Oleh : Tara Tralala
BEBERAPA hari ini memang sulit
bagiku untuk bisa makan daging yang lezat. Makanan sehari-hariku hanya nasi,
tempe, dan sambal tomat tanpa terasi. Menjadi rutinitasku. Memang tak pernah
menjadi masalah yang perlu dikeluhkan.
Ah, sudahlah, hanya persoalan makanan saja, syukur-syukur masih ada yang bisa
dimakan untuk hari ini bersama kakakku.
Pagi ini seperti biasanya, aku menemani Kak Ara yang akan pergi
bekerja. Ini hari kelimanya bekerja di sebuah toko asesoris yang tak jauh dari
wilayah pertokoan buku Toga Mas. Di sana juga bersebelahan dengan rental PS3
yang selalu ramai oleh beberapa anak SD yang membolos atau beberapa juga dari
kalangan anak jalanan berpakaian lusuh. Itu yang selama ini aku perhatikan
selama kakak bekerja di daerah itu.
Dan aku benar-benar iri melihat mereka. Aku justru
ingin sekolah, tapi mereka malah berkata, “Aku males banget sekolah”. Itulah yang aku pernah dengar dari keluh
kesah mereka saat mereka lebih asyik memilih membolos sekolah dan lebih
mengutamakan jam bermain PS3 di sini.
Selama Kak
Ara bekerja sampai pukul empat
sore nanti aku hanya bermain di sekitar tempat kerjanya. Kalau tidak di toko
buku, ya di tempat PS3. Di mana lagi. Kak Ara sudah cukup bekerja keras untuk
mencari nafkah untuk keluarga. Aku menjadi terlalu dewasa rasanya untuk
berpikir seperti ini, tetapi inilah yang aku rasakan. Tak lagi bisa bermanjaan
di pangkuan Ayah
Ibu sejak mereka bercerai dan memutuskan untuk berpisah.
Ibu malah memutuskan untuk kerja di Malaysia. Sedangkan
Ayah entah pergi kemana. Kak Ara yang tak bisa meneruskan kuliah karena tak ada
dana lagi, membuatku pun juga tak bisa sekolah seperti mereka yang malah lebih
memilih asyik bermain-main. Seharusnya aku sudah kelas empat jika aku bisa seperti
mereka. Ah, aku mulai berandai lagi. Lamunan kosong dengan senyum yang tak
berarah. Kapan aku bisa merasakan seperti mereka?
***
Sore ini Kak
Ara terlihat pucat, tak seperti biasanya. Mungkin kelelahan. Dari semalam kak Ara
lembur dadakan. Aku tidur sendirian di rumah. Hmmmmp… tidak menyeramkan, tetapi
begitu sunyi dan aku kesepian tanpa Kak
Ara.
Baru saja aku berjalan di depan sebuah Cafe Italian yang bercat
coklat dengan suasana yang klasik berdinding ukiran kayu jati dan penuh
tempelan-tempelan hiasan bergambarkan aneka jajanan ala Italia.
Ramai sekali pengunjungnya hari ini. Makanan seenak apa
ya di sana? Yang sering aku lihat di sana orang lebih menyukai kue keju khas Italia yang ditaburi bubuk kakau di atasnya. Kue ini termasuk dalam hidangan penutup yang
biasanya dimakan dengan menggunakan sendok sehingga digolongkan dalam hidangan
“al cucchiaio” atau
“dengan sendok”.
Kue ini tidak dibuat dalam adonan dan
juga tidak dipanggang. Kue ini berbahan dasar biskuit yang sudah direndam
terlebih daulu ke dalam larutan kopi dan keju mascarpone. Biskuit tersebut disusun dan dilapisi
dengan krim kocok sebelum didinginkan di lemari es supaya bentuknya tidak
hancur ketika dihidangkan. Itu yang orang katakan dengan sebutan Tiramissu.
Seenak apa ya? Apa jajanan pasar yang
biasa kak Ara belikan itu kalah enaknya? Yang menjadi menu
spesial disini seperti Tiramisu, Cheese Cake, Sandwich, Sop Buntut. Selain itu
aneka sajian menu yang lainnya semisal Salad, Sandwich, Burger and Hot Dog, juga ada. Mahal kata Kak Ara.
Pasti enak.
Hmmpp… beberapa bungkus makanan dan
kantong plastik hitam berserakan di samping café itu. Jadi pemandangan yang
jorok jika perhatikan. Tak jauh dariku, tempat sampah itu begitu penuh, tak
muat tongnya. Pengangkut sampah mungkin berhalangan hari ini untuk bertugas
mengosongkan seluruh isi sampah-sampah itu. Iseng, aku berjalan ke arah tong
biru itu. “Uh…jorok” lirihku kesal. Tunggu dulu.
Mataku yang sedari tadi menyapu
seluruh sampah-sampah itu malah tersangkut sesuatu. Lihat, ada potongan kertas
merah kecil. Berbentuk lingkaran berstiker gambar Ayam. Ada tulisan yang besar
bertuliskan “KUPON”.
Tanpa pikir panjang aku segera
memungutnya. Ada tulisan kecil juga di bawahnya : “Kumpulkan 10 kupon ini dan
kamu akan mendapatkan 1 porsi Ayam panggang pedas spesial”.
“HHmmmpp…nyummy..aku mauuu…”, lirihku yang
berusaha menelan ludah yang terasa begitu menggiurkanku.
Aku akan coba untuk mengumpulkannya.
Aku akan makan daging, asyik. Oke, sekarang ada dua kupon yang tercecer di sana, dan kini di tanganku, kurang delapan kupon lagi. “Ship”
yakinku girang.
***
Sampai beberapa hari berlalu, mungkin
sekitar satu minggu sudah aku tak pernah absen untuk tidak melewati tong sampah
itu. Tak peduli aku orang mau bilang aku bocah si pemungut sampah. Aku hanya sedang memunguti daging
ayam pedasku. Aku akan makan daging Ayam sebentar lagi.
Lagi-lagi aku menahan tawaku yang
benar-benar meluap begitu saja tanpa aku komando. “1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8,
9,….”, tanganku kembali
mengamati kertas-kertas kupon itu. “Masih sembilan, kurang satu kupon lagi,
Sempurna!” aku sampai tak sadar saat tubuhku berloncat-loncat terlalu
gembira. Ada beberapa anak berjalan melewatiku dan menatapku dengan keheranan.
Aku akan dapat ayam panggang.
“Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah”, syukurku dengan
menggenggam sembilan kupon ayam kutangkupkan tangan di dada. Sampai Kak Ara bertanya padaku, “Bima sepertinya sedang gembira sekali?
Ada apa ni? Cerita donk?” Ledek Kak Ara padaku saat dalam perjalanan pulang hari ini.
Aku hanya tersenyum dan berlari
mendahului langkahnya. “Ayaaaaaamm……kita akan makan ayam, kak !!” teriakku
senang. Tak sabar untuk menemukan kupon terakhirnya. Ayamku tunggu aku ya. Kak
Ara ikut tersenyum melihat tingkahku yang begitu ceria.
***
Dua hari sudah berlalu lagi, aku tak
melihat satu kupon pun bercecer di
sana. Kemana ya? Biasanya ada, walau hanya satu saja, mungkin hari ini kupon
itu terbawa angin. Ya sudahlah. Hari ini ada satu guratan kecewa, tetapi Kak Ara bilang tadi, “Besok kita cari lagi ya, Bima jangan
sedih, kan kupon ayamnya masih banyak, mungkin hari ini belum rejekinya, oke”, hibur Kak Ara.
Keesokan harinya, pukul 13.45 sudah.
Aku ingin datang mencari kupon ayam lagi, tetapi hari ini sama seperti hari
kemarin. Tak juga aku temukan kupon kesepuluh itu. “Sabar ya Bima sayang”, ujar Kak Ara yang mencoba
menenangkanku. Kali ini Kak Ara membelikanku
es wawan rasa cokelat kesukaanku. Sedikit terhibur memang, tetapi
hatiku masih penasaran dengan kupon terakhir itu.
***
Lima hari ini tak juga
aku berhenti menghitung. Kupon itu harus aku temukan di sana. Semoga ada hari ini. Langkahku
begitu gusar, tak sabar untuk menggenggam kupon terakhir itu.
Tepat dihadapanku, ada tiga ikat
kantong plastik hitam yang terbungkus rapi di sana. Di bawahnya terjepit plastik putih yang membuatku
penasaran. Aku mencoba mengambilnya.
Senyumku menjadi berkembang lagi,
“ada!” teriakku. Beberapa pembeli menoleh ke arahku keheranan. Aku tak peduli,
aku dapat potongan terakhir itu, terima kasih Ya Allah. Aku segera beranjak
berdiri dan ingin segera menghampiri Kak Ara yang masih
sibuk bekerja di seberang jalan sana.
Aku masih melihatnya, Kak Ara masih membereskan beberapa barang yang berantakan di
sana. Tak peduli. Aku tak peduli. Aku berlari tanpa mengamati mereka yang
mengamatiku. Aku masih berlari menyeberangi jalan itu. Dan “Braaaaakkkkkk !!” sampai sepuluh kupon itu terbang
tercecer di jalan. Bertaburan di sekitarku.
Dan aku tersenyum menahan kesakitan
yang lambat laun menghilang dengan sejuta kebodohanku tentang daging ayam panggang pedas yang terbayang akan aku makan dengan lahap
dengan Kak Ara. “Kak Ara, maafin Bima”, lirihku
panjang.
***
bagus sekali kisah ini,apa ini kisah nyata buat tara,bergetar hati membaca'y..
BalasHapus