Oleh: Rugyinsun
“Neraka sudah
ditutup, dikunci rapat dan setan dibelenggu. Artinya, tak akan ada kejahatan di
bulan yang penuh berkah ini.”
Naman masih ingat
secara rinci ceramah Kyai Firman tersebut ketika mengisi acara menyambut bulan
suci Ramadan di Masjid Ar Rahmah di desanya, Desa Petung. Tetapi petang ini dia
tidak mau ke masjid, berdiam diri di kamar. Juga tidak hendak salat sendirian.
Dia hanya ingin berdiam diri menatap dinding. Bukan menatap, hanya menghadap
saja, karena memang tak ada
apa-apa di dinding itu, putih, polos.
Ia mengulang-mengulang
satu kata itu, “manipulasi,” tapi dalam benaknya saja. Semakin kuat hingga seolah seluruh bagian tubuhnya
ikut meneriakkan tanpa suara: “manipulasi!”
Menurutnya semua
orang selalu memanipulasi. Aku bukan anak kecil yang suka dengan manipulasi. Palsu. Ia berkata-kata
sendiri, dari hatinya dan hanya untuk didengar hatinya sendiri.
Desa sudah sangat
sepi. Orang-orang sudah berangkat ke masjid untuk salat tarawih. Kecuali
perempuan-perempuan yang sedang berhalangan salat dan beberapa anak kecil.
Malam ini adalah yang keduapuluh sembilan dari malam bulan Ramadan. Orang-orang
membawa makanan ke masjid untuk slametan, berdoa mengharap lailatul kadar.
Malam yang mereka yakini lebih utama dari seribu bulan. Mereka mengharap berkah
dari Tuhan Yang Maha Esa.
“Maling…!!
Maling, maling, maling…!!”
Naman kaget dan
langsung keluar lari ke arah suara, rumah Bu Ida, yang berada sekita
sepuluh meter ke
timur dari rumah Naman. Orang-orang di masjid mendengar teriakan itu dan segera
keluar dari masjid. Ibu-ibu yang tidak ke masjid mengejar Naman sambil
berteriak maling. Bapak-bapak yang tergesa turun dari masjid pun turut
mengejar. Naman bingung dan berusaha lolos dari kejaran, tetapi lawan terlalu
banyak. Ia tertangkap.
Untunglah pak
lurah dan Kyai Firman juga ikut mengejar sehingga warga tidak berbuat
sewenang-wenang padanya. Pak lurah langsung mengamankan bersama Kyai Firman.
“Saya bukan maling,” kata Naman sambil menahan nafasnya yang terengah karena
kelelahan. Dia dibawa ke masjid. Semua orang ikut ke sana. Anak-anak kecil
meneriakinya, “Naman maling, Naman maling, Naman maling,” sambil
melompat-lompat riang. Bapak-bapak menyuruh mereka diam sambil menunjuk pada
Kyai Firman. Anak-anak
itu pun diam.
Semua diam
sejenak. Semua mata tertuju
pada Naman.“Saya bukan maling, Pak Lurah.” “Terus, kamu ada dimana tadi waktu ada orang
teriak maling?” “Tidak tarawih?” Tanya Kyai Firman.
Naman tidak
menjawab. Orang-orang naik amarah karena Naman tidak menghiraukan pertanyaan
kyai. “Kafir! Kafir!” seseorang meneriakinya. Kyai Firman mengarahkan pandangan
“Kenapa kamu tidak tarawih?” Tanya Pak Lurah.
Naman diam, tidak
menjawab. “Maling, masak salat, Pak,” celetuk salah seorang pemuda sebaya
Naman. Naman mengarahkan pandangannya pada pemuda itu. “Ini bulan puasa, kan,
Jup,” “Makanya jangan mencuri, tarawih ke masjid!” serempak orang-orang
mengatakan itu.
Naman memandangi
semua orang sambil bernafas dalam. “Kalau kalian menganggap saya maling,
berarti kalian semua pengecut!” Tinggi sekali nada bicaranya. “Orang nomor satu
yang kita jadikan panutan, yang kita hormati, yang selalu kita dengar
petuahnya, sudah berdauh kalau setan dibelenggu. Tentu tidak ada kejahatan,
kan?! Kalian masih ingat itu, kan?! Dan…”
“Berarti kamu
memang pencurinya!” tuding Jupri.
“Sudah, sudah,”
Kyai Firman menenangkan suasana. “Naman,” beliau menatap Naman. Naman membalas
tatapannya sejenak dan menunduk lagi. “Setan dibelenggu di bulan puasa, oleh
orang-orang yang berpuasa, oleh orang-orang yang menahan nafsunya, menahan amarahnya,
menahan hasrat keduniawiaannya,” sambil tersenyum beliau menjelaskan pada pemuda
yang baru saja berstatus mahasiswa itu.
Wajah Naman
tampak tak ramah, beramarah. “Tapi saya bukan malingnya, Kyai.” “Hanya tidak mau
tarawih?” Naman tidak menjawab. “Tidak mau puasa? Tidak mau “Itu terserah
saya!” jawabnya ketus. “Saya bukan malingnya, saya mau pulang.”
Lalu dia pulang.
Darman yang sudah lebih lama berstatus mahasiswa mengejarnya. Naman membiarkan
Darman ikut masuk ke kamarnya.
“Kamu terlalu
kritis, Man,” kata Darman. “Terpengaruh watak aktivis kampus.” Naman tertawa.
“Aktivis apaan?” Darman duduk di lantai, menghadap Naman yang duduk di tepi
ranjangnya. “Aktivis pengecut!”
Pembicaraan tidak
searah dengan kejadian yang baru terjadi.
“Setiap awal
puasa, para aktivis itu selalu geger, rebutan tanggal. Padahal sebenarnya mereka
rebutan popularitas. Pemerintah juga begitu, sok sibuk membuat aturan baru,
biar tampak menghormati orang Islam.” Darman diam, membiarkan Naman melanjutkan
kritikannya. “Ibadah itu kan urusan pribadi masing-masing dengan Tuhan, urusan
ilahiah, apa hubungannya dengan memahami kata-kata tujuannya. ”Tapi…, kenapa kamu mau berhenti puasa? Maksudmu…”
“Ibadah itu
urusan pribadiku dengan Tuhanku. Kalau aku merasa senang beribadah pada-
Nya, cukup aku
dan Dia saja yang tahu.”
“Iya, tapi…
kenapa harus tidak ikut tarawih?”
“Tarawih kan
tidak harus di masjid! Lagian, iman itu kan di hati. Yang rajin ibadah pun belum
tentu hatinya bernar-benar beriman.”
Darman mau
tertawa, tapi ia tahan. “Ya sudah, aku ke masjid dulu.” Ia paham kondisi temannya.
Dia dulu juga begitu waktu baru bergabung dengan para aktivis kampus.
Setan lepas
karena manusia suka pamer ibadah. Mereka hanya beribadah dahir, padahal setan tidak dahir. Makanya setan lepas.
Hari raya dijadikan ajang pamer diri, menuruti hasrat Naman mengomel dalam hati, tak jelas siapa yang diomeli, dan apa dasar
omelannya.
Mereka pikir,
karena rajin tarawih, mereka lebih baik dari aku? Belum tentu! Orang beriman
tidak mudah menuduh! Minta maaf bukan hanya ketika lebaran. Ibadah tidak harus.
Dia semakin ngelantur, tidak sadar yang diucapkan. Benaknya masih dipenuhi
amarah karena dituduh maling. Dia yakin namanya jelek di mata Ida, putri Bu Ida
yang terkenal paling cantik, yang juga baru saja berstatus mahasiswa, tapi lain
jurusan dengan Naman. Akhir-akhir ini Numan memang selalu mencari perhatiannya.
Malam berlalu.
Tetapi hari terasa lebih gelap bagi Naman. Bu Ida benar-benar kehilangan: uang
dan baju barunya dicuri maling. Sebenarnya ini kesempatan bagi Naman untuk jadi pahlawan, tapi… “Ah, Tuhan Maha
Tahu.” Dia berdiam diri
di kamar, tak mau tahu keadaan di luar. Bahkan hingga
hari raya tiba. Bapak dan ibunya tidak berkomentar karena Naman sudah Darman
langsung masuk ke kamar Naman. Hari ini adalah hari raya Idul Fitri, hari dimana
semua umat islam saling bermaafan, bergembira dengan sanak saudara, dan
tetangga.
“Aku bukan mau
mengajakmu berlebaran,” kata Darman sambil duduk di tepi ranjang Naman.
“Orang-orang desa masih awam, kita harus mengajak dan memberi contoh mereka
cara bersosial yang lebih baik, beribadah, bersikap, bertingkah laku, dan
semacamnya, setelah sebulan menjalankan ibadah. Selama ramadhan kita berdoa,
sekarang tinggal usahanya.” Naman diam saja, hanya memandang sekilas pada
Darman. “Doa selama puasa merupakan komitmen untuk lebih baik, dan sekarang
adalah awal usaha untuk jadi lebih baik. Kita harus menjadi contoh.
Ayo, kita lebih
tahu dari mereka. Biar
ada yang bisa mereka contoh.” Naman hanya menarik nafas tanpa bahasa. Darman sebenarnya mau tertawa, tapi ia maklum. “Aku mau nyalami teman-teman,” katanya sambil keluar dari kamar Naman.
Naman agak
terkejut mendengar kata terakhir Darman.