Madu.
Kata yang tidak asing bukan? Berasa manis, menjadikan sikonsum si sehat, begitu
juga dengan bermuka madu, berhati madu, berbulan madu. Tapi bagaimana dengan
madu yang akan kuceritakan ini? Kalian boleh menafsirkan sesuka.
Baiklah
biar kuceritakan ciri-cirinya sebagai pembuka. Namanya Zahra. Tinggi badannya
melebihi tinggi badanku. Aku setinggi telingganya. Jika kutafsir tingginya
mencapai 160 cm. Dengan tubuh yang tidak begitu ideal. Jarinya tidak begitu
lentik. Wajahnya juga tidak begitu berkilau seperti perempuan-perempuan keturunan
Belanda lainnya. Mungkin yang membuatku tertarik padanya selain tatapanya yang
selalu menghargai lawan bicara adalah senyum yang mampu mengubahnya menjadi
perempuan memesona.
Tapi
aku terlalu muda untuk menafsirkan kecantikannya. Yang kutahu, tidak sengaja
kupergoki ibuku menangis ketika bertelepon dengannya. Ini kali ke dua, aku
melihat ibu bijaksanaku menangis. Aku tahu, ayahku pasti ingin memadu ibu
dengan perempuan itu.
Tidak
mudah aku mencari tahu nomer teleponnya. Melalui teman dekat ayah, akhirnya aku
berhasil mendapatkan. Aku menghubungi. Dia terkesan tersengat ketika tahu aku
yang meneteleponnya. Tidak mudah mengatur
janji dengan perempuan berlesung pipi tipis kiri ini. Dia hanya bersedia
menemuiku hari minggu. Aku siap menunggu.
“Maaf,”
kata awalku dalam menjamu perempuan yang biasa kupanggil Mbak Zahra. Aku
memilih tempat yang menjadi tempat faforit ayahku. Rumah makan gubuk, dengan
suasana persawahan. Seperti biasa ketika kami bertemu, dia mengelus pundakku.
Menggukir senyum dan memersilakan aku duduk.
“Ada
sesuatu yang ingin kau ceritakan, Rif?”
“Ini
tentang ibuku.”
Perempuan
yang bibirnya hampir tidak pernah berparas lipstik ini mendongak. Melepaskan
napas panjangnya.
“Ini
boleh diminum?” tanya perempuan yang kulihat sempat membelalakkan mata.
“Iya.”
Jawabku datar. Aku sengaja menyediakan minuman yang sesuai dengan isi kantongku
yang juga menjadi minuman faforit ayah; susu soda merah muda. Aku tahu, jika
kami memesan makan, Mbak Zahra pasti yang akan membayar. Tapi bukannya aku yang
mengundangnya? Aku mencoba menjadi laki-laki dewasa.
“Ibumu
kenapa, Rif?” suara yang tidak pernah berubah, serak-serak basah.
“Ibuku
menangis.”
“Rifki,
sudah bertanya kenapa Ibu menangis?”
“Tidak.”
“Kira-kira
Rifki tahu ibu menangis karena apa?”
“Iya.”
“Hem?”
perempuan itu mengelus rambutku. Aku merasakan ia telah menjadi ibu keduaku.
“Ibuku
ingin, keinginan ayahku tercapai.”
“Rifki
tahu, Ayah Rifki ingin apa?”
“Ingin
menikah dengan Mbak Zahra.”
Aku
tahu Mbak Zahra berpelik. Ia menyimakku lebih dalam dari sebelumnya. Mungkin
baginya anak seusia 15 tahun sepertiku tidak perlu tahu masalah orang dewasa.
“Rifki,”
“Ibuku
bersedia mundur demi kebahagiaan ayah. Mbak Zahra ingin tidak mau diduakan,
kan?” aku mencoba tidak mendengarkan hatiku sendiri. Bagiku kebahagiaan ibu
adalah milikku. Meskipun itu menjadikan hatiku terajam oleh belati
berkali-kali.
“Rifki,”
“Ayah
ingin anak perempuan. Ibu tidak bisa memberikan apa yang diinginkan ayah. Ibu
rela mundur, Mbak.” Aku tidak berani menatap perempuan keturunan Belanda itu.
Pasti air mataku takkan mampu tersumbat ketika sekali saja aku menatap matanya.
“Rifki
yang pintar membahagiakan ibu, Mbak Zahra akan mencoba membantu ibu Rifki untuk
punya anak perempuan ya? Mbak Zahra akan mencari tahu cara dari ilmu kedokteran
maupun agama, insyaAllah ada.”
“Tidak,
Mbak. Ibu sudah tidak mau hamil lagi. Ibu merasa usianya sudah tua. Ibu kasihan
jika anak keempatnya nanti tidak mendapat kasih sayang yang cukup dari ibu. Karena
menurut ibu, bisa saja kematiannya lebih awal dari pada kematian Rosul.” Aku
berdecak dalam hati. Kurasa lidahku tajam. Perasaanku melambung. Satu tetes air
mata tidak bisa kutahan. Celanaku terbasahi olehnya. Mbak Zahra menyodorkan
tisu. Aku mengusap air mata.
“Jika
ibu punya anak perempuan, Ibu juga tidak akan sanggup melihat anaknya termadu
oleh orang seperti ayah yang ingin memadu ibu.” Hatiku terasa teracuni oleh
kata-kataku sendiri. Entahlah apa yang dipikirkan Mbak Zahra. Selanjutnya, ia
mengeluarkan selembar kertas HVS putih dengan bolpoin merah. Aku tahu sejak
dulu Mbak Zahra yang kukenal sebagai teman mengajar ayah yang beberapa bulan
itu, suka warna merah. Ia menuliskan sesuatu. Entah apa. Aku masih tersibukkan
mencabut duri-duri pada hati.
“Rifki,
yang sudah pintar bersikap mandiri, Mbak Zahra tidak bisa berlama-lama. Selembar
kertas ini semoga bisa mewakili keputusan Mbak Zahra. Hem, minuman ini sudah
dibayar?” tanya Mbak Zahra memperpindah topik. Mbak Zahra paling pintar
memalingkan topik satu pada topik lainnya. Kadang aku merasa gemas padanya.
“Sudah,
Mbak.”
“Wah,
Mbak Zahra ditraktir Rifki dong?”
Aku
tersenyum, sedikit ada rasa bangga. Kuanggap kata-kata Mbak Zahra sebagai
pujian.
“Rifki,
tetap di sini dulu atau ikut pulang?”
“Biarkan
Rifki di sini dulu, Mbak.”
“Mbak
Zahra duluan ya?”
Aku
mengangguk.
##
Sore
ini, aku tidak bisa melepas ingatanku bertemu Mbak Zahra. Kubuka lembaran
sembari kubayangkan wajah Mbak Zahra yang pasi.
Rifki yang baik,
sebaik ayah dan ibu Rifki, terima kasih ya, sudah menerima Mbak Zahra seperti
saudara. Rifki, tahu sendiri, kan? Di zaman ini sulit sekali mendapatkan
saudara sebaik kalian.
Rifki, Mbak Zahra
mengerti perasaan Rifki, perasaan ayah dan ibu Rifki. Ayah Rifki yang
menginginkan Mbak Zahra menjadi istrinya untuk menjadi calon ibu anak
perempuannya. Ibu Rifki yang tidak sanggup melihat suaminya menderita. Dan
Rifki yang tidak bisa merasakan rasa sakit yang terus-menerus ada dihati ibu
Rifki.
Ayo kita mencoba
menganalisis, apakah Rifki yakin Mbak Zahra mampu memberi anak perempuan untuk
Ayah Rifki, sedang Mbak Zahra sendiri berharap punya anak laki-laki sebaik
Rifki. Jika Ibu Rifki yang siap dimadu bahkan siap mundur karena tidak bersedia
mempunyai darah daging perempuan karena anak perempuannya takut punya nasip
sama yaitu dimadu, bagaimana dengan Mbak Zahra yang seandainya punya anak
perempuan yang dimadu, sedang Mbak Zahra dimadu saja tidak mau, lebih
menyakitkan bukan?
Rifki, baru dua kali
ini Mbak Zahra merasa dihargai oleh cinta selain cinta dari keluaga. Rasanya
sakit. Bayangkan beberapa orang yang cintanya belum bisa Mbak Zahra terima
saja, rela menangis bahkan ada yang mengancam, bagaimana dengan dua orang yang
salah satunya adalah Ayah Rifki yang benar-benar mengharapkan kebahagiaan Mbak Zahra,
yang benar-benar tidak ingin ada orang
lain yang menyakiti Mbak Zahra?
Tapi sungguh
Rifki, kejujuran Ayah dan Ibu Rifki menjadikan hati Mbak Zahra tergurat. Sakit.
Telah banyak orang yang tersakiti oleh Mbak Zahra. Mungkin inilah salah satu
penyebab Mbak Zahra ingin segera menikah, supaya memutus rasa sakit untuk orang
yang sudah maupun akan mencintai Mbak Zahra, sedang Mbak Zahra sulit
mencintainya.
Rifki yang mulai
dewasa, salam untuk ibu hebat Rifki, sampaikan kekaguman Mbak Zahra kepadanya.
Mbak Zahra pernah membaca beberapa cerita yang tokoh perempuannya menginginkan
suaminya menikah lagi, Mbak Zahra tidak percaya karena naluri perempuan tidak
bisa diduakan. Tapi sekarang Ibu Rifki telah menunjukkan pengorbanan harta
terbesar perempuan, perasaannya; untuk membahagiakan Ayah Rifki.
Kurang hebat
apa Ibu Rifki?
Kehebatan apa
yang kurang pada diri Ibu Rifki di mata Ayah Rifki?
Ibu Rifki yang
begitu hebatnya saja akan dimadu, bagaimana dengan Mbk Zahra yang sering egois,
dan sering membuat Ayah Rifki menangis?
Semoga Rifki
memahami Mbak Zahra.
“Rifki,
teman ayah kecelakaan, masuk rumah sakit. Ibu ikut ayah menjenguk, Rifki jaga
rumah ya?” suara Ibu. Terasa Ibu mendongak dari pintu kamar. Aku hanya
mengangguk. Terdengar ibu mengunci pintu rumah dari luar. Kulipat lembaran yang
telah bercorak air mata.
Aku
tahu yang dimaksud ibu adalah Mbak Zahra. Mbak Zahra yang kutemui tertabrak
mobil yang melintas. Sedang menurut cerita para pedagang disekitar kejadian,
Mbak Zahra menyeberang jalan tanpa melihat ke kiri maupun ke kanan. Kejadian
itu tepat sepulang dari tempat kami janjian.
Aku
melihatnya tadi siang. Darahnya tercecer melumuri jilbab merah darah Mbak Zahra.
Orang-orang berbondong-bondong menghampiri. Ada yang menghubungi ambulan. Da
juga yang mengurus tubuh Mbak Zahra. Tubuh Mbak Zahra ditutupi koran.
Aku
menutup mata, tak sanggup membayangkan.
IMSICX
Wuluhan, 30 Januari 2013