Oleh : Lia Salsabila
Kurasakan kesejukan yang belum pernah membelai raga,
juga jiwa, ketika sampai di tempat ini. Tempat yang tak pernah kutahu nama dan
arahnya. Beragam bunga menganguk anggun dan semerbak. Pohon-pohon menjulang
gagah. Kupu dan kumbang berkejaran di sela mawar. Aku semakin takjub tatkala
ricik air mulai menyapa gendang telinga. Seberkas cahaya menyilaukan membuat
mataku terpejam. Sayup kudengar seseorang memanggil namaku.
“Nilam, kemarilah, Sayang. Ibu ingin mendekapmu. Ibu
sungguh merindukanmu.”
Aku tergeragap. Samar terlihat seraut wajah tak
asing. Wajah yang seolah tiap hari kutatap.
“Ya Allah, mengapa wajahnya sama dengan wajahku.”
Tak berkedip aku menatap wanita itu. Menahan tanya yang tak mampu kusuarakan.
“Nilam, ini ibu, Nak. Kemarilah.” Kembali wanita itu
memanggil namaku. Keringat dingin merembes perlahan di kening dan leherku.
Tidak mungkin dia ibuku. Tidak mungkin.
Wanita itu berjalan mendekat. Aku tertegun namun tak
urung kakiku melangkah menjauhinya. Semakin dia mempercepat langkah semakin aku
menambah kecepatan langkah. Aku berlari dan terus berlari tanpa sedikit pun
berpaling dari wajahnya.
“Nilam, ini ibu, Nak. Jangan lari sayang.”
“Tidak! Tidak mungkin! Tidaaaaaaakk!!!!
“Nilam…Nilam… Bangun, Sayang. Ayo bantu ibu siapkan
makanan sahur untuk adik-adikmu.”
Lembut suara Ibu Aisyah kudengar seraya menggoyang
pelan tubuhku, membangunkanku. Setengah terlelap aku mengangguk. “Ya Allah.
Hanya mimpi,” batinku.
“Iya, ibu, Nilam sudah bangun kok,” tergeragap kujawab
panggilan Ibu Aisyah.
Aku terduduk. Bingung. Mimpi tadi terasa begitu
nyata. Aku termangu. Bergegas kulipat rapat selimut dan mengenakan jilbab yang
baru setahun ini kukenakan. Terkantuk-kantuk, aku mengikuti langkah ibu ke
dapur.
Sebagai anak tertua memang sudah kewajibanku
membantu ibu mengerjakan pekerjaan rumah tangga setiap hari. Menyapu, mencuci
piring, mencuci baju, dan memasak. Apalagi sekarang sahur pertama. Ibu yang
semakin menua sudah tak sanggup melakukan semua pekerjaan rumah tangga sendiri.
“Nilam, kenapa bengong, sayang. Lekaslah kaujerang
air. Waktu imsak sudah hampir tiba. Kasihan adik-adikmu kalau tidak sempat
sahur,” tegur Ibu Aisyah lembut membuyarkan lamunanku. Segera aku bergegas
membantu Ibu Aisyah.
Ramadan selalu memberi kenangan indah dan pahit
buatku. Indah karena kebersamaan keluarga besar kami yang begitu rukun satu
sama lain. Pahit karena tak pernah bisa melalui Ramadan bersama ayah dan ibu
kandungku.
Aku tinggal di Panti Asuhan Ibunda bersama 20 anak
lainnya. Kebetulan aku anak tertua karena yang seumuran denganku sudah diadopsi
semua. Pedih terasa di dada ketika mengingat teman-teman sebaya direnggut dari
sisiku. Pedih semakin menjadi ketika mengingat tak satu pun orang yang mau
mengadopsiku. Tak jarang aku mempertanyakan masalah itu kepada Ibu Aisyah.
Mengapa tak ada yang mau mengadopsiku. Apakah aku tidak layak untuk menjadi
anak mereka. Ibu Aisyah selalu tersenyum menanggapi pertanyaanku. “Bukan tak
ada yang mau padamu, Nilam. Hanya saja Allah belum mengizinkan kamu
meninggalkan ibu. Kelak, kalau sudah sampai waktunya, ibu yakin kamu akan
mendapatkan ayah dan ibu yang terbaik.” Selalu begitu jawaban Ibu Aisyah ketika
aku berkeluh dan merajuk padanya.
Walaupun bukan ibu kandung, Ibu Aisyah sangat sayang
padaku, juga terhadap semua anak-anak di panti. Hanya karena aku yang paling
tua maka aku lebih dekat dengan Ibu Aisyah.
Ibu Aisyah seorang janda tanpa anak. Suaminya
meninggal limabelas tahun lalu karena kecelakaan. Itulah awal berdirinya panti
asuhan Ibunda. Karena kesepian, Ibu Aisyah memungut anak-anak jalanan atau
yatim piatu, dan di bawa ke rumahnya. Ceritanya, aku ditemukan di tengah semak
tak jauh dari rumahnya. Pedih sekali rasanya ketika mendengar cerita Ibu
Aisyah. Ternyata aku anak yang tak diharapkan.
Sebagai anak tertua tentunya aku harus menjadi
panutan dalam segala hal. Juga menjadi pengayom bagi adik-adikku. Setiap pagi
aku membantu Ibu Aisyah menyiapkan sarapan, menyiapkan mereka untuk ke sekolah.
Membantu mereka belajar. Menemani bermain dan kadang harus mendongeng juga. Aku
sendiri baru lulus SMP. Ibu Aisyah tidak mampu menyekolahkanku lebih tinggi
lagi. Aku sadar dan tidak menuntut terlalu banyak dari Ibu Aisyah. Pemasukan
dari donatur yang dia terima sangat minim. Itu pun kadang masih kurang untuk
makan. Aku mengalah demi adik-adikku yang lain. Agar mereka juga bisa mengenyam
bangku sekolah. Aku tak patah semangat. Walau tak sekolah, aku tetap belajar
dan akan terus belajar. Bukankah ilmu tak selalu harus diperoleh dari bangku
sekolah.
Biasanya di bulan Ramadan begitu ramai kujungan dari
orang luar. Tujuan mereka berbeda-beda. Kebanyakan bersedekah dan minta doa
pada kami. Yang paling banyak berkunjung adalah pasangan suami istri yang ingin
mengadopsi salah satu dari kami. Seperti sudah tradisi saja, mengadopsi anak di
bulan Ramadan. Seperti Ramadan kali ini, baru hari ketiga sudah dua orang
adikku diadopsi mereka. Sedih, karena harus berpisah dengan mereka. Tetapi juga
bahagia karena beban Ibu Aisyah agak berkurang, dan mereka mendapatkan
kehidupan lebih layak dibanding di panti. “Ternyata sedih dan bahagia begitu
dekat berdampingan, sehingga kadang kita tidak sadar bahwa sudah bersedih dan
berbahagia dalam waktu bersamaan,” batinku.
Seperti anak-anak yang lain, aku pun harap-harap
cemas menanti pasangan suami istri yang mau mengadopsiku. Namun keinginanku itu
juga sebesar ketakutanku. Aku memimpikan bagaimana indahnya hidup bersama dua orangtua
yang sayang padaku. Melanjutkan sekolah setinggi-tingginya. Dan yang terpenting,
aku bisa menikmati indahnya lebaran dengan keluarga yang utuh. Namun, aku takut
tak terbiasa dengan sepi. Dan yang paling aku takuti adalah kedua orangtua
angkatku tak sesayang Ibu Aisyah padaku.
Hingga menjelang malam lailatul qadar, belum ada
tanda-tanda dari pasangan suami istri yang mau mengadopsiku. Putus harap sudah
memenuhi relung jiwa. Tiap malam aku berdoa. Entah untuk keinginan yang mana.
Muncul prasangka bahwa tidak akan pernah ada yang mau mengadopsi seorang anak
yang memang tak pernah diharap kehadirannya.
Aku tidak habis pikir, mengapa banyak orangtua yang
tidak bertanggung jawab, termasuk ayah dan ibu kandungku. Membuang begitu saja
ketika tidak mengharapkan kami lahir. Dalam doa aku hanya bisa memintal harap
untuk bisa bertemu dengan ibu yang melahirkanku. Dalam malam-malam sepi aku
hanya ditemani barisan puisi seraya mengenangmu, Ibu.
Malam menjelang.
Aku mencari bayang. Wajahmu
yang tak kukenal
meski dalam kenang
apalagi dekapan
sayang, belai kasih yang tak lekang
Pagi menjelang.
Aku mencari bayang. Hatimu
yang tak pernah
kutahu meski ada rindu
agar kau menjadi
cahaya ketika
matahari gerhana
dan rembulan tak purnama
Bu, aku sungguh
ingin bertemu
meski hanya sekali waktu
tuntaskan segala soal dan rindu
hingga aku tahu ada surgamu
Hari raya Idul Fitri sudah di depan mata. Adikku
berkurang enam orang. Mereka langsung dibawa oleh orangtua barunya. Mengingat
perpisahan itu, aku kasihan kepada Ibu Aisyah. Tetapi juga bahagia karena
kehidupan adik-adikku akan berubah di tempat tinggalnya yang baru.
Kesibukan di panti cukup padat. Aku membagi tugas
kepada adik-adik yang lain. Adik laki-laki membantu Pak Maman mengecat rumah
dan membersihkan halaman. Adik-adik perempuan membantuku dan Ibu Aisyah membuat
kue. Bayangan kepedihan di wajah adik-adikku sedikit terkikis oleh kesibukan
ini.
Aku sendiri telah menyimpan rapat harap bahwa akan
ada yang datang mengadopsiku Ramadan kali ini. Pikiran aku fokuskan pada
persiapan menyambut lebaran. Aku tak ingin menambah beban Ibu Aisyah dengan
memperlihatkan kesedihanku.
“Alhamdulillah, Ramadan kali ini banyak donatur yang
menyumbang ya, Bu,” kataku pada Ibu Aisyah sambil tetap mengaduk adonan kue.
“Iya, Nilam. Alhamdulillah,” jawab Ibu Aisyah.
“Akhirnya kita bisa merayakan kemenangan dengan
pesta meriah, Bu,” ucapku gembira.
Hening sejenak. Ibu Aisyah tak menanggapi ucapanku
yang terakhir. Hanya helaan nafas panjangnya yang terdengar. Setelah sekian
menit baru Ibu Aisyah berbicara kembali.
“Nilam, anakku. Perlu kauketahui dan ingat.
Kemenangan tidak selalu harus dirayakan dengan sebuah pesta, makanan enak dan
pakaian mewah. Kemenangan akan menjadi sempurna ketika kita bersyukur setulus
hati. Dan kemenangan akan mendatangkan ketidakbaikan apabila dirayakan dengan
sebuah keterpaksaan.”
Aku tertegun mendengar tutur kata Ibu Aisyah. Dalam
hati aku bersyukur karena dibesarkan oleh wanita seperti dia.
“Iya, Ibu. Nilam mengerti. Maafkan Nilam karena
terlalu terbawa perasaan,” kataku lirih.
Suasana kembali hening. Kami sibuk dengan pekerjaan
masing-masing. Sesungguhnya ada tanya yang menyesak di dada. Namun aku masih
ragu untuk mengutarakannya. Tapi tak tahan dengan keheningan yang terasa
menggigit jiwa, aku memberanikan diri.
“Bu, bolehkah Nilam bertanya sesuatu?” ucapku lirih
memecah kesunyian.
“Boleh, Nilam. Kamu mau bertanya apa?” jawab Ibu
Aiysah.
“Mengapa seorang ibu tega membuang anaknya, Bu?”
tanyaku ragu.
Ibu Aisyah tak segera menjawab. Dia menatapku lekat
seraya menghela nafas panjang.
“Banyak alasan mengapa seorang ibu tega membuang
anaknya, Nilam. Karena masalah ekonomi, misalnya,” jawab Ibu Aisyah lembut.
“Tapi, Bu, menurut Nilam itu bukan sebuah alasan. Walaupun
hidup serba kekurangan, seorang anak pasti akan bahagia jika tinggal dengan
kedua orangtuanya, daripada harus hidup di jalanan atau panti asuhan,” ucapku
sedikit emosi.
“Nilam, anakku. Kamu belum tahu, Nak. Kehidupan di
luar sana begitu pelik dengan beragam masalah. Orangtua manapun tidak akan tega
membuang anaknya tanpa alasan yang kuat. Terlebih seorang ibu. Dia mengandung
selama 9 bulan dan mempertaruhkan nyawa ketika melahirkan,” jelas Ibu Aisyah,
tetap dengan lembut.
“Jangan-jangan Nilam lahir dari sebuah hubungan
terlarang. Atau karena tak diketahui siapa bapak Nilam. Makanya ibu tega
membuang Nilam di semak-semak. Untung Ibu Aisyah yang menemukan Nilam.
Bagaimana jika yang menemukan orang jahat. Mungkin Nilam akan dipaksa menjadi
orang jahat juga. Tidak, Bu, Nilam tidak bisa menerima alasan apapun,” kataku
serak karena menahan tangis dan amarah.
“Sudahlah, Nilam. Kelak, seiring berjalannya waktu,
kamu akan menemukan jawabannya. Jangan rusak hatimu dengan amarah dan dendam.
Yang perlu kamu lakukan sekarang, selalu bersyukur kepada Allah karena kamu
masih berada dalam kebaikan. Dan yang terpenting, siapapun kamu, ibu akan tetap
menyayangimu seperti ibu menyayangi anak kandung ibu,” ucap Ibu Aisyah mendekap
dan membelai kepalaku. Aku hanya mengangguk dan melanjutkan tangis yang tadi
tertahan dalam dekapan Ibu Aisyah.
Kesibukan bertambah menjelang dua hari sebelum
lebaran. Panti sudah terlihat lebih bersih dan baru. Kesedihan yang sempat
menaungi wajah adik-adikku, sirna. Tawa dan canda mereka menggema di setiap
sudut panti. Setelah percakapanku dengan Ibu Aisyah kemarin, aku sedikit lebih
tenang. Kepasrahan dan keikhlasan mulai meresap di rongga jiwa walau belum
sepenuhnya.
Menjelang malam takbiran. Suasana gembira begitu
kental. Aku, Ibu Aisyah dan semua anak-anak Panti Asuhan Ibunda menyiapkan
pakaian dan mukena salat Id besok. Setelah selesai, kami berkumpul dan
bercengkrama bersama di ruang makan. Karena hanya ruangan itu yang paling
besar. Kami bercanda, tertawa tanpa jeda. Terlebih ketika si Gembul (adikku
yang paling gendut) bercerita sambil menggoyang-goyangkan badannya, kami
tertawa sampai terpingkal-pingkal. Ibu Aisyah sendiri sampai menitikkan air
mata.
Tak terasa waktu beranjak sangat cepat. Tepat jam 10
malam Ibu Aisyah menyuruh adik-adik kembali ke kamar masing-masing untuk
istirahat. Aku dan Ibu Aisyah membereskan ruang makan. Ketika kami mau kembali
ke kamar tiba-tiba bel pintu rumah berbunyi.
“Siapa ya, Nak, malam-malam begini bertamu,” kata Ibu
Aisyah.
“Biar Nilam yang lihat, Bu,” kataku seraya berjalan
ke arah pintu ruang tamu.
Ketika membuka pintu, tampak seorang bapak tua duduk
di kursi roda dengan seorang laki-laki yang lebih muda.
“Assalamualaikum,” ucap sang Bapak.
“Walaikumsalam,” jawabku.
“Ini pasti Nilam,” kata Bapak, membuatku kaget
karena dia tahu namaku.
“Ibu Aisyah ada, Nak,” kata bapak lagi.
“A..a..ada, Pak. Silakan masuk,” jawabku gugup
seraya mundur memberi jalan.
Setelah mempersilakan lelaki yang menemani Bapak itu
duduk, aku masuk memanggil Ibu Aisyah. Kami berdua bersama-sama menuju ruang
tamu.
“Oh, Pak Herman to.
Pasti ada yang penting sehingga Bapak berkunjung malam-malam begini,” kata Ibu
Aisyah seraya menyalami bapak tua yang ternyata sudah dikenalnya.
Aku bergegas pergi ke dapur untuk membuatkan minum. Tapi
bukan hanya karena alasan itu aku meninggalkan mereka. Kami diajarkan oleh Ibu
Aisyah untuk tidak ikut mendengarkan percakapan orang dewasa, terlebih yang tidak
ada kaitannya dengan kita.
Agak lama aku di dapur. Ketika dirasa cukup, kubawa
minuman dan makanan kecil ke depan. Benar perkiraanku, percapakan penting
mereka sudah selesai. Ketika aku sampai, mereka sudah bercakap ringan. Setelah
meletakkan makanan dan minuman di meja aku mohon pamit untuk istirahat.
“Duduklah dulu, Nilam. Ada yang ingin kami bicarakan
denganmu,” kata Ibu Aisyah mengurungkan langkahku. Aku duduk di samping Ibu
Aisyah dan siap mendengarkan apa yang ingin mereka katakan.
“Nilam, ini Pak Herman, donatur tetap panti kita.
Beliau datang jauh-jauh dari Semarang untuk bertemu denganmu.”
Aku bingung mendengar perkataan Ibu Aisyah. Ada apa
gerangan Pak Herman ingin bertemu denganku. Ada hubungan apa dia denganku.
Beragam tanya berkecamuk di kepala. Namun aku tetap diam menunggu.
“Pak Herman ini hidup sendiri. Beliau hanya ditemani
Mang Kosim supirnya. Semua anak-anaknya tinggal di luar negeri.”
Aku semakin bingung. Mengapa Ibu Aisyah bercerita
tentang Pak Herman kepadaku.
“Sudah lama Pak Herman memantau perkembangan kamu di sini melalui ibu,” lanjut
Ibu Asiyah membuatku makin bingung. Apa sebenarnya yang diinginkan Pak Herman
ini. Namun aku tetap mendengarkan tanpa menyela sedikit pun.
“Tadi, Pak Herman menyampaikan kepada ibu bahwa beliau
ingin mengadopsimu sebagai anak. Dan akan mengajakmu ke Semarang malam ini juga.”
Aku seperti tersambar petir. Kaget tak terkira mendengar perkataan ibu yang
terakhir. Walaupun aku sangat menginginkan proses adopsi, tapi tetap berita ini
sangat mengejutkan. Apalagi waktunya sangat tidak tepat menurutku. Besok sudah
lebaran. Tidak mungkin aku meninggalkan Ibu Aisyah dan adik-adikku. Aku ingin
berlebaran dengan mereka. Namun tak satu pun kata terucap dari bibirku yang
tiba-tiba kelu.
“Iya, Nilam. Tinggallah bersama Bapak, Nak. Bapak
sungguh kesepian karena hanya tinggal berdua dengan Mang Kosim. Bapak sudah
memperhatikanmu sejak lama. Makanya Bapak mau mengadopsimu karena Bapak yakin
kamu anak yang baik,” tambah Pak Herman.
“Kamu mau kan, Nak?” tanya Pak Herman.
“Bagaimana, Nilam? Kamu mau kan, Sayang?” timpal Ibu
Aisyah.
Aku semakin bingung. Beragam jawab bergejolak. Tanpa
menjawab pertanyaan Pak Herman dan Ibu Aisyah aku berlari ke dalam kamar. Aku
sadar kalau sikapku ini sangat tidak sopan. Tapi entahlah, aku seketika ingin
sendiri.
Sesampai di kamar aku menangis menelungkup bantal.
Sebenarnya aku bingung apa yang aku tangiskan. Seharusnya aku bahagia karena
ada yang mau mengadopsiku. Tapi ketakutan membayang di bibir jiwa. Sanggupkah
aku menjalani waktu tanpa celoteh riang adik-adikku dan tanpa belai kasih Ibu
Aisyah.
“Nilam, Sayang. Kenapa kamu malah menangis?” Tanya Ibu
Aisyah. Aku tak mendengar langkah Ibu Aisyah karena terlalu asyik dengan
pikiranku. Tiba-tiba dia sudah ada di sampingku dan membelai kepalaku.
“Apa yang kautangisi, Nak?” Tanya Ibu Aisyah lembut.
Aku bangun menghadap Ibu Aisyah. Tanpa sengaja
kutatap matanya. Ada tetesan air bening yang mengalir dari sana. Semakin nyeri
rasa ulu hatiku.
“Bu, Nilam takut. Nilam juga tidak sanggup
meninggalkan Ibu dan Adik-Adik,” kataku seraya memeluk Ibu Aisyah.
“Apa yang kau takutkan, Nak? Pak Herman itu orang
baik. Ibu tahu betul siapa beliau. Ibu tidak akan memberikanmu kepada sembarang
orang, Nak. Karena ibu sangat sayang padamu,” tutur Ibu Aisyah lembut seraya
membelai kepalaku.
“Kalau ibu sayang Nilam, kenapa ibu mengizinkan Pak
Herman mengadopsi Nilam. Biar Nilam sama Ibu saja. Nilam janji akan selalu
membantu Ibu sampai kapanpun,” kataku sambil berharap Ibu Aisyah mengabulkan
keinginanku.
“Nilam, Anakku. Memang benar ibu sangat sayang
padamu. Tapi bukan berarti ibu harus menahanmu di sini dengan penghidupan seadanya.
Dengan kamu diadopsi Pak Herman, kamu bisa melanjutkan sekolah dan meraih
cita-citamu,” Ibu menghela nafas sebelum kembali melanjutkan.
“Dulu, Ibu pernah bilang. Jika Allah belum mengizinkan
kamu diadopsi, maka hal itu tidak akan terjadi. Dan ternyata Allah
menghendakinya sekarang, Nak. Berangkatlah, Nilam. Kesempatan hanya datang
sekali. Jangan pikirkan Ibu dan Adik-Adikmu. Kami semua akan baik-baik saja.”
“Tapi besok lebaran, Bu. Nilam ingin lebaran bersama
ibu dan adik-adik,” kataku bersikukuh.
“Di manapun kamu berada, kamu masih tetap bisa
berlebaran, Nilam. Akan ada orang-orang terkasih yang selalu mengelilingimu.
Berkemaslah, ambil pakaianmu seperlunya saja,” kata Ibu Aisyah seraya beranjak
meninggalkanku.
Antara enggan dan mau, kukemasi barang-barang. Apa
yang dikatakan Ibu Aisyah semuanya benar. Aku harus tegar. Bukankah dalam hidup
selalu ada perjumpaan dan perpisahan. Itu kata Ibu Aisyah dulu.
Tepat jam 12 malam aku pamit kepada Ibu Aisyah.
Tanpa diiringi lambaian tangan adik-adik, aku meninggalkan Panti Asuhan Ibunda.
Dari dalam mobil aku melihat Ibu Aisyah kembali menitikkan air mata. Hatiku
sangat pedih. Perasaan kehilangan mengental di jiwa. Pesan terakhir Ibu Aisyah
masih terngiang di kepala. “Jadilah anak yang baik. Jangan lupa salat dan
membaca Alquran. Hormati Pak Herman karena dia orangtuamu sekarang.”
Sepanjang perjalanan kulalui dalam diam. Mungkin karena
lelah, tak sadar aku tertidur.
Menjelang subuh kami sampai di rumah Pak Herman.
Rumah yang sangat besar buatku. Aku juga mendapat kamar yang sangat mewah.
Kamar yang seumur hidup belum pernah aku miliki.
“Istirahatlah sejenak, Nilam. Besok pagi kita salat Id
bersama di masjid,” kata Pak Herman.
Sepeninggal Pak Herman aku menata baju di lemari
yang ada di sudut kamar. Membersihkan diri dan berbenah untuk berangkat ke
masjid esok pagi.
Pagi membuka malam. Mentari menyapa hangat. Gema takbir
mendayu syahdu.
Allahu Akbar
Allahu Akbar Allahu Akbar
Laa Ilaaha
Ilallahu Allahu Akbar
Allahu Akbar
Walillahilhamd
Alhamdulillah, Ya Allah. Telah engkau beri aku
kesempatan untuk sekali lagi meraih kemenangan. Kemenangan terbesar yang
kurasakan saat ini adalah bersyukur atas apa yang engkau limpahkan. Pahit atau
manis takdir yang engkau timpakan semoga tidak membuatku lalai untuk tetap
bersyukur pada-Mu.
Seiring gema takbir. Kutulis janji pada diriku dan
pada-Mu, Ya Allah.
Teruntuk Ibu
Aisyah
“Aku tidak akan
pernah melupakan
budi baikmu. Kan
kuraih cita-cita teriring doa
yang kau
kirimkan. Kelak, aku akan kembali padamu,
mengabdi pada
rumah kita. Hingga akhir hayatku.”
Teruntuk Ibu
yang tak pernah kutahu
“’Tlah kuikhlaskan
segala apa
yang engkau
timpakan. ‘Tlah kumaafkan
segala masalah
yang engkau berikan.
Kan kureguk airmata agar kelak
menjadi mataair kesejukan bagi anak-anakku
hingga mereka tak merasakan dahaga kasih seorang ibu.”