela nafas sebelum kembali melanjutkan.
“Dulu, Ibu pernah bilang. Jika Allah belum mengizinkan
kamu diadopsi, maka hal itu tidak akan terjadi. Dan ternyata Allah
menghendakinya sekarang, Nak. Berangkatlah, Nilam. Kesempatan hanya datang
sekali. Jangan pikirkan Ibu dan Adik-Adikmu. Kami semua akan baik-baik saja.”
“Tapi besok lebaran, Bu. Nilam ingin lebaran bersama
ibu dan adik-adik,” kataku bersikukuh.
“Di manapun kamu berada, kamu masih tetap bisa
berlebaran, Nilam. Akan ada orang-orang terkasih yang selalu mengelilingimu.
Berkemaslah, ambil pakaianmu seperlunya saja,” kata Ibu Aisyah seraya beranjak
meninggalkanku.
Antara enggan dan mau, kukemasi barang-barang. Apa
yang dikatakan Ibu Aisyah semuanya benar. Aku harus tegar. Bukankah dalam hidup
selalu ada perjumpaan dan perpisahan. Itu kata Ibu Aisyah dulu.
Tepat jam 12 malam aku pamit kepada Ibu Aisyah.
Tanpa diiringi lambaian tangan adik-adik, aku meninggalkan Panti Asuhan Ibunda.
Dari dalam mobil aku melihat Ibu Aisyah kembali menitikkan air mata. Hatiku
sangat pedih. Perasaan kehilangan mengental di jiwa. Pesan terakhir Ibu Aisyah
masih terngiang di kepala. “Jadilah anak yang baik. Jangan lupa salat dan
membaca Alquran. Hormati Pak Herman karena dia orangtuamu sekarang.”
Sepanjang perjalanan kulalui dalam diam. Mungkin karena
lelah, tak sadar aku tertidur.
Menjelang subuh kami sampai di rumah Pak Herman.
Rumah yang sangat besar buatku. Aku juga mendapat kamar yang sangat mewah.
Kamar yang seumur hidup belum pernah aku miliki.
“Istirahatlah sejenak, Nilam. Besok pagi kita salat Id
bersama di masjid,” kata Pak Herman.
Sepeninggal Pak Herman aku menata baju di lemari
yang ada di sudut kamar. Membersihkan diri dan berbenah untuk berangkat ke
masjid esok pagi.
Pagi membuka malam. Mentari menyapa hangat. Gema takbir
mendayu syahdu.
Allahu Akbar
Allahu Akbar Allahu Akbar
Laa Ilaaha
Ilallahu Allahu Akbar
Allahu Akbar
Walillahilhamd
Alhamdulillah, Ya Allah. Telah engkau beri aku
kesempatan untuk sekali lagi meraih kemenangan. Kemenangan terbesar yang
kurasakan saat ini adalah bersyukur atas apa yang engkau limpahkan. Pahit atau
manis takdir yang engkau timpakan semoga tidak membuatku lalai untuk tetap
bersyukur pada-Mu.
Seiring gema takbir. Kutulis janji pada diriku dan
pada-Mu, Ya Allah.
Teruntuk Ibu
Aisyah
“Aku tidak akan
pernah melupakan
budi baikmu. Kan
kuraih cita-cita teriring doa
yang kau
kirimkan. Kelak, aku akan kembali padamu,
mengabdi pada
rumah kita. Hingga akhir hayatku.”
Teruntuk Ibu
yang tak pernah kutahu
“’Tlah kuikhlaskan segala apa
yang engkau timpakan. ‘Tlah kumaafkan
segala masalah yang engkau berikan.
Kan kureguk airmata agar kelak
menjadi mataair kesejukan bagi anak-anakku
hingga mereka tak merasakan dahaga kasih seorang ibu.”
Langganan:
Postingan (Atom)